Kamis 14 Jan 2016 14:00 WIB

Potensi Wakaf yang Belum Tergali

Red:

oleh: Fuji Pratiwi

Berdiri lebih dari seribu tahun, Masjid Al Azhar berdiri dan bertransformasi menjadi masjid-sekolah di timur Kairo, ibu kota Mesir. Selama sembilan abad, tulis Amelia Fauzia dalam bukunya Faith and the State: A History of Islamic Philanthropy  in Indonesia, Al Azhar disokong wakaf dan donasi sebelum akhirnya pada 1892 Pemerintah Mesir menyentralisasi wakaf.

Dari Al Azhar pula, ribuan ilmuwan lintas bidang dilahirkan. Al Azhar jadi pusat keilmuan penting, tak cuma buat Islam, tapi komunitas dunia. Al Azhar juga hanya satu contoh betapa wakaf berdaya guna besar jika dikelola optimal.

Belakangan, negara-negara Islam fokus melakukan pemberdayaan zakat dan wakaf untuk  mengentaskan kemiskinan. Sejak tahun lalu, bersama Bank Pembangunan Islam (IDB),  Pemerintah Indonesia melalui Bank Indonesia (BI) dan Badan Wakaf Indonesia (BWI)  menginisiasi perumusan lembaga standardisasi wakaf melalui Kelompok Kerja International  Prinsip Inti Wakaf (IWG-WCP). Kelompok kerja ini menyusul kelompok kerja internasional  serupa mengenai zakat yang sudah lebih dulu dibentuk.

Sebagai salah satu inisiator IWG-WCP, Indonesia menyadari signifikansi peran filantropi dan keuangan sosial keagamaan dalam pengentasan kemiskinan. Dari data Sistem Informasi Wakaf Kementerian Agama RI (diakses per 11 Januari 2016), ada 38.930,54 hektare tanah wakaf yang tersebar di 238.711 lokasi. Dari total keselurugan luasan, sebanyak 67,58 persen di antaranya sudah bersertifikat.

Berdasarkan luas tanah, Provinsi Sumatra Utara dan Aceh memiliki tanah wakaf terluas,  masing-masing 7.202,14 hektare dan 7.135,93  hektare. Sementara, dari sebaran lokasi, Provinsi Jawa Tengah mempunyai sebaran tanah wakaf terbanyak, yaitu di 72.500 lokasi.

Di sisi peruntukkan, mayoritas tanah wakaf digunakan untuk masjid (43,69 persen), mushala (30,15 persen), dan sekolah (10,59 persen). Pada publikasi Siwak 5 Agustus 2014 pula, sudah 56  lembaga yang diakui BWI sebagai nazhir.

Mengutip laporan keuangan BWI pada 2009, Abdullah Ubaid dalam makalahnya "Analisis  Hasil dan Metode Fundraising Wakaf Uang Badan Wakaf Indonesia (BWI)", menyebut, BWI telah mengumpulkan wakaf uang sebesar Rp 503,537 juta. Angka ini lebih tinggi dari target  BWI sebesar Rp 500 juta kala itu.

Menurut mantan wakil sekretaris BWI M Cholil Nafis dalam tulisannya di laman resmi BWI, jika sejuta umat Muslim Indonesia mau berwakaf  tunai Rp 100 ribu per bulan akan diperoleh dana wakaf sebesar Rp 1,2 triliun per tahun. Jika dana itu diinvestasikan dengan tingkat bagi hasil 10 persen per tahun, akan ada tambahan dana wakaf Rp 120 miliar per tahunnya.

Aset wakaf nasional berupa tanah, kata Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia Mirza  Adityaswara, sebenarnya besar. Hanya saja,  masih banyak yang menafsirkan wakaf secara  konservatif dan tradisional. Padahal, wakaf bisa dibuat lebih produktif sehingga lebih  menyejahterakan umat.

Sebab, di satu sisi, masyarakat miskin tidak dapat mengakses keuangan komersil dan di sisi lain pemerintah juga punya keterbatasan. Jurang perbedaan pendapatan masyarakt miskin dan kaya makin lebar dan dalam. Hal ini tercermin dalam rasio gini yang kini mencapai 0,41.

Inovasi dan Sekat Regulasi

Agar lebih progresif bagi pembangunan, Mirza menyatakan pengelolaan wakaf perlu inovasi. Komunikasi dan kerja sama antarlembaga penting karena efek keberhasilan menggerakkan wakaf tidak hanya untuk sektor keuangan, tapi juga sektor riil berbasis syariah.

Wakaf tunai dinilai Direktur IDB Group Country Gateway Office Indonesia Ibrahim Ali Shoukry  kini juga lebih fleksibel dalam pemindahan dan penginvestasiannya. Jika pun Indonesia saat ini  punya aset wakaf berupa tanah, instrumen seperti sukuk bisa digunakan untuk menjaring  likuiditas membangun properti produktif di atas tanah wakaf itu.

"Di Jakarta sudah ada tanah wakaf yang di atasnya didirikan bangunan lalu disewakan sehingga menghasilkan," ungkap Shoukry.

Menurut Ketua 1 Bidang Keuangan, Filantropi dan Bisnis Sosial Masyarakat Ekonomi Syariah  (MES) Yuslam Fauzi, sukuk terkait wakaf harusnya bisa menarik karena biayanya lebih murah. "Kalau ini bisa dijalankan pemerintah  pusat, pemerintah daerah dan korporasi akan ikut tertarik," kata Yuslam.

Di sisi lain, Yuslam mendeteksi potensi kendala pada aspek hukum, syariah maupun hukum  positif. Yang mengkhawatirkan, lanjut Yuslam, justru hukum positif yang patut dicermati karena aset wakaf dan nazhir banyak yang belum bersertifikat.

Kedua soal edukasi. Banyak nazhir perorangan dan sifatnya turun-temurun. Kapasitas mereka  sering kurang memadai sebagai nazhir. Kalau aset yang mereka kelola dijadikan basis sukuk,  mereka butuh wawasan lebih.

"Aset wakaf strategis, ditambah atau diubah fungsi jelas butuh sosialisasi publik," ungkap  Yuslam.

Pernah merasakan tersedotnya dana pihak ketiga bank syariah ke sukuk, mantan direktur utama Bank Syariah Mandiri itu menilai dana dari hasil penjualan sukuk disimpan di bank syariah  yang jadi agen penjual.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memberi jalan jika pengelola wakaf (nazhir) mau menerbitkan sukuk untuk mengoptimalkan tanah wakaf. Deputi Komisioner Pengawas Pasar Modal 2 M Noor Rachman mengungkapkan, dalam Undang-Undang Pasar Modal, surat utang bisa diterbitkan badan atau perorangan. Nazhir masuk di dalamnya selama memenuhi keterbukaan yang disyaratkan.

Sukuk berbasis wakaf juga efisien karena sudah ada aset yang mendasari transaksi (underlying  asset). Bagi pasar modal nasional, sukuk macam ini terbilang variasi, menambah suplai, dan tak mustahil memikat investor.

Ada insentif pula bagi penerbitan sukuk dengan pungutan maksimal Rp 150 juta ketimbang  menerbitkan obligasi yang ditarif maksimal Rp 750 juta.

Staf Ahli Bidang Makro Ekonomi dan Keuangan Internasional Kementerian Keuangan Andin  Hadiyanto menjelaskan, dalam Undang-Undang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN), yang  memungkin menjadi underlying asset sukuk adalah aset atau proyek negara. Dari aturan itu,  sukuk negara dengan underlying asset wakaf belum dimungkinkan.

BWI pun belum bisa menerbitkan sukuk karena Undang-Undang Wakaf belum mengatur.  Alternatifnya, pemerintah bisa membentuk badan layanan umum (BLU) pengelola wakaf tanpa  mengubah undang-undang. BLU Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) jadi contoh.

Bisa juga para nazhir membentuk korporasi yang bisa menerbitkan sukuk. Hanya saja korporasi  butuh peringkat. "Perusahaan baru peringkatnya bisa rendah, biaya jadi mahal," kata Andin. ed: muhammad iqbal

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement