Ahad 21 Feb 2016 15:35 WIB

Kala Gawai Mengubah Harmoni Keluarga

Red: operator

Sebuah buku yang menggambarkan sebuah keluarga terpaku dengan gawai mulai dari bangun tidur hingga tidur kembali. 

 

Pada suatu hari, hiduplah keluarga White di sebuah rumah nan jauh dari kota. Dalam keluarga itu, terdapat dua anak perempuan, yakni Hazel dan Ruby. Hazel berusia lima tahun, sementara adiknya berusia tiga tahun lebih muda. 

Hazel adalah anak yang aktif dan mencintai seni. Sedangkan, si kecil Ruby adalah sosok anak yang tenang namun cukup keras kepala. Kedua orang tua mereka, Tuan dan Nyonya White, adalah pasangan supersibuk.

Tuan White bekerja sebagai arsitek dan Nyonya White adalah seorang penulis. 

Keluarga kecil itu senang melakukan berbagai aktivitas. Namun, ada satu hal yang paling mereka cintai, yakni screen timeatau kecenderungan berlama-lama memandangi layar gadget(gawai) dan televisi. 

Kegiatan itu menjadi kebiasaan dan hampir mendominasi setiap detik kehidupan keluarga White. Mereka menonton TV saat sarapan. Di mobil menuju sekolah, Hazel dan Ruby masih tetap asyik menonton TV.

Sementara itu, Tuan White repot menerima telepon dari kolega kerja sambil menyetir dan Nyonya White sibuk dengan blognya. Pada malam hari, mereka kembali menonton TV dan bermain video game. 

Efek buruk screen timeperlahan terasa mengganggu interaksi dalam keluarga White.

Bermain petak umpet menjadi tidak menyenangkan karena Tuan White tidak menghayati permainan dan terus meladeni gawainya. 

Tak hanya dalam keluarga, efek itu pun berlanjut ke lingkungan sekolah. Guru sekolah Hazel memanggil Nyonya White dan memberi tahu ada masalah. Ia mengatakan, Hazel sulit mendapatkan teman dan tidak fokus mengikuti pelajaran. "Hal itu terjadi kepada murid-murid saya terdahulu karena terlalu banyak screen time," ungkapnya.

Mendengar hal itu, Nyonya White langsung membuat aturan baru. Hazel dan Ruby hanya bisa bermain dengan gawai pada akhir pekan selama 30 menit sehari. Tuan dan Nyonya White juga tidak akan menggunakan gawai mereka saat sarapan, makan siang, makan malam, dan waktu bermain. 

Aturan itu membuat kebiasaan keluarga White berubah. Jika sebelumnya kerap beraktivitas individu, mereka kini bernyanyi bersama di dalam mobil. Dengan mengurangi waktu screen time, sejumlah dampak positif akhirnya turut dirasakan keluarga White. 

Menjadi jalan pintas Kisah tentang keluarga White itu ada dalam buku Screen Timekarya Tascha Liudmilla. Wanita yang masyhur sebagai pembaca berita di sejumlah TV swasta Tanah Air meluncurkan buku pertamanya itu di Reading for Fun, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, pada Selasa (16/2). 

Tascha mengatakan, inspirasi menulis Screen Timedatang dari kedua anak perempuannya yang masing-masing berusia delapan dan tiga tahun. Ia mengisahkan, ia pernah mencoba memisahkan gawai dari tangan anak pertamanya. Namun, tantangan muncul karena si anak justru sulit makan.

Gawai pun menjadi "jalan pintas" untuk menyelesaikannya.

Ketika anak sudah menginjak usia dua setengah tahun, Tascha mulai merasakan dampak negatif. Ia sulit mendapatkan perhatian anak. Dampak buruk itu terus berlanjut hingga anaknya mencapai usia sekolah. Tascha membuat buku ini dengan harapan bisa menjelaskan kepada anak-anaknya permasalahan yang timbul akibat terlalu banyak screen time.

Tascha mengakui, generasi muda yang modern saat ini sulit lepas dari gawai. Kebutuhan gawai sudah merasuk tak hanya dalam urusan pekerjaan, tapi juga persoalan penasaran dengan lini masa media sosial. Orang tua yang tak bisa lepas dari gawai lantas menularkan kebiasaan tersebut ke anak-anaknya. 

"Mengapa kita sulit menarik gadgetdari anak? Bisa saja karena kita sendiri masih sulit lepas dari gadget," kata Tascha.

Refleksi para orang tua Tascha mengaku, buku yang ia tulis adalah sebuah satire untuk menggelitik para orang tua. Buku berbahasa Inggris itu juga dimaksudkan sebagai cerminan kehidupan keluarga urban masa kini. Tascha berupaya menunjukkan betapa berlebihannya suatu keluarga terpaku dengan gawai mulai dari bangun tidur, beraktivitas, hingga tidur kembali. 

"Saya tidak ingin menunjuk, tapi saya ingin buku ini jadi refleksi diri. Apa betul kita sudah seperti ini?" kata Tascha. 

Tascha berharap, dengan buku ini, orang tua dan anak-anak bisa menyikapi penggunaan gawai dengan lebih baik. Untuk memudahkan anak memahami isi cerita, buku ini didesain dengan ilustrasi gambar-gambar lucu. 

Sang ilustrator, Inez Tiara, mengaku sempat kesulitan mendapatkan ruh dalam menggambar setiap adegan Screen Time. Awalnya, ia bahkan tidak tertarik dengan proyek tersebut. Akan tetapi, setelah memiliki anak, ia mulai menyadari pentingnya mengawasi screen time. 

Ia pun menjadi bersemangat menggambar. Ia bahkan merevisi sejumlah gambar yang ia rasa belum cukup kuat mewakili adegan yang ditulis Tascha. 

Alhasil, jadilah Screen Timeyang dikemas penuh warna dan sampul tebal. Buku terbitan Arkea Books itu layak dan awet untuk dibacakan kepada anak. 

Terlalu banyak screen time Psikolog anak dan pendidikan Elizabeth Santosa mengakui, banyak efek negatif yang timbul jika anak terlalu banyak screen time.

Bahaya yang timbul, yakni radiasi dari layar elektronik ke mata. Anak yang sering membungkuk dalam bermain gawai juga bisa mengalami gangguan pertumbuhan tulang punggung. Kurangnya aktivitas fisik juga bisa berdampak pada obesitas. 

Psikolog yang kerap disapa Lizzie itu mengakui, banyak aplikasi bagus dalam ponsel pintar yang bisa membantu tumbuh kembang anak. Akan tetapi, ada hal yang dikorbankan, yakni interaksi sosial. 

Lizzie mengatakan, dampak minimnya interaksi sosial anak akan sulit berteman dengan baik. "Ada dua faktor yang menyebabkan anak-anak ketagihan berlama- lama screen time. Orang tua yang tak sadar mengabaikan anak akibat sibuk dalam dunia layar elektroniknya dan orang tua yang kurang memahami bahaya paparan layar elektronik," ujar Lizzie.

Pada 2011, American Academy of Pediatricsmerekomendasikan anak di bawah usia dua tahun sama sekali tidak boleh menonton televisi. Sedangkan, anak yang berusia lebih besar maksimal mendapat screen timedua jam dalam sehari. 

Lizzie mengatakan, buku Screen Time bisa menjadi media yang bagus agar anak dan orang tua bisa memahami persoalan tersebut. 

Problematika screen timepada akhirnya kembali pada kemauan orang tua untuk menerapkan aturan baru. Seperti catatan yang diselipkan di bagian sampul belakang buku Screen Time, "Jangan beli buku ini kecuali Anda sudah siap menjauhkan anak dari gawai dan menghabiskan waktu berkualitas bersama mereka." Oleh Ahmad Fikri Noor, ed: Nina Chairani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement