Senin 26 Sep 2016 18:00 WIB

Daya Serap Hasil Tangkapan Minim

Red:

Poros maritim dunia. Itulah tekad dunia kemaritiman Indonesia yang saat ini masih menjadi pekerjaan rumah. Pemerintah ingin menjadikan dunia laut sebagai sumber kemakmuran para nelayan dan mereka yang meraup rupiah dari sektor perikanan.

Illegal fishing yang masih marak terjadi di perairan Indonesia ini semaksimal digagalkan oleh pemerintah. Dari segi penegakan hukum, pemerintah juga semakin gencar menjatuhkan sanksi bagi pelanggar di dunia kemaritiman. Aksi fenomenal pemerintah, terlihat dari langkah menteri Kelautan dan Perikanan melancarkan bom ke kapal-kapal asing yang mencuri ikan di perairan Indonesia.

Mantan menteri kelautan dan perikanan Rokhmin Dahuri mengatakan, pemerintah sebaiknya fokus terhadap hasil tangkapan nelayan, ketimbang mengeluarkan banyak biaya untuk mengebom kapal asing di perairan Indonesia. Menurut dia, persoalan antarnegara merupakan tugas para diplomat untuk bisa berdiplomasi terkait kedaulatan negara.

"Produksi nelayan ini sangat banyak, yang kurang di Indonesia saat ini adalah pengolahan ikan ini mau diapakan. Serapan dalam negeri saja kita masih surplus, sayangnya perusahaan pengolahan ikan tak mampu menyerap tangkapan nelayan sehingga banyak nelayan merugi dan menjual murah ikan tangkapannya," kata Rokhmin saat ditemui Republika beberapa waktu lalu.

Rokhmin menyebutkan, berdasarkan data pada 2012 lalu, total hasil laut Indonesia mencapai 16 juta ton. Sebanyak lima juta ton ikan tangkap bisa diperoleh nelayan di Indonesia selama kurun waktu satu tahun. Ikan budi daya berada di angka satu juta ton per tahun, sedangkan rumput laut bisa mencapai angka 10 juta ton per tahun.

Sayangnya, tangkapan ini banyak yang tak bisa diserap oleh perusahaan ikan nasional. Tercatat ada dua perusahaan pelat merah yang didaulat untuk memaksimalkan serapan tangkapan nelayan dan kemudian bisa menjadi motor penggerak dalam peningkatan ekonomi kelautan. Tangkapan nelayan, tidak semuanya diserap oleh BUMN Perikanan ataupun perusahaan pengolahan ikan swasta, sehingga menyebabkan stok ikan para nelayan yang berlebih, dan harga yang anjlok.

"Saat ini yang kurang adalah pemanfaatan hilirisasi. Masih banyak perusahaan pengolahan ikan yang belum bisa menyerap semua tangkapan hasil nelayan. Salah satu syarat pada sebuah wilayah kalau mau maju. Jumlah pengusahanya minimal tujuh persen dari jumlah penduduk, ini cuma 1,65 persen," ujar Rokhmin.

Bupati Batu Bara, Sumatra Utara, OK Arya Zukkarnaen mengatakan, hasil tangkapan ikan di daerahnya sebesar 29,44 ribu ton yang terdiri dari 28,66 ribu ton (97,34 persen) berasal dari laut dan sisanya sebesar 781,86 ton (2,66 persen) merupakan hasil budi daya perikanan darat.

"Kami berharap ada upaya dari pemerintah pusat untuk bisa menggenjot perusahaan ikan sehingga serapan atas hasil tangkapan warga kami juga bisa menjadi maksimal," ujar OK saat ditemui Republika.

Tak hanya OK, Daerah lain seperti Bupati Manokwari, Markus Waran, mengatakan, banyak hasil laut di kawasannya yang ditangkap oleh negara asing, seperti Filipina. Mengingat daya tangkap para nelayan tak sebanding dengan jumlah sumber daya yang melimpah. Para nelayan tetangga tersebut kemudian menjual ikan tersebut ke Jepang dan menjadi produksi olahan. 

"Kami berharap adanya sinergi dari pemerintah juga BUMN untuk bisa menyelesaikan persoalan ini. Support dari pemerintah untuk bisa menyejahterakan dan mendukung para nelayan sangat penting. Selama ini, kami mengandalkan produksi olahan rumahan untuk bisa menggerakan perekonomian," ujar Markus saat ditemui Republika.

Waske (40 tahun), seorang nelayan yang hidup sekitar tepi rawa di Sorong bagian selatan, mengatakan, banyak sekali potensi laut yang bisa digali bersama beberapa nelayan lainnya. Udang dan ikan kembung merupakan dua jenis hasil tangkapan tersebut merupakan andalan nelayan setempat. Waske mengatakan, tak ada industri pengolahan ikan yang mampu menyerap hasil tangkapan laut di Sorong bagian selatan.

Beberapa warga memanfaatkan tangkapannya untuk dijual ke rumah-rumah sebagai bentuk konsumsi. Padahal, hasil tangkapan udang dan ikan kembung mereka cukup banyak, hal ini terbukti dari banyaknya tangkapan mereka bisa memenuhi permintaan di daerah Manokwari dan Kabupaten Sorong. Sedangkan di Sorong Selatan, hasil tangkapan mereka hanya untuk memenuhi permintaan konsumsi rumah tangga.

"Kami biasa menjual tangkapan kami ke wilayah lain. Karena membutuhkan waktu yang lebih banyak dan panjang tak jarang tangkapan kami tak sepenuhnya masih berkualitas baik. Jika sore ini tangkap, maka esok pagi kami baru bawa ke daerah seberang," ujar Waske.

Bukan hanya masalah hasil tangkapan laut, salah seorang nelayan di Jakarta Utara, Aji (48), mengatakan, saat ini nelayan dihadapi peraturan pemerintah terkait dilarangnya penggunaan cantrang sebagai alat pancing karena dianggap merusak lingkungan. Padahal, menurut dia, penggunaan cantrang sudah dilakukan oleh nelayan sejak zaman nenek moyang.

Kebijakan ini di sisi lain menjadikan nelayan sulit meningkatkan hasil produksinya. "Cantrang itu digunakan sudah dari zaman dahulu. Kita sudah dua tahun ini susah untuk menangkap ikan. Selain karena tak boleh menggunakan alat yang jauh lebih efisien, beberapa dari kami terkendala oleh alat," katanya.   rep: Intan Pratiwi, ed: Citra Listya Rini

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement