Senin 29 Aug 2016 14:00 WIB

Berharap Perbankan Merespon Lebih Cepat

Red:

Perekonomian domestik pada 2016 masih melemah sebagai imbas dari pelemahan ekonomi global. Pemerintah dan otoritas terkait pun melakukan berbagai upaya untuk mendorong perekonomian.

Salah satunya dengan mereformulasi suku bunga kebijakan bank sentral. Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas moneter telah menetapkan suku bunga acuan dengan tenor jangka pendek, yaitu BI 7-Day (Reverse) Repo Rate pada 19 Agustus 2016.

Suku bunga kebijakan ini dinilai lebih mencerminkan kondisi pasar dibandingkan dengan suku bunga acuan sebelumnya, BI Rate. Berdasarkan best practices bank sentral di seluruh dunia, suku bunga acuan bank sentral idealnya harus mencerminkan realitas suku bunga yang terjadi di pasar keuangan untuk jangka pendek.

Berdasarkan data BI, bank sentral negara-negara lain menggunakan suku bunga acuan tenor jangka pendek. Contohnya, bank sentral Korea Selatan (Bank of Korea) menggunakan Bank of Korea Base Rate dengan tenor tujuh hari.

Kemudian bank sentral Ceska (Czech National Bank) menggunakan Two-week Repo Rate serta bank sentral Swedia (Riksbank) menggunakan Repo Rate bertenor tujuh hari. Bahkan, ada negara yang bank sentralnya menggunakan suku bunga tenor di bawah tujuh hari, seperti bank sentral India (Reserve Bank of India), yaitu Policy Repo Rate dengan tenor dua hari dan Bank of Thailand menggunakan Policy Interest Rate dengan tenor satu hari.

Kemudian Bank of England, Bank of Japan, dan Bank Negara Malaysia menggunakan policy rate dengan tenor overnight. Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara mengatakan, jika suku bunga tidak mencerminkan realitas di pasar, transmisi kebijakan moneter kepada sektor riil menjadi kurang efektif.

Di negara-negara yang dicontohkan di atas, kata Mirza, penggunaan policy rate jangka pendek ditujukan untuk memengaruhi overnight rate di pasar keuangan. "Jadi, kalau suku bunga bank sentral ada tenornya. Ada target ingin memengaruhi apa. Rata-rata semua ingin bisa memengaruhi overnight/ di pasar," ujarnya.

Menurut Mirza, pada 2008-2009, BI menggunakan overnight rate. Hal itu dilakukan untuk memengaruhi overnight rate di market.

Kemudian pada 2010-2011 terjadi limpahan dana miliaran dolar AS akibat dari kebijakan quantitative easing dari bank sentral AS, the Fed. Saat itu, the Fed menggelontorkan likuiditas sekitar 4 triliun dolar AS dan melimpahkan ke pasar keuangan dunia, termasuk Indonesia.

Pada saat itu, karena banjir likuiditas ke Indonesia, suku bunga uang antarbank mengalami penurunan. BI pun berusaha menurunkan BI Rate, tetapi BI Rate tidak bisa turun signifikan.

Suku bunga yang bisa turun signifikan adalah Deposit Facility Rate (DF Rate) yang merupakan suku bunga untuk bank menyimpan kelebihan likuiditasnya di bank sentral. Penyebab BI Rate tidak bisa turun kala itu, menurut Mirza, karena inflasi yang masih tinggi.

Teorinya,  besaran suku bunga acuan tidak bisa di atas inflasi. Sebab, untuk simpanan dengan nilai saldo di atas Rp 2 miliar atau nasabah pemilik dana besar (orang kaya) tidak mau menempatkan uangnya di bank jika suku bunga acuan BI Rate berada di bawah angka inflasi.

"Suku bunga harus sedikit di atas inflasi. Saya ambil contoh, orang-orang kaya itu mereka itu tidak mau jika inflasi lima persen, dikasih bunga tiga persen, nanti keluar uangnya. Tapi, kalau penabung kecil (di bawah Rp 2 miliar) itu tidak punya pilihan," kata Mirza menjelaskan.

Berdasarkan data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), saat ini total rekening simpanan di bank mencapai 184.154.242 rekening.

Untuk simpanan di bawah Rp 2 miliar per Juni 2016 mencapai 183.932.836 rekening, sementara untuk simpanan di atas Rp 2 miliar mencapai 221.406 rekening. Total nominal balance secara keseluruhan mencapai sekitar Rp 4.563 triliun.

Jumlah penabung di atas Rp 2 miliar dengan nominal balance Rp 2.494 triliun memiliki komposisi 54,65 persen terhadap total simpanan secara keseluruhan. Sementara, penabung di bawah Rp 2 miliar, meskipun jumlah penabung jauh lebih banyak dibandingkan penabung di atas Rp 2 miliar, nominal balance-nya masih di bawah, yaitu Rp 2.069 triliun atau dengan komposisi 45,35 persen dari total simpanan keseluruhan.

Pada 2008, inflasi tercatat tinggi, yaitu sebesar 11,06 persen. Hal itu terjadi karena subsidi BBM dikurangi sehingga inflasi dari komponen administered prices naik.

Pada tahun-tahun selanjutnya tercatat rata-rata inflasi cukup rendah sehingga BI Rate dapat diturunkan hingga 5,75 persen pada 2012. Kemudian dari 2013 hingga 2015, BI Rate perlahan dinaikkan menjadi 7,50 persen.

Pada rentang waktu tersebut, inflasi tercatat tinggi hingga berada di atas 8,00 persen. Baru pada tahun lalu inflasi perlahan turun dan berada pada angka 3,35 persen secara tahunan (year on year/yoy).

Saat ini, inflasi hingga Juli 2016 tercatat sebesar 3,21 persen yoy. Besaran ini berada dalam kisaran target BI, yaitu empat plus minus satu persen.

Hal ini dinilai mendukung reformulasi kebijakan baru ini. "Karena inflasi memakan daya beli uang, jadi supaya kompetitif bunganya harus di atas inflasi. Makanya mau turunin bunga, turunin dulu inflasi," ujar Mirza.

Mirza menuturkan, dengan akan diimplementasikannya reformulasi kebijakan operasi moneter yang lebih mencerminkan pasar, diharapkan perbankan dapat meresponsnya lebih cepat, baik dari sisi bunga deposito maupun bunga kredit. Apalagi, saat ini transaksi likuiditas di pasar uang antarbank lebih banyak pada tenor satu minggu hingga satu bulan.

Berdasarkan data BI pada 12 Agustus lalu, likuiditas di pasar uang antarbank (PUAB) tercatat sebesar Rp 14,496 triliun. Tercatat transaksi likuiditas terbesar pada tenor overnight Rp 8,955 triliun, pada tenor dua sampai empat hari sebesar Rp 1,110 triliun, pada tenor satu minggu Rp 2,916 T, sedangkan tenor dua minggu sebesar Rp 1,455 triliun.

Hal itu mencerminkan bahwa excess likuiditas terjadi di overnight hingga dua minggu. Sehingga, suku bunga harus mencerminkan tenor jangka pendek, bukan tahun.

Jaga momentum

Gubernur BI Agus Martowardojo mengatakan, pada rapat dewan gubernur (RDG) pada 18-19 Agustus 2016, otoritas moneter memutuskan mempertahankan 7-Day (Reverse) Repo Rate sebesar 5,25 persen. Selain itu, BI juga akan menjaga koridor suku bunga simetris yang lebih sempit, antara lain sebesar 75 bps di bawah 7-Day Repo Rate, yaitu DF dan di atas BI 7 Day Repo Rate, yaitu LF.

Karena itu, BI juga memutuskan untuk memangkas lending facility (LF) sebesar 100 bps dari 7,00 persen menjadi 6,00 persen, sedangkan deposit facility (DF) tetap sebesar 4,50 persen. "Keputusan itu sejalan dengan upaya menjaga stabilitas makro ekonomi, dengan tetap memelihara momentum pertumbuhan ekonomi domestik di tengah momentum lemahnya perekonomian global. Dengan terjaganya stabilitas ekonomi, defisit transaksi berjalan yang membaik,dan nilai tukar relatif stabil, ruang pelonggaran moneter masih terbuka," kata Agus.

Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, BI yakin, penggunaan  BI 7-Day (Reverse) Repo Rate akan memperkuat transmisi kebijakan suku bunga di pasar. Sebelumnya suku bunga acuan yang digunakan, yakni BI Rate, merupakan suku bunga tenor 12 bulan. 

Tercatat sejak Januari 2016, BI Rate telah turun sebesar 100 bps menjadi 6,50 persen. Dengan penurunan sebesar satu persen tersebut, suku bunga deposito telah turun sebesar 91 bps atau 0,91 persen dan suku bunga kredit perbankan telah turun 47 bps atau 0,47 persen.

Menurut Perry, kondisi likuiditas pada saat ini hingga akhir tahun cukup longgar. "Kami turunkan giro wajib minimum yang pada waktu ada tambahan likuiditas hampir Rp 37 triliun. Kedua, terjadi aliran modal asing masuk khususnya dalam bentuk investasi portofolio yang jumlahnya 10,5 miliar dolar AS atau Rp 114 triliun-Rp 115 triliun. Itu juga sumber tambahan likuiditas di perbankan. Maka akan mendorong penurunan suku bunga lebih lanjut," katanya menjelaskan.

Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, menilai, upaya bank sentral mempertahankan term structure-nya, khususnya BI 7-Day (Reverse) Repo Rate, karena masih konsisten menjaga stabilitas makro ekonomi serta menjaga stabilitas harga yaitu inflasi pada targetnya dan stabilitas rupiah. Josua menilai, suku bunga acuan yang baru ini mengindikasikan bahwa BI akan semakin kredibel.

"Sehingga, bank sentral yang dinilai makin kredibel akan meningkatkan kepercayaan investor dalam menjaga iklim investasi di Indonesia," katanya.   rep: Idealisa Masyrafina, ed: Muhammad Iqbal

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement