Kamis 03 Mar 2016 16:00 WIB

Berharap Kampus Berbiaya Murah

Red:

Boleh dibilang, pendidikan di Indonesia masih jauh dari kata kemajuan jika dibandingkan  dengan negara-negara lain. Salah satu yang menjadi sorotan adalah ketidakadilan dan ketidakberpihakan dunia pendidikan tinggi kepada rakyat yang berpenghasilan rendah.

Mahalnya biaya pendidikan di perguruan tinggi (PT), baik negeri maupun swasta membuat para orang tua harus mengelus dada. Bagi mereka yang pintar tapi tak cukup uang untuk biaya pendidikan, terpaksa menggantungkan harapannya. Karena itu, Indonesia masih digolongkan sebagai negara dengan persentase masyarakat berkuliah yang masih sangat kecil.

Terlebih, sejak pengesahan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (Dikti) yang lebih mendorong pada komersialisasi pendidikan yang sempat menjadi pembicaraan hangat dan kini telah ditinjau ulang. Program pemerintah tentang subsidi silang uang kuliah tunggal (UKT), yakni pembayaran biaya kuliah dari mahasiswa kaya kepada yang kurang mampu, masih kurang terserap dengan baik. Program ini juga dinilai memberatkan rakyat kecil yang hendak melanjutkan pendidikan di PT.

Begitupun dengan beasiswa Bidik Misi. Program bantuan biaya pendidikan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) ini juga dinilai belum bisa memberikan akses kepada mahasiswa yang kurang mampu.

Pengamat pendidikan Donie Koesoema mengatakan, pemerintah seyogianya menyediakan pendidikan bermutu yang dapat diakses oleh masyarakat, terutama PT dengan biaya terjangkau. Untuk mewujudkan itu, pemerintah perlu mendampingi PT  agar semakin mandiri dan bermutu dalam pelayanan melalui berbagai macam program pengembangan.

Menurut dia, ada beberapa kendala yang akan dihadapi dalam mewujudkan PT berbiaya rendah dan bermutu. Kendala umum pertama adalah biaya operasional, kedua, biaya peralatan dan sarana praktik laboratorium yang sangat mahal dan yang terakhir adalah kondisi ekonomi keluarga.

"Biaya operasional kampus yang menjadi beban perguruan tinggi perlu dicarikan solusinya dengan cara membangun dialog dengan pihak-pihak yang berkepentingan. Pemerintah jangan hanya merasa benar dalam membuat kebijakan," ujar Donie kepada Republika, Ahad (28/2).

Pemerintah, sambung Donie, juga harus memberikan subsidi dan stimulus yang bervariasi baik untuk pengembangan dosen maupun program studi dalam rangka menjaga kualitas PT. Saat ini, yang dibutuhkan bukan hanya penambahan anggaran, melainkan juga prioritas kebijakan. "Dikti sudah memiliki banyak anggaran, namun kurang fokus pada prioritas, mestinya fokus pada akses dan mutu, bukan pada riset," kata Donie.

Disebutkan, salah satu penyebab kurang fokusnya pengembangan PT, yakni sejak Dikti dipisah dari Dikbud dan digabung dengan Ristek. Seharusnya, porsi kerja dan prioritas Dikti harus tetap ditekankan pada pengembangan Dikti. "Dulu, anggaran untuk Dikti sekitar 80 persen dan 20 persen untuk riset. Ketika dipisah, riset dapat 80 persen dan Dikti hanya 20 persen. Jadi, pantas saja akses dan mutu Dikti bermasalah, sedangkan dana besar untuk riset mereka tak tahu mau dihabiskan ke mana?"

   

Anggaran ditingkatkan

Dirjen Sumber Daya Iptek dan Dikti Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) Ali Ghufron Mukti mengatakan, saat ini pemerintah telah banyak mengalokasikan biaya agar akses ke PT terjangkau dan tidak terlalu mahal.

"Kami juga banyak membantu PTN untuk biaya modal, seperti pembangunan infrastruktur, juga memberikan subsidi bagi PTS berupa hibah untuk alat laboratorium dan lainnya," jelas Ghufron.

Selain itu, guna meningkatkan jaminan mutu, pemerintah terus memberikan tunjangan sertifikasi dosen dan guru baik untuk PTN maupun PTS. "Kami menyediakan beasiswa Bidik Misi bagi yang tidak mampu dan berprestasi untuk para dosen kami memberikan beasiswa, baik PTN maupun PTS," ujarnya.

Menanggapi PT berbiaya murah, Insititut Teknologi Bandung (ITB) berkomitmen untuk menyelenggarakan pendidikan yang dapat dinikmati oleh siapa pun. Dilansir dari laman resminya,  ITB bersama pemerintah dan mitra ITB terus berusaha untuk membantu mahasiswa yang kesulitan ekonomi, tapi memiliki potensi secara akademik dalam hal pembiayaan biaya kuliah.

Lembaga Kemahasiswaan (LK) ITB selaku pengelola beasiswa menyelenggarakan "ITB Scholarship and Sponsorship Gathering" pada Jumat (26/2). Kegiatan yang mengangkat tema "We Share and We Care" ini mengundang berbagai mitra yang menjadi sponsor dalam penyediaan beasiswa di ITB.

Ketua Lembaga Kemahasiswaan ITB Brian Yuliarto mengatakan, saat ini jumlah mahasiswanya mencapai 15 ribu. Guna mendukung pembiayaan kuliah bagi mahasiswa yang kurang mampu dari segi ekonomi ITB memiliki tiga sumber prendanaan, yaitu dari kampus sendiri sebanyak 66 persen, pemerintah 28 persen, dan mitra atau donator enam persen.

Pada 2015 jumlah beasiswa yang disalurkan mencapai Rp 150 miliar dengan penerima sebanyak 9.933 mahasiswa. Jenis beasiswa, di antaranya, biaya penyelenggaraan pendidikan per semester (BPPS), beasiswa bantuan hidup, beasiswa bantuan buku, dan beasiswa bantuan tugas akhir. rep: Dian Fath Risalah  ed: Khoirul Azwar

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement