Senin 09 May 2016 17:00 WIB

Flu Burung Cerdas Hadapi

Red:

Sudah lebih dari dua tahun tema flu burung (avian influenza/AI) tak menjadi topik pembicaraan publik. Terakhir, kasus flu burung yang menghebohkan masyarakat terjadi pada rentang Juni sampai November 2013. Kala itu, dua warga Kota Bekasi (satu di antaranya balita) dan seorang warga Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, menjadi korban meninggal dunia akibat flu burung. Bersamaan dengan kasus itu, tingkat kekhawatiran publik atas keterkaitan kasus flu burung pada manusia meningkat drastis.

Lalu, setelah lebih dari dua tahun itu, apa kah sejatinya flu burung sudah pergi dari bumi Indonesia? Berdasarkan laporan SMS Gateway dan i-SIKHNAS sejak 2007 sampai dengan 2016 memang menunjukkan penurunan jumlah kasus AI pada unggas yang cukup signifikan se tiap tahunnya. Terdapat fluktuasi musiman tiap tahun, kecenderungan terjadi peningkatan ka sus AI pada musim hujan atau Januari sampai dengan April.

Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Muladno mengatakan, pemerintah membagi wilayah risiko sebaran AI menjadi empat tingkat, yakni wilayah risiko tinggi, sedang, rendah, dan bebas AI.

"Wilayah yang sudah dinyatakan bebas flu burung adalah Maluku dan Maluku Utara," kata Muladno di Jakarta, beberapa waktu lalu. Berdasarkan data Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementan, wilayah risiko tinggi sebaran AI meliputi Jawa Barat, Banten, DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Sumatra Utara, Sumatra Barat, Riau, Lampung, Bali, dan Sulawesi Selatan. Untuk wilayah yang masih risiko sedang adalah Aceh, Kepulauan Riau, Jambi, Bengkulu, Sumatra Selatan, Bangka Belitung, NTB, Pulau Kali man tan, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Te ngah, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Barat. Adapun Papua, Papua Barat, dan NTT masuk dalam kategori wilayah risiko rendah penye baran AI.

"Walaupun baru dua provinsi yang dinya takan bebas flu burung,tapi sepanjang 2015 tidak ada kasus AI pada unggas di 11 provinsi," ujar Muladno.

Kesebelas provinsi yang dimaksud Muladno adalah Papua, Papua Barat, NTT, Kalimantan Te ngah, Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah, Bali, Kepulauan Riau, Jambi, Aceh, dan Bangka Belitung.

Dalam tiga tahun mendatang, pemerintah menargetkan seluruh Pulau Sulawesi, Bali, dan Pulau Sumatra terbebas dari flu burung. Ba rulah, kemudian pada 2019 Pulau Jawa diha rapkan juga dapat bersih dari kasus flu burung. Pada akhirnya pemerintah menargetkan Indo nesia terbebas dari virus AI pada 2020.

Guna mewujudkan hal itu, Muladno me min ta masyarakat harus memegang prinsip deteksi, lapor, dan respons cepat AI. Caranya, masyarakat harus segera memberikan laporan ke instansi pemerintah terkait apabila ada unggas sakit atau mati mendadak di lingkungan mereka atau di lingkungan peternakan. "Petugas URC (Unit Respons Cepat) di pusat dan daerah juga harus cepat berkoordinasi untuk melakukan tindakan deteksi uji cepat flu burung dan melaporkan hasilnya via SMS gateway," ujar Muladno.

Direktur Kesehatan Hewan pada Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementan Ketut Diarmita menerangkan, selama rentang Januari sampai Maret 2016, terdapat beberapa kasus flu burung yang terjadi di sejumlah dae rah. Flu burung kembali terdeteksi di Kabupa ten Bekasi-Jawa Barat, Kabupaten Banyuwangi, dan Lamongan-Jawa Timur, dan di Jakarta Selatan-DKI Jakarta.

Menurut Diarmita, peningkatan jumlah kasus AI terjadi selama Maret 2016 yang meli puti 47 kasus di 47 desa, 45 kecamatan, 29 ka bupaten/kota, dan 11 provinsi. Perinciannya, Provinsi Jawa Barat ada 15 kasus, Lampung (12), Sulawesi Selatan (enam), Jawa Timur (empat), Jawa Tengah (empat), DIY (satu), DKI (satu), Sumatra Selatan (satu), Kalimantan Timur (satu), Banten (satu), dan Sulawesi Barat (satu).

Adapun jumlah unggas yang mati selama Maret 2016 sebanyak 66.848 ekor, terdiri atas itik 27.402 ekor, ayam petelur 9.832 ekor, ayam pedaging 2.167 ekor, puyuh 5.273 ekor, dan ayam kampung 2.174 ekor. Selama 2016, pe musnahan dilakukan terhadap 268 ekor unggas yang terdiri atas itik 228 ekor dan ayam 40 ekor. "Pemusnahan dilakukan di Bekasi, Cilan dak; Jakarta Selatan, dan Lamongan," kata Diarmita.

Diarmita melanjutkan, berdasarkan hasil identifikasi biomolekuler disimpulkan jenis virus AI yang menyerang unggas di Indonesia sejak 2003 adalah virus AI, subtipe H5N1 clade 2.1.3. Kemudian, sejak akhir 2012 introduksi baru clade 2.3.2. virus AI clade 2.1.3. menye bab kan kematian pada semua jenis unggas, tapi tidak mati pada unggas air hanya sebagai pembawa (carrier). "Sedangkan, virus AI clade 2.3.2. dapat menyerang dan menyebabkan ke matian pada semua jenis unggas, termasuk unggas air."

Mengenai cara terbaik mencegah penularan dan penyebaran flu burung, Diarmita mene rang kan, masyarakat harus lebih dulu me mahami karakteristik virus AI. Menurut dia, flu burung adalah penyakit yang menyerang ung gas dan bersifat endemik di Indonesia. Virus ini juga dikenal sebagai virus yang mudah ber ubah antigenisitasnya. Virus AI memiliki teknik mengecoh respons imun yang timbul akibat infeksi alam maupun vaksinasi. Ini merupakan ciri kondisi yang ditimbulkan oleh penyakit yang bersifat endemik. Kemunculan virus disulut beragam faktor predisposisi, di antara nya, perubahan musim, perubahan pakan, imu nosupresan, dan perubahan karakter virus. "Makanya, pemerintah pun telah melaku kan banyak telaah mengenai hal tersebut."

Dia melanjutkan, inti dari pemberantasan flu burung adalah koordinasi, informasi, dan edukasi kepada masyarakat soal biosekuriti. Vaksinasi sesuai clade virus di lapangan juga dilakukan sambil terus mempertegas larangan beternak unggas di perkampungan kumuh.

Pemerintah juga mendorong dibangunnya sistem peternakan kompartemen. Sebab, ke ber adaan sistem ternak umbaran membuka peluang penyebaran virus. "Ingat, hampir 90 per sen penyakit hewan menular karena lalu lintas hewan dan produknya," kata Diarmita. Dia melanjutkan, kejadian klinis AI dilapor kan pada peternakan umbaran alias back yard yang umumnya tidak divaksin. Karena itu, pe merintah melarang penggunaan vaksin pada peternakan yang diumbar alias tidak dipelihara secara intensif."

Dengan kejadian AI selama ini yang banyak menyerang ayam kampung dan itik yang pe meliharaannya diumbar, Diarmita pun memin ta masyarakat tidak khawatir terhadap ayam komersial layer pada tingkat breeder (GP dan PS) serta komersial (final stock). Sebab, pada umumnya ayam-ayam komersial telah divaksin AI sekurang-kurangnya tiga kali dalam masa pemeliharaan.

Kendati demikain, meski unggas telah di vaksin, peluang unggas masih terjangkit flu bu rung tetap ada karena sifat virus yang pandai ber mutasi dan adaptasi. Karenanya, pemberian vaksin yang akurat harus dibarengi penerapan biosekuriti yang tepat guna dan mudah dilaku kan oleh peternak kecil. Arahan Kementan, bio sekuriti yang baik dan benar baru dapat dila kukan oleh peternak breeder. Sejauh mana prin sip tersebut dapat diterapkan sangat ber gantung kepada kesadaran peternak.

"Makanya, edukasi dan sosialisasi terus dilakukan kepada peternak rakyat dengan cara yang mudah diserap dan ringan. Intinya, kita harus cerdas menghadapi flu burung ini," katanya.

Selain pemberian vaksin dan penerapan biosekuriti, Diarmita melanjutkan, pemerintah juga sudah membentuk Unit Reaksi Cepat Kementan dan Unit Pelaksana Teknis Veteriner di daerah. Unit Reaksi Cepat Kementan berada di bawah komando Dokter Hewan Azhar di ba wah supervisi Kasubdit Pemberantasan. Dalam pekerjaannya, unit ini bekerja sama dengan Dinas Peternakan se-Indonesia.

"Manusia jangan sampai kalah cerdas de ngan virus flu burung. Makanya, segala langkah cepat berbasis teknologi sistem informasi cepat juga telah dibangun agar memudahkan koor dinasi," ujar Diarmita.    Oleh Sonia Fitri, ed: EH Ismail

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement