Kamis 30 Jun 2016 16:00 WIB

'Jangan Main-Main dengan Uang Rakyat'

Red:

Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta agar kementerian dan lembaga (K/L) terus memperbaiki kualitas laporan keuangannya. Presiden menegaskan, laporan keuangan yang baik merupakan wujud dari transparansi dan akuntabilitas pemerintah. Saat menerima Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) di Istana Negara, Jakarta, awal Juni silam, masih ada empat K/L yang laporan keuangannya mendapat opini Tidak Menyatakan Pendapat atau disclaimer dari BPK.

Meskipun jumlahnya berkurang karena tahun lalu ada tujuh K/L yang mendapat opini disclaimer, Presiden Jokowi mengingatkan, agar keempat K/L tersebut dan K/L lainnya untuk berbenah. "Empat K/L itu adalah Kemensos, Kemenpora, TVRI, Komnas HAM. Ini saya sebutkan supaya tahun depan tidak mengulanginya lagi, harus menjadi catatan," katanya. Presiden mengatakan, laporan yang diberikan BPK harus dijadikan momentum untuk terus melakukan perbaikan dan pembanahan dalam meningkatkan akuntabilitas keuangan negara.

Ini penting supaya APBN benar-benar sepenuhnya digunakan untuk kepentingan rakyat. "Saya meminta seluruh kementerian dan lembaga berbenah, mempertanggungjawabkan uang rakyat dengan sebaik-sebaiknya. Jangan ada yang bermain-main dengan uang rakyat," ujar Presiden Jokowi. Presiden juga berharap agar rekomendasi-rekomendasi yang diberikan BPK dapat secepatnya ditindaklanjuti.

Sebab, kata Presiden, masih ada rekomendasi-rekomendasi dari tahun sebelumnya yang belum ditindaklanjuti. "Kita harus bisa memastikan rakyat benar-benar bisa mendapatkan manfaat dari penggunaan APBN tersebut," ujarnya.

Fitra menyebutkan, ada potensi kerugian lebih dari Rp 221,8 triliun dari APBN Perubahan 2015. Kerugian ini diduga disebabkan buruknya aspek pencatatan keuangan dan belum disiplinnya sistem penegakan penerimaan sanksi oleh negara. Sekretaris Jenderal Fitra, Yenny Sucipto, mengatakan, kerugian sebesar Rp 221,8 triliun merupakan 12 persen dari besaran APBN P 2015 yang mencapai sekitar Rp 1.800 triliun.

Angka tersebut, jelas Yenni, belum merupakan hasil akumulasi audit keseluruhan dari lembaga dan kementerian negara. "Ada potensi kerugian yang lebih besar karena angka Rp 221,8 triliun diambil dari sampel beberapa lembaga dan kementerian," ujar Yenny. Yenny menjelaskan, salah satu sumber kerugian negara diduga disebabkan buruknya perencanaan keuangan saat pembelanjaan.

Sistem perencanaan yang buruk meliputi teknis administrasi, kesalahan pencatatan, alokasi penganggaran yang tidak tepat, dan sebagainya. Aspek ini menyumbang kerugian sebesar Rp 166,9 triliun.

Kerugian kedua, lanjut Yenny, disebabkan belum disiplinnya penegakan negara terhadap penerimaan anggaran dari sejumlah sanksi.

"Kerugiannya mencapai Rp 54,9 triliun yang berasal dari sanksi administrasi, piutang kedaluwarsa, piutang belum kedaluwarsa dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang tidak disetorkan secara maksimal," katanya.

Satria Kartika Yudha, ed: Muhammad Iqbal

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement