Senin 25 Jul 2016 14:00 WIB

Catatan untuk Perbaikan Lebaran Mendatang

Red:

Uji coba tol baru saat Lebaran dituding menjadi penyebab kemacetan. Hal ini dikatakan Anggota Komisi V DPR dari Fraksi Golkar Daniel Mutaqien Syafiuddin. Ia memandang keputusan yang diambil pemerintah mengoperasikan tol baru saat masa Lebaran merupakan kesalahan. Padahal, menurutnya, masyarakat pengguna jalan belum tahu karakteristik jalan dan lingkungan tol baru tersebut.

"Harusnya ada amdal lalu lintas dulu yang jadi ukurannya dan beroperasi jauh hari sebelum arus mudik. Jadi, masyarakat pengguna jalan tol pada saat arus mudik tidak menjadi kelinci percobaan jalan tol baru," katanya.

Semua pihak, kata Daniel, mesti bertanggung jawab atas kemacetan yang mencapai 30 kilometer di pintu keluar Tol Brebes ('Brexit'), baik Kementerian PUPR, Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT), Kemenhub, Kepolisian, termasuk anggota DPR di Komisi V yang belum secara maksimal melakukan pengawasan.

Sejumlah hal harus dibenahi kalau pemerintah mau serius mengatasi masalah tersebut, seperti masalah pengendalian kendaraan, transportasi publik, menumpuknya penduduk di Jakarta, dan pemerataan pembangunan. Ia mengatakan, pemerintah seakan tidak pernah belajar dari pengalaman.

"Dari tahun ke tahun ngurusi mudik saja nggak pernah beres dan lancar. Padahal, setiap tahun pasti kejadian di urusan yang sama," lanjutnya.

Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi sependapat, pembangunan tol tidak menyelesaikan masalah untuk atasi kemacetan saat mudik. "Selesainya beberapa ruas tol yang digadang-gadang bisa mengatasi kemacetan parah saat mudik Lebaran 2016, ternyata hal ini hanya impian kosong belaka," kata Tulus.

Menurutnya, hal yang terjadi saat Lebaran 2016 tak lain sekadar pemindahan titik kemacetan dari sebelumnya di ruas Cikampek dan Palikanci, berpindah ke Brebes Timur. Tulus memandang, pemerintah dan kepolisian gagal mengantisipasi kemacetan saat mudik Lebaran, khususnya di ruas Tol Brebes Timur. Alasannya, karena kepolisian masih kurang progresif dalam melakukan rekayasa manajemen lalu lintas, terutama di pusat kemacetan, seperti pintu keluar Brebes Timur. Seharusnya, kata dia, pengelola tol dan kepolisian bisa memaksa pengguna tol untuk tidak keluar di pintu keluar Brebes Timur atau ruas Tol Brebes Timur ditutup sampai kondisi lalin lancar. Pengguna jasa jalan tol selaku konsumen mendapat kerugian dua kali atas kemacetan parah yang melanda.

"Dulu macet total di jalan pantura, kita tidak bayar, karena jalan nontol. Sekarang kemacetan berpindah di tol, berbayar. Konsumen dirugikan dua kali dan akhirnya hanya pengelola tol yang diuntungkan," ungkapnya.

Pengamat Transportasi Unika Soegijapranata Semarang Djoko Setijowarno menilai, penurunan tingkat kecelakaan pada Lebaran 2016 juga dipengaruhi kondisi jalan yang macet dan laju perjalanan yang rendah.

"Wajar kecelakaan menurun, bukan karena kesadaran, tapi karena situasi," katanya.

Ia memandang, percepatan pembangunan tol Trans Jawa tidak menjamin arus mudik Lebaran mendatang akan berjalan lancar. Sebab, penjualan mobil setiap tahun terus meningkat. Atas jatuhnya korban meninggal, Djoko menilai, posko kesehatan yang ada belum maksimal. Jumlah posko kesehatan, terutama di jalan tol, perlu diperbanyak. Keberadaan posko kesehatan di jalan tol yang hanya terdapat di tempat peristirahatan atau rest area yang berjarak rata-rata 20 kilometer belum cukup untuk melakukan tindakan darurat saat macet melanda.

"Jika macet, tidak tersedia jalur evakuasi kecuali dengan helikopter atau ojek panggul," ujar Djoko.

Pun, halnya dengan keterbatasan logistik, BBM, dan toilet. Djoko menilai, kemacetan saat Lebaran merupakan akumulasi kesalahan pemerintah selama ini dalam mengelola transportasi nasional, regional, dan lokal. Menurutnya, hampir semua kementerian/lembaga mempunyai andil dalam mewujudkan layanan transportasi umum yang humanis.

Presiden Jokowi, lanjutnya, harus mengoordinasikan hal ini agar insiden serupa tidak terjadi pada masa yang akan datang. Pembenahan terminal pun harus dipercepat dengan memperbaiki sistem pembelian tiket dan minimal setara dengan stasiun.

"Sistem pengendalian dan pengawasan bus AKAP sudah harus berbasis IT."

Pembenahan tranportasi umum di daerah juga perlu menjadi catatan. Hal ini menjadi salah satu alasan mengapa pemudik memilih menggunakan kendaraan pribadi ke kampung halaman. Sayangnya, kata dia, hal tersebut belum menjadi perhatian kepala daerah jika melihat APBD yang dialokasikan ke Dishub selain Kota Surakarta dan DKI Jakarta yang di atas tiga persen, rata-rata tidak lebih dari satu persen.

"Sekitar 95 persen lebih kepala daerah tidak peduli dengan penataan transportasi umum," katanya.   Oleh Muhammad Nursyamsi, ed: EH Ismail

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement