Kamis 02 Jun 2016 17:00 WIB

Menjaga Kebangkitan UMKM Elektronik

Red:

"Ke depan, industri kreatif berbasis budaya dan teknologi akan menjadi masa depan kita," ujar Presiden Joko Widodo lantang di depan ratusan pelaku industri kreatif awal Agustus tahun lalu. Presiden ketika itu yakin betul industri kreatif akan menjadi mercusuar ekonomi Indonesia terutama jika disatukan dengan teknologi.

Tak heran, pemerintah siap menggelontorkan dana hingga Rp 100 triliun yang tertuang dalam program (Kredit Usaha Rakyat) untuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Tren sekarang, UMKM mulai beralih menjadi UMKM elektronik pun menjadi salah satu target pemerintah untuk didorong pertumbuhannya.

 

Pengamat e-commerce dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Kun Arief Cahyantoro, dalam diskusi terkait dunia digital dan UMKM beberapa waktu lalu secara tegas mengatakan, peluang bisnis UMKM di Indonesia sangat besar dan potensial. Kun mengutip data dari laman we are social yang menyebut Indonesia saat ini merupakan pengguna digital media terbesar.

 

Selain itu, yang perlu diingat pada 2020, Indonesia akan memasuki masa keemasan berupa bonus demografi. Kala itu jumlah populasi produktif lebih banyak dibandingkan nonproduktif.

Indonesia juga diprediksi akan mengalami peningkatan pendapatan per kapita hingga 1,4 persen pada 2019.

Puncaknya, menurut Kun, Indonesia akan menikmati peningkatan luar biasa di bidang ekonomi termasuk industri kreatif digital pada 2035.

"Cina sempat merasakannya pada awal 1990-an dan menikmatinya saat ini. Indonesia pun punya peluang besar. Namun, dengan syarat harus dikelola dengan benar," ujarnya kepada Republika. Terkait dunia digital, berdasarkan data 2015, sebanyak 60 persen pengguna internet berada pada rentang usia 12 tahun hingga 15 tahun.

Sementara, pengguna internet terbesar berada pada rentang usia 25 tahun hingga 29 tahun. Dengan catatan penggunaan jaringan nirkabel 3G sudah mencapai 60 persen dari total seluruh pengguna seluler.

Bahkan penetrasi seluler di Indonesia melebihi rata-rata dunia dan Asia (119 persen), yaitu 121 persen.

Kun menjelaskan, besarnya penggunaan internet dan gawai di Indonesia akan sangat berpengaruh besar ke bisnis ritel yang kini sudah berubah menjadi perdagangan elektronik alias e-commerce.

Saat ini, potensi nilai transaksi bisnis daring di Indonesia mencapai 20 miliar dolar AS hingga 28 miliar dolar AS pada 2016. Lalu, apa yang menjadi tren bisnis digital pada tahun ini?

Pertama, Indonesia akan menjadi pasar ritel terbesar. Negeri ini sedang menjadi incaran pebisnis daring berkapital besar dari luar negeri.

Sehingga, pelaku bisnis lokal harus fokus pada pasar dalam negeri. Kedua, kalangan muda akan menjadi pasar terbesar sekaligus mesin, alias pelaku utama bisnis digital di Indonesia.

Pelaku bisnis diharapkan fokus pada produk pasar bagi kalangan muda. Ketiga, dengan penggunaan telepon seluler dan gawai yang begitu besar di Indonesia, perdagangan digital mulai beralih dari cabang besar e-commerce ke m-commerce (mobile commerce).

Beralihnya penggunaan dari komputer pribadi ke gawai sebagai alat transaksi mengubah sistem dan strategi jual beli yang mendukung optimalisasi penggunaan seluler. Diharapkan, pelaku industri digital melakukan inovasi teknologi yang memudahkan masyarakat bertransaksi.

"Intinya saat ini orang lebih memilih atau mulai memilih menggunakan smartphone untuk surfing dalam hal ini juga berbelanja," kata Kun.

 

e-commerce

Lalu bagaimana potensi industri kreatif di Indonesia terutama yang berbasis teknologi dari kacamata pebisnis digital? Salah satu pendiri (co-founder) yang juga menjabat sebagai Chief Financial Officer Bukalapak.com Muhammad Fajrin Rasyid menjawab 'sangat'. 

Sangat dalam artian, industri kreatif berbasis digital tumbuh pesat terutama penjual di Bukalapak.com. Tercatat pada pada 2011, hanya ada 100 ribu user, baik penjual maupun pembeli di laman tersebut.

Hanya dalam waktu lima tahun angkanya meningkat berkali-kali lipat menjadi lima juta akun. Angka ini, menurut Fajrin, menunjukkan bisnis perdagangan elektronik atau e-commerce, dengan semakin meleknya masyarakat terhadap penggunaan internet, sangat menjanjikan.

"Rata-rata penjualan UMKM di bukalapak tumbuh dua kali lipat tiap tahunnya. Saat ini ada 650 ribu penjual di bukalapak.com . Padahal pada 2011 hanya 20 ribu penjual" kata Fajrin kepada Republika beberapa waktu lalu. Perkembangan teknologi, menurut Fajrin, memang memudahkan pebisnis untuk bertransaksi dan melakukan aksi jual beli.

Masyarakat pada sisi lain pun bisa sangat mudah mencari barang yang ingin dibeli melalui jaringan internet. Saat ini, ada beberapa platform dunia maya yang menjadi sarana pebisnis daring memasarkan produknya.

Pertama, pebisnis daring sering kali memanfaatkan media sosial seperti Facebook, Twitter, dan Instagram. Cara ini tergolong simple dan mudah karena penjual dan pembeli dunia maya bisa berinteraksi langsung tanpa perantara.

"Cuma kekurangan pada masalah kepercayaan, yang tak mengenal atau follow takkan membeli barang kita," kata Fajrin. Bisnis di dunia daring, lanjut Fajrin, juga membutuhkan kepercayaan seperti testimoni di laman Facebook atau media sosial yang bisa membuat pembeli memercayai layanan perusahaan.

Cara selanjutnya, menurut Fajrin, adalah melalui laman pribadi. Tak sedikit pebisnis daring memiliki laman pribadi untuk menjual produk mereka.

Sayangnya, mengelola laman bukan perkara mudah. Dibutuhkan orang-orang yang bisa mengelola alias maintenance laman terus menurus agar tampak interaktif dengan konsumen.

Nah, ketiga, menurut Fajrin adalah toko daring (online shop) yang sedang booming di Indonesia. Toko daring pun terdiri dari dua jenis, yaitu situs iklan baris dan market places.

Situs iklan baris contohnya seperti Lazada, Zalora, Mataharimall.com, dan bhinneka.com . Sementara marketplace, seperti bukalapak, blibli.com , elevenia.com , tokopedia, dan merek internasional Rakuten.

Perbedaan keduanya adalah marketplace tak memberlakukan pembelian langsung. Sistem pembayaran dilakukan melalui aturan pengelola situs sehingga menjamin keamanan transaksi.

Hanya saja, marketplace umumnya memberlakukan tarif bagi setiap transaksi sebagai biaya pengelolaan situs. Namun, untungnya jika barang tak laku pun penjual tak perlu membayar fee sehingga takkan rugi.

"Kelebihan online marketplace adalah cakupan dan kemampuan distribusi yang begitu besar. Bahkan kalaupun ada yang bertanya apakah rugi berjualan di online marketplace, jawaban kami tidak," ujar Fajrin.

Menjaga Kebangkitan

Deputi Bidang Produksi dan Pemasaran Kementerian Koperasi dan UKM Wayan Dipta mengakui booming bisnis e-commerce mempermudah pelaku usaha, terutama UMKM memasarkan produknya. Tak heran, pemerintah pun mendorong UMKM untuk gencar berpromosi melalui media internet.

Terutama melalui marketplace dan situs iklan baris Indonesia. Saat ini, berdasarkan data Kemenkop dan UKM ada sekitar 4.000 pebisnis UMKM yang menjajakan produknya melalui internet.

Hanya saja angkanya terbilang kecil jika dibandingkan angka hampir 57 juta pelaku usaha UMKM di Indonesia.

Hal ini karena banyak juga pelaku UMKM yang belum melek teknologi internet. Terutama bagaimana bertransaksi melalui daring.

Masalah lainnya adalah sebagian UMKM minder karena tak mampu berbahasa Inggris dengan baik.

Padahal, melalui media teknologi internet pelaku pasar dalam negeri bisa menjangkau masyarakat asing. Pemerintah pun selama ini telah berupaya mendorong dan memfasilitasi pelaku UMKM untuk memiliki laman.

Selain itu, meningkatkan kapasitas UMKM melalui sertifikasi produk.  Ichsan Emrald Alamsyah ed: Muhammad Iqbal

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement