Senin 01 Feb 2016 16:00 WIB

Pasar Modal Siap Hadapi Keadaan Darurat

Red:

Terjaminnya keamanan dan kabar positif yang muncul seusai teror memang menjadi pendorong keberanian pemodal dalam bertransaksi di pasar modal Indonesia. Imbasnya, IHSG pun lekas pulih.

Sesaat pascaledakan bom di kawasan Thamrim, polisi memang langsung bergerak cepat mengamankan situasi. Kejadian ini pun bertepatan dengan keputusan Bank Indonesia (BI) yang menurunkan suku bunga acuannya (BI Rate) sebesar 25 basis poin.

Menurut analis dari PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo), Guntur Tri Hariyanto, penurunan BI Rate memberikan sinyal pihak otoritas yang berwenang tidak takut akan ancaman teror.  Langkah ini pun menunjukkan publik tetap optimistis ekonomi Indonesia akan mengalami perkembangan positif pada tahun ini. "Kita juga perlu bersyukur bahwa rupiah masih terjaga stabilitasnya, bahkan tidak menembus Rp 14.000 ketika terjadinya teror. Ini mengindikasikan optimisme terhadap Indonesia juga masih terjaga," ujarnya.

Direktur Utama BEI Tito Sulistio menyatakan, hal ini juga didukung kesiapan infrastruktur BEI dalam menghadapi setiap ancaman yang terjadi. Itu termasuk terorisme. "Hebat itu lho dalam satu jam balik naik," katanya.

BEI memang telah memiliki Business Continuity Management (BCM). Ini adalah sistem dan prosedur khusus dalam penanganan krisis. BEI juga telah memiliki program pengembangan berkelanjutan untuk lebih menjamin dan meningkatkan kesiapan sistem perdagangan.

Sistem transaksi di BEI saat ini sudah memiliki daya tampung harian mencapai 5 juta order. Itu dengan transaksi mencapai 2,5 juta, yang didukung kecepatan proses mencapai 2.500 order per detik.

Lebih jauh lagi, sistem remote trading yang dimiliki BEI kini juga mecapai 505 koneksi dengan Anggota Bursa (AB). Dari jumlah itu, tercatat 453 koneksi aktif. Sistem itu memiliki fitur online trading yang digunakan 65 AB, automatic ordering oleh 26 AB, dan direct market access oleh 22 AB. "Tingkat kesiapan operasi kami mencapai 99,89 persen," ujar Tito.

Perekonomian Indonesia saat ini juga dinilainya masih prospektif. Ini menjadi alasan pemodal masih percaya untuk berinvestasi di dalam negeri. Hal itu terlihat dari indikator pertumbuhan ekonomi pada akhir 2015 yang berada dalam kondisi yang stabil, yakni 4,67 persen. 

Angka ini lebih tinggi daripada 1998 yang tercatat -13 persen dan per 2008 yang tercatat 4,12 persen. Kinerja keuangan mayoritas emiten di BEI yang masih sehat juga menjadi alasan investor untuk tetap berinvestasi di pasar modal Indonesia.

Berdasarkan laporan keuangan kuartal III 2015, sebanyak 67,5 persen emiten masih mencatatkan laba. Ini jauh lebih baik daripada periode krisis 1998 dengan 66,1 persen emiten mendapatkan kerugian.  

Meski begitu, pengamat pasar modal dari IPMI International Business School, Roy Sembel, mengingatkan para investor untuk tetap mempersiapkan dana darurat. Investor tetap harus membuat alokasi dari aset-aset investasi demi meminimalkan risiko. "Harus melihat lagi tujuan dari investasinya, sesuaikan dengan kebutuhan," katanya.  Risa Herdahita, ed: Muhammad Iqbal

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement