Kamis 23 Jun 2016 15:00 WIB

Regulasi Terlalu Melebar dan tidak Fokus

Red:

Keinginan pemerintah untuk melakukan perbaikan perekonomian dengan meluncurkan paket kebijakan ekonomi dianggap oleh sebagian kalangan sebagai stimulus. Sayangnya, regulasi ini disebut terlalu melebar dan tidak fokus dengan komitmen pemerintah untuk meningkatkan daya saing industri dan meningkatkan daya beli masyarakat. Padahal, seharusnya seluruh kebijakan ini bisa bermuara pada dua komitmen tersebut.

Ekonom Indef, Enny Sri Hartati, mengatakan, deregulasi yang dilakukan pemerintah saat ini belum memfasilitasi investor dalam menanamkan modal di Indonesia. Sebab, kebutuhan investor yang lebih substansial justru belum terpenuhi. Hal ini bisa dilihat dari pertumbuhan ekonomi yang menurun pada kuartal I 2016 menjadi di bawah lima persen.

"Jadi, kalau dilihat dari indikator yang sederhana ini, tentu saja bisa mengartikan bahwa paket kebijakan bukan hanya tidak efektif tapi gagal. Tidak ada perubahan yang berarti dari kinerja investasi jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya ketika belum ada paket stimulus ekonomi," kata Enny menjelaskan. Enny menyebut, dari data yang dimiliki Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) memang mencatatkan komitmen dan persetujuan investasi sebesar Rp 1.852 triliun atau tumbuh 45% (yoy). Namun, realiasasi investasi hanya mencapai Rp 545,4 triliun atau hanya tumbuh 17,8% (yoy).

Realisasi investasi sepanjang kuartal I 2016 pun hanya sekitar Rp 146,5 triliun. Nilai pertumbuhan yang masih kecil mengartikan tidak ada perubahan yang berarti dari kinerja investasi jika dibanding dengan tahun-tahun sebelumnya ketika belum ada paket stimulus ekonomi. Pandangan lain diutarakan Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Anton J. Supit.

Menurut Anton, paket kebijakan ekonomi sebenarnya tidak gagal sepenuhnya. Sebab, ada dampak yang ditimbulkan meski hanya sedikit. Tapi, sejauh ini dari pandangan pengusaha, efektivitas paket kebijakan ekonomi dalam memperbaiki iklim investasi masih menjadi pertanyaan.

"Pemerintah masih belum konsisten dalam tentang kebijakan yang diterapkan pemerintah. Hal ini menyebabkan investor hengkang dari Indonesia," kata Anton.

Meski pemerintah tengah melakukan evaluasi paket kebijakan ekonomi jilid I hingga ke-12, hal ini tidak menutup langkah pemerintah untuk menyiapkan paket kebijakan ekonomi ke-13. Salah satu aspek yang akan dimasukan dalam paket kebijakan ini adalah kredit perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).

Deputi Bidang Koordinasi Perniagaan dan Industri Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian ,Edy Putra Irawadi, mengatakan, saat ini standar pembelian rumah melalui kredit belum ada. Hasilnya, kredit dan harga standar rumah di setiap daerah belum sesuai. Contohnya, untuk rumah tipe 21 di Jambi dan Jakarta memiliki persyaratan kredit melalui skema kredit perumahan rakyat (KPR) bersubsidi atau fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP).

Dalam skema ini masyarakat berpengasilan rendah bisa mendapatkan bantuan uang muka rumah Rp 4 juta per rumah. "Gini, setiap rumah dengan tipe sama kan di daerah pasti berbeda harga. Ini harus ada standarnya biar bisa seragam," ujar Edy. Edy menjelaskan, regulasi mengenai perumahan MBR sebenarnya akan masuk dalam paket kebijakan ekonomi jilid I. Namun, karena regulasi ini masih dilakukan pembahasan dan uji publik yang belum tuntas maka kebijakan perumahan MBR ini ditunda.

Menurut Edy, kebijakan pengadaan rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah sebenarnya sudah ada di masing-masing pemerintah daerah. Sementara regulasi di pemerintah pusat berada di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perubahan Rakyat. Artinya, akan ada harmoninasi antara kebijakan di pusat dan di daerah sehingga program untuk perumahan MBR bisa berjalan dengan tepat.

"Kalau saya pegawai dengan gaji UMR (upah minimum regional) yang sekian, jangan disamalan dengan orang Jakarta. Enggak mampu nanti beli rumah tipe 21. Jadi, nanti harus ada ketegorisasi juga. Misal per lokasi dan mengacu pada pertumbuhan ekonomi di daerah setempat," kata Edy menjelaskan.     Oleh Debbie Sutrisno, ed: Muhammad Iqbal

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement