Senin 30 Nov 2015 13:00 WIB

Mengisi Perut dari Dapur Sendiri

Red:

Setahun pemerintahan Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, pemerintah melalui Kementerian Pertanian (Kementan) terus menggenjot produksi beras. Meskipun demikian, bahan pangan pokok utama itu bukan satu-satunya andalan. Kementan juga terus menegaskan langkah diversifikasi pangan. 

Tujuannya agar masyarakat tidak selalu bergantung pada beras, mengisi perut dari dapur sendiri dan tidak bergantung impor. "Percontohan misalnya kita mengembangkan program Kawasan Rumah Tangga Lestari (KRPL). Itu mengembangkan tanaman yang bisa menghasilkan pangan di pekarangan," kata Kepala Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementan Gardjita Budi.

Selain itu, dilakukan pula pengembangan sumber-sumber karbohidrat di luar beras yang berasal dari pangan lokal. Pengembangan tersebut dalam bentuk makanan olahan atau substitusi bahan baku olahan tertentu. Jenis tanaman yang dimaksud, yakni umbi-umbian, sagu, sukun dan yang lainnya.

Indikator keberhasilan diversifikasi pangan adalah penurunan konsumsi beras di masyarakat. Terutama, di kalangan menengah ke atas. "Beberapa tahun lalu angka konsumsi beras 139 kg per orang per tahun. Tapi, sejak empat tahun yang lalu, angkanya 124 kg per orang per tahun," ujar Gardjita. 

Target pemerintah terus menekan konsumsi hingga 100 kg per tahun.  Diversifikasi konsumsi pangan, lanjut dia, merupakan salah satu cara efektif untuk mengurangi efek kegagalan produksi beras akibat perubahan iklim.  Dari sisi agroekologi, Indonesia memiliki potensi besar dalam pengembangan pangan pokok selain beras. Entah itu dari kelompok padi-padian, umbi-umbian, maupun sagu.

Pengamat pertanian dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas Santosa, melihat agenda diversifikasi pangan masih menjadi wacana. Tidak ada agenda yang jelas dan terarah dalam merealisasikannya. "Bukan hanya di pemerintahan ini, tapi juga di masa-masa sebelumnya. Diversifikasi betah diwacanakan, tapi belum menjadi program unggulan pemerintah," katanya.

Pemerintah saat ini masih fokus pada swasembada padi, jagung, dan kedelai. Padahal, langkah menuju diversifikasi perlu segera dibangun karena Indonesia tidak hanya dapat mengandalkan beras sebagai makanan pokok.  Dwi lantas menguraikan kekhawatirannya terhadap peningkatan konsumsi gandum yang perlahan-lahan tapi masif. Konsumsi gandum saat ini sudah mencapai 20,2 persen dari total konsumsi pangan pokok masyarakat. Angka tersebut menanjak sejak tiga hingga empat dekade ke belakang.

Di sisi lain, Indonesia masih 100 persen mengimpor gandum dengan pertumbuhan 13 persen per tahun. Pada 2015, impor gandum sebanyak 7,3 juta ton. "Pertumbuhannya jauh melebihi pertumbuhan penduduk," ujarnya.  Jika pertumbuhan konsumsi tersebut tidak dicegah atau dikendalikan, agenda kedaulatan pangan akan semakin jauh dari harapan.

Lebih lanjut, Dwi melihat kebijakan pemerintah yang nyata menuju diversifikasi masih nihil. Ini terbukti dari tidak adanya program dan anggaran yang jelas terkait penganekaragaman pangan. Program ini kerap diwacanakan, tapi hanya sebagai alat retorika politik. 

Bahkan, kerap kali langkah pemerintah bertolak belakang dengan agenda diversifikasi. Itu tampak ketika masyarakat tertentu yang pangan pokoknya bukan beras, tapi dikondisikan agar mengonsumsi beras. Menyongsong 2016, Dwi pun meminta agar pemerintah lebih serius. Meskipun begitu, Dwi menyadari pencapaian diversifikasi pangan pada kondisi seperti ini tidak bisa digapai dengan instan. Tapi, setidaknya langkah pertama harus dilakukan. Utamanya, dari sisi edukasi di masyarakat. ed: muhammad iqbal

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement