Kamis 25 Aug 2016 18:00 WIB

Menata Sektor Maritim

Red:

Sebagai negara kepulauan, perekonomian Indonesia diyakini bisa tumbuh lebih tinggi apabila sektor maritim dapat dimaksimalkan. Sektor ini akan menjadi sumber pertumbuhan ekonomi yang menjanjikan di tengah rendahnya harga komoditas yang selama ini menjadi tulang punggung perekonomian Tanah Air.

Sayangnya, masih banyak kendala yang dihadapi di bidang kemaritiman. Utamanya adalah permasalahan infrastruktur.

Alhasil, sektor maritim belum mampu memberikan peran besar dalam ekonomi Indonesia. Gubernur Bank Indonesia (BI), Agus Martowardojo mengatakan, sektor maritim hanya memiliki kontribusi sebesar empat persen terhadap pertumbuhan ekonomi.

Padahal, Indonesia memiliki garis pantai yang sangat panjang, potensi perikanan, dan juga pariwisata kelautan yang besar. "Sektor maritim dan juga pariwisata perlu dikembangkan dengan konsisten, sehingga dapat menjadi mesin pertumbuhan ekonomi baru yang berkelanjutan," kata Agus dalam rapat kerja dengan pemerintah pusat dan daerah di Batam, pertengahan Agustus lalu.

Agus mengungkapkan, ekonomi maritim Indonesia bahkan masih kalah dengan Filipina dan Jepang yang luas wilayah lautnya jauh lebih kecil. Sektor maritim Filipina dan Jepang memiliki kontribusi di atas 20 persen terhadap perekonomian mereka.

Jepang sebesar 28 persen, sedangkan Filipina 21 persen. "Padahal pulau mereka tidak sebesar dan sebanyak Indonesia," katanya.

Jika ditinjau dari sisi makro, sektor maritime, khususnya industri pelayaran, bahkan menjadi penyumbang terbesar defisit neraca jasa. Penyebabnya, karena jasa pelayaran di Indonesia masih didominasi oleh asing.

Agus mengatakan, defisit neraca jasa pada 2015 mencapai Rp 8,3 miliar dolar AS. "80 persennya berasal dari industri di bidang jasa pelayaran," kata Agus.

Salah satu penyebab besarnya defisit neraca jasa industri pelayaran adalah kegiatan ekspor-impor. Mantan menteri keuangan ini menyebut, sekitar 95 persen kegiatan ekspor Indonesia menggunakan kapal asing.

Penyebabnya adalah rata-rata ukuran kapal yang dimiliki industri pelayaran Indonesia masih terlalu kecil, yakni sekitar 500 TEUs. Padahal, kata Agus, saat ini rata-rata besar kapal dalam perdagangan internasional adalah 10 ribu TEUs.

Hal ini tidak terlepas karena masih dangkalnya kedalaman pelabuhan di Indonesia. Rata-rata kedalaman pelabuhan di Indonesia hanya sekitar sembilan meter.

Sedangkan pelabuhan di beberapa negara seperti di Malaysia dan Singapura sudah mencapai 15,5 meter. "Perlu ada langkah terintegrasi untuk membangun kapal-kapal besar dan perbaikan pelabuhan kalau kita mau menjadi negara maritim yang kuat," ujar Agus.

Selain lantaran kegiatan ekspor, defisit neraca jasa pelayaran juga terjadi karena masih tingginya ketergantungan terhadap asuransi asing. Sekitar 87 persen asuransi perkapalan Indonesia berasal dari asing.

Karena itu, sangat diperlukan adanya pendalaman pasar keuangan oleh perbankan dalam negeri. "Sektor kemaritiman perlu kita perbaiki, supaya tidak terus berada dalam kondisi defisit seperti ini," katanya.

Salah satu provinsi yang bisa menjadi tulang punggung perekonomian melalui sektor maritim adalah Kepulauan Riau (Kepri). Gubernur Kepulauan Riau (Kepri), Nurdin Basirun mengatakan, Kepri memiliki potensi maritim yang luar biasa.

Mulai dari kelautan, pelayaran, perikanan dan juga pertahanan. Di Batam misalnya.

Batam yang merupakan free trade zone, berada di Selat Malaka yang merupakan jalur utama perdagangan dunia. Setiap tahun, ujar Nurdin, dilewati rata-rata 94 ribu kapal dari seluruh dunia.

Namun, Batam belum memiliki peranan yang besar dalam jalur perdagangan di Selat Malaka. Ini lantaran masih rendahnya kapasitas pelabuhan. "Potensi Selat Malaka yang besar ini yang akhirnya dimanfaatkan negara tetangga, seperti Singapura, karena mereka sangat total dalam membangun infrastruktur kemaritiman," kata Nurdin.

Dari segi pariwisata, Nurdin juga sangat meyakini ada banyak daerah di Kepri yang memiliki potensi tinggi. Beberapa di antaranya adalah Natuna dan Anambas.

Nurdin berharap, perbankan dapat menyediakan kredit dengan bunga rendah agar para pelaku usaha dapat memajukan wisata bahari di Anambas dan Natuna. "Kalau bisa dikembangkan, Natuna dan Anambas ini bisa mengalahkan Hawaii," ujarnya.

Hambatan lain

Menteri Koordinator Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan, mengakui masih banyak penghambat majunya sektor kemaritiman dan pariwisata di Indonesia. Hambatan tersebut bukan hanya dalam hal infrastruktur, tapi juga daya saing harga.

Luhut mencontohkan, salah satu kekurangan Indonesia dalam hal daya saing harga adalah di bidang pelayaran seperti kapal pesiar. "Di Singapura, yacht kalau mau merapat hanya bayar 1.000 dolar AS per malam. Di Indonesia lima ribu dolar AS per malam," kata Luhut. 

Akibatnya, kata Luhut, kapal pesiar asing banyak yang enggan masuk ke Indonesia karena mahalnya biaya singgah. Padahal, wisata kapal pesiar di Indonesia memiliki potensi yang besar.

"Kita punya Teluk Benoa yang sangat bagus. Tapi, kita tidak bisa memberikan pelayanan yang bagus," ujar Luhut. Luhut mengaku sudah membicarakan masalah ini dengan Presiden Joko Widodo.

Menurut Luhut, dirinya memang diperintahkan Presiden untuk menghilangkan segala hambatan agar sektor maritim dan pariwisata di Indonesia bisa berkembang pesat. "Saya sampaikan ke Pak Presiden, kalau begini caranya susah orang ke sini. Belum apa-apa kita sudah mempenalti orang (biaya tinggi)," kata Luhut.    rep: Satria Kartika Yudha,  ed: Muhammad Iqbal

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement