Kamis 21 Jul 2016 16:00 WIB

Bukan Sulap Menurunkan Harga Daging Sapi

Red:
Sejumlah sapi di atas truk siap dimasukan ke dalam kandang dalam Kapal Tol Laut KM. Cemara Nusantara I di pelabuhan Tenau Kupang, Nusa Tenggara Timur, Senin (29/2).
Foto: Antara/Kornelis Kaha
Sejumlah sapi di atas truk siap dimasukan ke dalam kandang dalam Kapal Tol Laut KM. Cemara Nusantara I di pelabuhan Tenau Kupang, Nusa Tenggara Timur, Senin (29/2).

Impian pemerintah untuk mengejar swasembada sapi masih menyala. Agenda ini terus digaungkan dari satu rezim pemerintahan ke rezim berikutnya. Namun, hasilnya dinilai mengawang-awang bahkan makin terdengar mustahil.

Ini tak lepas dari realita yang ada. Saat ini, populasi sapi dan indukan lokal terus berkurang. Di sisi lain, pemerintah terus menambah kuota impor dan variasinya.

Bukan hanya sapi bakalan atau sapi siap potong, melainkan juga daging beku, jeroan, dan secondary cut. Regulasi baru telah ditetapkan. Daging impor terbuka tak hanya dari Australia.

Daging bisa masuk dari beragam negara, termasuk dari negara yang belum bebas Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) sekali pun. Alasan obral impor tersebut, yakni mencapai ambisi terciptanya harga daging murah meriah. Daging impor dirancang membanjiri pasar, dijual dengan harga sesuai keinginan Presiden Joko Widodo, yakni di bawah Rp 80 ribu per kilogram.

Namun, hingga kini, upaya tersebut dibarengi kondisi anomali di pasar. Daging impor digelontorkan dengan harga murah melalui Operasi Pasar (OP) dan instrumen Toko Tani Indonesia (TTI). Tapi di pasar, masyarakat disuguhkan dengan harga daging jenis paha belakang yang stabil tinggi.

Harga tersebut diikuti kenaikan harga untuk bagian daging yang lainnya dengan harga bervariasi. Rata-rata harga daging jenis tersebut saat ini, yakni antara Rp 120 ribu per kilogram sampai Rp 125 ribu per kilogram. "Ini (upaya menurunkan harga daging) bukan seperti main sulap-sulapan, semua berproses, yang penting sudah ada niat baik dan pasti akan terjadi penurunan harga," kata Menteri Pertanian (Mentan) Amran Sulaiman ketika disinggung soal kondisi tersebut.

Di antara proses yang digulirkan yakni merevisi sejumlah regulasi yang dinilai menghambat agenda penurunan harga daging sapi. Dalam regulasi baru, nantinya impor secondary cut maupun jeroan bisa dilakukan importir mana pun. Asal daging juga dibuka tidak hanya dari negara bebas PMK, tapi berdasarkan zona bebas PMK.

Daging-daging impor juga boleh dipasarkan di pasar tradisional, bersanding dengan produk daging segar lokal.

Penyesuaian regulasi juga dilakukan. Sebab, pemerintah ingin mendesain pasar daging terintegrasi berdasarkan jenis dan bagian-bagiannya. Salah satu tujuannya agar disparitas harga daging yang berbeda jenis tidak terlalu jauh bahkan memiliki harga tengah.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menyebutkan, saat ini pasar daging sapi tidak benar-benar utuh. Misalnya, terdapat pasar daging impor beku, tapi belum menyatu dengan pasar daging segar. "Prosesnya sedang berlangsung, sehingga kita berharap dalam satu hingga dua bulan ini, dia akan menyatu pasarnya," kata Darmin.

Pemerintah menargetkan terbentuk harga baru untuk daging yang tidak mesti Rp 80 ribu, tapi dipastikan berada di bawah Rp 100 ribu per kilogram. Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementan Muladno menyebut, agenda integrasi pasar daging sapi merupakan keinginan yang baik. Namun, meresponsnya tidak semudah yang dikatakan.

Ini mengingat pasar daging dalam negeri saat ini yang masih karut-marut. "Kita harus terlebih dahulu membenahi Rumah Potong Hewan (RPH), di tingkat hulunya dibenahi dengan Sentra Peternakan Rakyat (SPR) berproses," kata Muladno kepada Republika belum lama ini. Para peternak lokal harus terus dikonsolidasikan secara berjamaah sehingga mempermudah rantai tata niaga.

Muladno menyebut, proses SPR tidak seperti main sulap. Semua berproses dan membutuhkan upaya berkelanjutan. SPR juga dibarengi dengan pembukaan bisnis sapi untuk peternak kecil, membangun koperasi peternak dalam jumlah besar, dan mendesain RPH ramah lingkungan.

"Jangan sampai ada limbah yang dibuang, padahal itu duit semua, produksi daging harus efektif dan efisien," ujarnya. Hal tersebut belum dilakukan. Namun, pemerintah bersama peternak sedang mengupayakannya. Proses produksi dan distribusi yang efisien akan memengaruhi harga daging sapi menjadi lebih rendah di pasar secara normal.

SPR saat ini telah berjumlah 55 buah. Setiap SPR rata-rata memiliki seribu sapi indukan beserta para peternak tangguh. Kementan menargetkan penambahan SPR hingga 2017 sebanyak 200 buah.

Diharapkan SPR yang banyak akan mempercepat upaya konsolidasi peternak sehingga berdaya saing. Muladno juga tidak mengetahui "harga tengah" yang dimaksud Menko Darmin ketika pasar daging terintegrasi nantinya terwujud. "Harga tengah yang mana saya juga enggak tahu, tanya Pak Darmin, tapi harga daging sapi itu bervariasi, ada bagian sapi yang mahal dan ada yang murah juga," katanya.

Ramai kritik

Keinginan pemerintah mengintegrasikan pasar daging berdasarkan jenis-jenisnya disebut sebagai dampak kebijakan yang salah kaprah. Pengamat peternakan dari Universitas Padjajaran, Rochadi Tawaf, mengatakan, pemerintah gagal mengidentifikasi permasalahan harga daging yang disebut-sebut tinggi harganya. "Pemerintah salah membandingkan harga sapi berdasarkan jenisnya, tidak apple to apple," katanya.

Justru, lanjut Rochadi, jika membandingkan harga daging sapi paha belakang milik Indonesia dengan dunia, harga justru jauh lebih murah. Dalam penelitiannya, tingkat harga daging sapi paha belakang yang dijual di Indonesia, yakni Rp 120 ribu per kilogram menduduki peringkat 57 terendah di dunia. "Tenderloin impor itu ada yang harganya Rp 300 ribu per kilogram, tapi di dalam negeri Rp 120 ribu," ujarnya.

Sementara di tingkat Asia, harga daging paha belakang yang dijual di pasar Indonesia berada pada peringkat 30. "Maka saya heran kenapa dianggap mahal, sedangkan Kemendag pun menyebutnya stabil tinggi," katanya. Jika pemerintah menginginkan "harga tengah", seharusnya dipertimbangkan kuasa konsumen dalam memilih produk daging mana yang ia suka.

Preferensi konsumen tidak dapat diperdebatkan. Sebab, masing-masing orang memiliki hak pribadi untuk memilih sumber protein apa yang ingin dibeli. Perlu dipahami, lanjut Rochadi, harga daging di setiap bagian dan potongannya berbeda-beda.

Untuk itu, dia meminta pemerintah Indonesia tidak meniru Singapura sebagai negara murni pengimpor sapi. "Di sana tidak ada peternak lokal, di sini banyak, harus diperhatikan," katanya. Pemerintah boleh melakukan impor daging beku sebanyak-banyaknya atau membuka impor daging kerbau India, dengan syarat berani menghancurkan peternak lokal.

Rochadi menegaskan, daging beku dan daging segar berbeda jenis. Tentu harganya pun berbeda. Jika ingin diintegrasikan, hal tersebut berdampak pada kesalahan kebijakan.

"Terlalu memaksakan, tidak puguh," ujarnya. Dampaknya, akan terjadi peningkatan impor daging beku. Sebab, peternakan lokal belum kuat dan siap dengan mekanisme penyimpanan daging beku.

Akan pula timbul supply create demand. Nanti, Indonesia akan bergantung kepada daging beku yang notabene daging buangan di negara asalnya. Sebaliknya, nasib pasar daging segar akan terpuruk.

Konsumen akan perlahan-lahan beralih mengonsumsi daging beku seperti terbiasanya pemerintah akan produk ayam broiler. "Peternak lokal, wassalam," tuturnya.

Ketua I Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI), Ngadiran, berencana angkat topi jika pemerintah berhasil menurunkan harga daging sapi sesuai keinginan Presiden Joko Widodo. Tapi aksi tersebut tampaknya tidak dilakukan, karena pada kenyataannya keberhasilan agenda tersebut belum kentara. "Bagaimana bisa turun kalau harga barangnya diatur oleh produsen yang punya barang banyak," ujar Ngadiran.

Keterlibatan pedagang dalam mengendalikan harga daging sekaligus harga pangan komoditas tertentu, lanjut dia, hanya sebatas pembicaraan di sejumlah rapat, konferensi pers, dan instruksi lisan. Pada kenyataannya, ketika pedagang meminta barang yang bisa dijual dengan harga sesuai keinginan Presiden, barang tersebut tidak tersedia.

Oleh Sonia Fitri, ed: Muhammad Iqbal

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement