Kamis 21 Jul 2016 16:00 WIB

Konsumen Harapkan Keterjangkauan dan Ketersediaan

Red:

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) meminta pemerintah tidak muluk-muluk dalam menyediakan asupan protein bagi masyarakat. Anggota Pengurus Harian YLKI Husna Zahir menyebut, konsumen lebih suka diberi pilihan harga pangan yang terjangkau dan berkualitas. "Tapi, bukan melulu berarti barangnya murah karena kondisi konsumen beragam," katanya, beberapa waktu lalu.

Husna mencontohkannya dengan harga daging sapi bagian tertentu yang diinginkan pemerintah dijual Rp 80 ribu per kilogram (kg). Pemerintah seharusnya melihat kalangan mana yang mampu membeli daging tersebut. Sebab, ada kalangan konsumen yang memang sudah mampu membeli daging sapi Rp 120 ribu per kg, tapi ada juga konsumen yang merasa daging Rp 80 ribu per kg masih termasuk mahal.

"Jadi, yang sangat konsumen harapkan adalah keterjangkauan, ada barangnya di pasar, berkualitas di harga yang wajar," ujarnya. Menurut Husna, sebaiknya pemerintah berpihak pada konsumen mayoritas, bukan konsumen yang notabene mampu membeli pangan dengan harga tinggi.

Ekonom Indef Enny Sri Hartati menyebut keinginan pemerintah menurunkan harga daging sapi hingga mencapai Rp 80 ribu per kg menimbulkan kejanggalan dan spekulasi. Seharusnya, kebijakan harga berdasarkan biaya produksi daging sapi lokal, bukan pada impor daging beku yang belum jelas kualitasnya. Keberadaan daging beku impor yang harganya murah juga akan menimbulkan kerugian di kalangan peternak dan pedagang tradisional.

"Peternak lokal jelas akan rugi, kalau pas puasa dan Lebaran daging tidak ada di pasar, pasti mereka-mereka yang punya akses impor daging akan sangat diuntungkan," katanya. Enny menyebut, lebih dari enam juta peternak dengan lebih dari 15 juta sapi akan menanggung potensi kerugian sekitar Rp 70 triliun. Dalam hitung-hitungannya, jika ingin harga daging sapi lokal Rp 80 ribu per kg, harga sapi hidup yang saat ini Rp 45 ribu per kg bobot hidup harus turun menjadi Rp 30 ribu per kg.

Pengamat pertanian dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa menyebut, sejumlah kebijakan yang digulirkan pemerintah dalam mengupayakan penurunan harga daging didasarkan atas kepanikan. Hal tersebut akan berdampak negative, bahkan membahayakan keberlangsungan usaha daging lokal maupun peternakan sapi rakyat.

Dwi menyesalkan, bahkan prihatin dengan sikap pemerintah yang berpikiran pendek dan ingin serbacepat.

Padahal, permasalahan daging sapi beserta lonjakan harganya telah dimulai sejak satu dekade yang lalu. Ketika itu, kebijakan pemerintah sendiri yang membatasi kuota impor sapi secara drastis. Kondisi tersebut berdampak pada melonjaknya harga sapi karena pasokan lebih rendah dibandingkan dengan permintaan.

"Harganya kala itu melonjak dari Rp 89 ribuan menjadi Rp 110 ribu per kg," katanya. Pemerintah pun membuka impor daging sapi dan membuat harga daging sapi lokal jatuh. Dari sanalah peternak sapi mulai lesu.

Mereka melihat usaha tersebut tidak menguntungkan, bahkan rugi. Populasi sapi pun berkurang secara drastis dari tahun ke tahun. Kondisi tersebut terus bertahan, bahkan makin memburuk saat ini disebabkan kepanikan pemerintah. Dwi pun meminta agar pemerintah membuka mata dan telinga, melihat kenyataan di lapangan mengingat persoalan sapi tidak bisa diselesaikan secara instan.

Penyelesaiannya butuh proses, bahkan kesabaran sembari membangun kembali peternakan sapi yang memerlukan waktu berkelanjutan.

Dalam momentum saat ini, ketimbang sibuk memusingkan harga daging sapi yang tinggi, Dwi meminta pemerintah lebih mendorong kepada agenda diversifikasi. "Sumber protein itu banyak, bukan hanya dari sapi atau impor sapi," ujarnya.    Oleh Sonia Fitri, ed: Muhammad Iqbal

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement