Senin 09 May 2016 17:00 WIB

Kementan Respons Cepat dan Tanggap terhadap Kasus Avian Influenza

Red:

Guna mengendalikan Avian Influenza (AI) pada unggas maupun flu burung pada manusia, pemerintah cukup efektif meminimalisasi risiko penyebaran AI dengan bantuan kecepatan pelaporan via Informasi Sistem Kesehatan Hewan Nasional (I-SIKHNAS) dan SMS Gateway. Selain itu, tindakan Tim Respons Cepat Terpadu (Unit Respons Cepat Kabupaten/Kota, Provinsi, Pusat, Balai Besar Veteriner/Balai Veteriner, Dinas Kesehatan/Puskesmas) juga memberikan dampak positif menekan risiko penyebaran AI.

Direktur Kesehatan Hewan pada Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian (Kementan) Ketut Diarmita mengatakan, ISIKHNAS merupakan sistem baru yang diperkenalkan dalam rangka mempermudah, mempercepat, dan mengefisienkan pelaporan terhadap kasus AI di lapangan dengan menggunakan handphone by SMS.

Outbreak flu burung pada unggas di Indonesia kembali dilaporkan sejak Februari 2016. "Ini menjadi pengingat bahwa ancaman flu burung belum pergi meninggalkan kita, walaupun kasus H5N1 pada manusia di Indonesia telah menurun drastis sejak 2010 sampai 2015," kata Diarmita.

Berdasarkan informasi dari Kementerian Kesehatan, kasus flu burung pada manusia sejak 2005 sampai 2015 sebanyak 199 orang positif H5N1 dan 167 orang di antaranya meninggal. Namun, tren jumlah kasusnya menurun signifikan setiap tahunnya. Selama 2016, tidak ditemukan kasus positif flu burung pada manusia.

Diarmita melanjutkan, cuaca hujan dan kondisi lembab bisa membuat benteng pertahanan serbuan virus flu burung goyang. Sebab, virus senang bertahan di dalam kotoran unggas dan lingkungan air dan tanah dalam waktu beberapa pekan dan dapat bertahan pada suhu dingin. Munculnya kembali outbreak flu burung disebabkan oleh berbagai faktor yang memudahkan penyebaran virus AI, antara lain cuaca ekstrem, terlalu padatnya populasi unggas, khususnya di Jawa, dan menurunnya kesadaran melakukan pelaporan secara cepat dan vaksinasi AI yang tepat.

Oleh karena itu, untuk mengantisipasi perubahan cuaca ekstrim yang tidak menentu yang berisiko peningkatan kasus AI pada unggas, maka telah diterbitkan Surat Edaran Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Nomor 12141 Tanggal 12 Februari 2016 tentang kewaspadaan dan peningkatan pengendalian penyakit AI. Surat edaran ter sebut secara ringkas berisi tentang delapan hal, yakni pelaporan cepat dari masyara kat/pe ternak tentang adanya unggas sakit/ ma ti, respons cepat tindakan pengendalian AI oleh petugas kesehatan hewan, penerapan biosekuriti efektif model tiga zona, pelaksanaan vaksinasi pola tiga tepat, sanitasi rantai pasar unggas, surveilans dinamika virus AI, perilaku hidup bersih sehat (PHBS), dan pengadaan DOC direkomendasikan berasal dari kompartemen bebas AI. "Sampai Maret 2016 sudah ada 49 kom partemen sertifikat bebas AI," ujar Diarmita.

Kendati demikian, kata Diarmita, pema haman masyarakat umum atau peternak unggas komersial skala kecil pemula umumnya menganggap meningkatnya kasus penyakit unggas saat ini disebabkan wabah penyakit tetelo atau aratan (ND) yang biasa terjadi. Alasan peternak, flu burung sudah lama tidak terjadi di wilayahnya.

"Masalahnya selama ini, peternak tradisional cenderung takut melapor karena takut ayamnya dimusnahkan dan tidak ada penggantian, makanya harus terus kita tingkatkan program penyuluhan ke masyarakat, agar kejadian wabah flu burung bisa dicegah," ujar Diarmita.

Dia menjelaskan, penyuluhan kepada masyarakat tentang kewaspadaan terhadap ancaman penyakit AI pada unggas dan flu burung pada manusia perlunya segera ditingkatkan. Caranya, dengan menggunakan pesan kunci yang diintegrasikan antara aspek kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat, serta dikoordinasikan oleh Komnas Zoonosis. Penyuluhan yang efektif disarankan dalam bentuk Iklan Layanan Masyarakat Flu Burung melalui media elektronik (televisi dan radio) yang ditayangkan berkelanjutan.

Diarmita pun meminta kepada masyarakat harus memegang prinsip deteksi, lapor, dan respons cepat AI. Masyarakat harus segera memberikan laporan ke instansi pemerintah terkait apabila ada unggas sakit atau mati mendadak di lingkungan mereka atau di lingkungan peternakan.

"Petugas URC di pusat dan daerah juga harus cepat berkoordinasi untuk melakukan tindakan deteksi uji cepat kasus AI dan mela porkan hasilnya via SMS Gateway," katanya.

Ketua Umum Himpunan Peternak Unggas Lokal Indonesia (Himpuli) Ade M Zulkarnain mengakui, kesadaran masyarakat melapor kasus gejala flu burung memang masih rendah. Ada berbagai sebab masyarakat berperilaku seperti itu.

"Kebanyakan, penyebab tidak melapor ka rena kekhawatiran mereka merugi jika di la kukan depopulasi besar-besaran," kata Ade.

Menurut Ketua Umum Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas (GPPU) Krissantono bahwa hingga kini memang belum terjadi ledakan kasus flu burung. Kasus AI yang ada pada peternakan unggas jenis ras masih dalam skala kecil dan sporadis. Krissantono berharap, tidak akan pernah terjadi ledakan penyakit AI di Indonesia. Sebab, hal itu bisa berdampak pemusnahan massal unggas.

"Ujung-ujungnya, kekurangan unggas dapat mendorong pembukaan impor dari negara luar. Jika sudah begitu, akan sulit bagi Indonesia untuk menutup kembali pintu impor yang sudah dibuka," kata Krissantono.

Karena itulah, Krissantono melanjutkan, pencegahan terhadap penyakit AI agar kasusnya tak menyebar luas perlu sangat diperhatikan oleh peternak. Termasuk memperketat lalu lintas perdagangan unggas antarpulau. Selebihnya, peternak unggas sepakat meningkatkan biosekutitas budidaya ayam dan menjaga kebersihan kandang.    Oleh Sonia Fitri, ed: EH Ismail

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement