Senin 20 Jun 2016 15:00 WIB

Negara Tercengkeram Rokok

Red:

Tujuh tahun lalu, Manat Hiras Panjaitan (67 tahun) masih aktif menyanyi di paduan suara komunitasnya. Tak jarang dia diundang untuk ikut mera maikan acara-acara adat Batak yang digelar di Jakarta. Sebagai seorang sepuh di komunitasnya, Manat cukup dise gani. Bahkan kerabat terdekat Manat pun sam pai tahu, ia seorang penghisap rokok aktif.

Tiga bungkus rokok untuk sehari ia anggap sebagai bahan bakar baginya untuk bisa terus beraktivitas. Manat mengaku, tanpa rokok seolah pekerjaannya tak nya man. "Serasa ada yang kurang," katanya. Namun, nyatanya itu semua ia sesali kini, tujuh tahun kemudian, menuju dekade ketu juh usianya. Manat kini telah berhenti mero kok sama sekali. Ia yang dulu tak bisa pisah dari batang rokok, sekarang berbalik membencinya. Ganjaran kanker tenggorokan stadium IV yang dia terima lima tahun lalu, mengubah cara pandangnya terhadap rokok. Rokok baginya adalah alat pembunuh yang ampuh sekaligus penghisap harta yang efektif.

Ia menyadari betapa banyak ongkos yang harus ia bayar dari kebiasaanya menghisap rokok. Operasi pengangkatan pita suara lima tahun lalu menyisakan lubang udara di leher Manat. Melalui lubang itulah Manat kini bernafas sekaligus mengatur sirkulasi untuk bisa bicara layaknya orang sehat. Dengan suara parau dan sedikit terputus-putus, Manat berusaha keras untuk terus berbicara, menyuarakan penyesalannya atas pilihannya pada rokok di masa lalu.

Ia berpikir, cara Sang pencipta menegur nya masih terbilang lembut dibanding de ngan beberapa kenalannya di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, tempatnya menjalani terapi wicara. Di sana, Manat banyak temukan korban rokok yang tak seberuntung dirinya. Sambil menahan udara di "ventilasi" lehernya Manat berujar, "Saya bersyukur masih bisa bertahan lebih lama. Karena syukur kanker saya diangkat sampai bersih. Teman saya ada yang diangkat tapi masih ada kanker yang menyebar."

Meski berusaha keras, Manat tak bisa menghilangkan sama sekali suara parau yang keluar dari tenggorokannya saat melanjutkan kisahnya. Ia mengaku telah merokok sejak 1962 silam, saat ia duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP). Awalnya hanya coba-coba, ia lantas mengaku ketagihan. Pada 1967, ia hijrah ke Jakarta untuk mencari pekerjaan.

Dengan penghasilan yang ia dapat sendiri, Manat mengaku di Jakarta lah ia mulai menghisap tiga bungkus rokok per hari. Kebiasaan itu bertahan hingga medio 2009 ketika awal mula penyakit itu datang. "Sudah 45 tahun lebih saya menjadi sapi perah bagi industri rokok. Bukan saya yang menikmati rokok, tapi rokok yang menikmati saya. Entah berapa uang yang saya belanjakan untuk rokok selama ini," kata Manat saat berbincang dengan Republika di kediaman nya, Depok Timur, awal Juni ini.

Setelah menjalani operasi pada 2010, Manat lantas bertemu dengan banyak korban yang senasib dengannya. Dari perbincangan ringan, sekadar menyampaikan curahan hati se bagai sesama korban, akhirnya ia berga bung dengan Aliansi Masyarakat Korban Rokok Indonesia. Melalui perkumpulan ini ia mencoba membayar penyesalannya de ngan mengampanyekan kerugian dari mero kok. Bapak empat anak ini tak mau lagi ada korban-korban lain, yang terpaksa lehernya dilubangi atau malah ada nyawa melayang karena rokok.

Suara senada juga datang dari Helena yang menjadi salah satu pimpinan dari Aliansi Masyarakat Korban Rokok Indonesia (AMKRI). Helena menilai, salah satu sumber bencana rokok di Indonesia adalah pengawasan dan penegakan hukum oleh pemerintah yang sangat lemah terhadap peredaran rokok. Biaya cukai rokok yang dinilai masih rendah, juga ia anggap sebagai penyebabnya. Pada akhirnya, anak-anak usia dini hingga remaja masih dengan mudah mendapatkan rokok dan kemudian menghisapnya. "Hanya saja aksesnya terlalu mudah. Kalau di negara lain akses kepada rokok memang sulit. Rokok itu agak lemah pengawasannya. Padahal dampak rokok sangat berat," ujar perempuan yang sudah sejak 1975 bekerja di RSCM sebagai ahli terapi wicara ini.

Helena menilai, salah satu cara ampuh untuk bisa mengerem peredaran rokok di ka langan masyarakat adalah dengan menaik kan cukai rokok. Harga rokok yang melangit, menurutnya, paling tidak bisa menghalangi akses rokok kepada masyarakat miskin, juga kepada anak-anak di bawah umur.

Konsumsi rokok

Indonesia dianggap menjadi salah satu pasar raksasa yang tersisa bagi industri rokok dunia, selain India. Jumlah konsumsi rokok terus merangkak naik, terlebih tanpa peng awasan yang ketat dari pemerintah. Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEB UI) mencatat, pertumbuhan ekonomi dan inflasi tidak dapat meredam jumlah produksi rokok di Indonesia.

Hal yang sama juga terjadi pada konsum si rokok. Bahkan krisis moneter juga tercatat tidak dapat menurunkan produksi dan konsumsi rokok. Catatan Lembaga Demo grafi FEB UI, kurun 1997 hingga 1998 dengan inflasi mencapai 70 persen dan pertumbuhan ekonomi turun hingga 13 persen, konsumsi rokok malah meningkat dari 220 miliar batang rokok menjadi 269,8 miliar batang.

Hal serupa juga terjadi di antara tahun 2008 dan 2013, saat itu inflasi meningkat dari 2,78 persen ke 6,38 persen. Produksi rokok juga meroket dari 250 miliar batang rokok menjadi 346 miliar batang. Wakil Kepala Lembaga Demografi FEB UI, Abdillah Ahsan, mengatakan, tingginya produksi rokok ini dipengaruhi harga rokok yang sangat murah. Sementara itu, kontribusi industri rokok ke pendapatan domestik bruto selama 15 tahun dari 1995 sampai 2010 selalu di bawah dua persen.

Abdillah menegaskan, semakin banyak konsumsi rokok maka biaya kesehatan yang ditanggung oleh negara akan semakin tinggi. Karena itu, industri rokok perlu dikawal dari hulu sampai hilir. Abdillah menjelaskan, kerugian makro ekonomi akibat merokok mencapai Rp 44 triliun per tahun. "Selama konsumsi rokok masih tinggi maka akan tetap menjadi beban pemerintah. Jadi semestinya ada upaya untuk mengurangi prevalensi merokok," kata Abdillah.

Hasbullah Thabrany dari Center for Health, Economics, and Policy Studies UI menambahkan, sepanjang 2015 lalu, estimasi biaya yang dibelanjakan oleh masyarakat Indonesia untuk rokok saja mencapai Rp 330 triliun. Angka ini setara dengan pemanfaatan untuk membiayai 800 ribu pelajar dengan nilai beasiswa Rp 500 juta per tahun. Hasbullah menilai, industri rokok di satu sisi dianggap mendorong pergerakan ekonomi. Namun, sayangnya kelompok miskin terjebak pada konsumsi yang tidak produktif.

Ia menyatakan, pertumbuhan ekonomi karena rokok menyebabkan kebangkrutan ekonomi bagi penduduk miskin. Itulah sebabnya negara-negara maju mengendalikan industri rokok dengan sangat ketat. "Pengendalian rokok yang paling efektif adalah dengan menaikkan harga sekaligus cukai rokok atau pajak rokok, atau bisa dibilang pajak dosa rokok."    Oleh Sapto Andika Candra, ed: Muhammad Iqbal

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement