Senin 30 Nov 2015 13:00 WIB

Catatan Setahun Kabinet Kerja Mengurus Pangan

Red:

Agenda ketahanan dan kedaulatan pangan terus bergulir. Turun-temurun, silih berganti di setiap rezim pemerintahan. Tak terkecuali pada era Kabinet Kerja di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang start pada 20 Oktober 2014. 

Menginjak usia setahun, pemerintah melalui Kementerian Pertanian (Kementan) melaporkan beragam pencapaian. Dengan mengantongi anggaran dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Perubahan 2015 sebesar Rp 32,813 triliun, Kementan melaporkan, telah terealisasi pembangunan rehabilitasi jaringan irigasi tersier seluas 1,56 juta hektare atau 52 persen dari target 3,0 juta hektare. Kementan juga mengklaim telah sukses mendistribusikan bantuan alat mesin pertanian sebanyak 43.290 unit serta optimasi lahan 1,2 juta hektare. 

Dampaknya, terjadi peningkatan tambah tanam padi seluas 494,4 ribu hektare. Telah terbangun pula seribu desa mandiri benih yang lantas akan dilakukan pemantapannya pada 2016. Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman juga kerap berkeliling daerah memantau sentra-sentra produksi pangan. 

"Masalah pangan harus diselesaikan di lapangan, bukan di Ragunan (alamat kantor Kementan)," begitulah kalimat Amran ketika disinggung alasannya yang kerap dinas keluar daerah bersama sejumlah pejabat lainnya. Dari sisi regulasi, Amran menyebut pemerintah telah merevisi peraturan presiden terkait pengadaan barang/jasa dari semula tender menjadi penunjukan langsung dan menggunakan e-katalog. Tujuannya untuk mempercepat transaksi dan penyaluran segala bantuan untuk petani.

Upaya khusus beras

Khusus komoditas beras, Mentan memasukkannya ke dalam program "upaya khusus".  Tujuannya agar produksi terkatrol signifikan. Selang setahun, Amran menyebut terjadi peningkatan produksi padi merujuk Data Angka Ramalan (Aram) II 2015 Badan Pusat Statistik (BPS) sebesar 74,99 juta ton gabah kering giling (GKG).

Jumlah tersebut meningkat dibandingkan Angka Tetap (Atap) BPS pada 2014 sebanyak 70,85 juta ton GKG. Namun, Aram II mengoreksi Aram I yang perkiraan produksinya sedikit lebih tinggi. Pada Aram I, BPS menetapkan capaian perkiraan produksi padi sebanyak 75,5 juta ton GKG.

Menanggapi hal tersebut, Mentan punya jawaban. "Jangan sampai bilang produksi menurun dibandingkan dengan Aram I. Tapi, bandingkan dengan capaian produksi tahun sebelumnya. Bandingkan pula dengan capaian ketika dulu El Nino 1998," ujar Amran.  Apalagi, lanjut Amran, produksi 2015 diwarnai fenomena El Nino, sementara tahun lalu tidak. Penurunan Aram II dibandingkan Aram I disebabkan unsur El Nino yang belum diperhitungkan.

Data Aram II juga seharusnya dibandingkan dengan capaian produksi pada 1998 ketika Indonesia juga mengalami situasi El Nino yang hampir serupa. Pada 1998, intensitas anomali suhu berkisar 1,8-1,9 derajat Celsius. Sementara, saat ini intensitas El Nino berada pada level 2,13 derajat Celsius. 

Meskipun begitu, kata Amran, pada 1998 Indonesia mengimpor beras sebanyak 7,1 juta ton. Amran menerangkan, dengan kekuatan El Nino yang lebih tinggi saat ini, pemerintah sejak September 2014 hingga September 2015 sama sekali tidak melakukan impor beras.  "Pada 1998 penduduk 200 juta, penduduk saat ini 250 juta. Kalau normalnya kita seharusnya impor 8,9 juta ton beras, tapi kita setahun tidak impor," kata dia.

Setahun mengurus pangan, Kementan juga mengumumkan pencapaian selanjutnya berupa penurunan importasi pangan utama jika dibandingkan dengan 2014. "Impor beras pada 2014 mencapai 815.307 ton, tapi hingga September 2015 kita tidak ada impor beras," ujarnya. Demikian pula dengan jagung. Meski sempat menuai protes dari sejumlah pengusaha pakan ternak, Amran menyebut sampai saat ini hanya mengimpor 1,6 juta ton jagung. Jumlah tersebut lebih rendah dari 2014, yang mana pemerintah mengimpor sebanyak 3,3 juta ton jagung.

Impor kedelai tercatat sebanyak 5,8 juta ton pada 2014. Jumlah itu lantas menurun pada tahun ini menjadi sebesar 3,6 juta ton saja. Impor daging sapi pun demikian adanya.  Terjadi impor sapi sebanyak 75.858 ton pada tahun lalu. Angka ini menurun menjadi 24.199 ton pada 2015. 

Impor Beras

Pasokan beras yang dikabarkan berlimpah berdasarkan prediksi BPS tak menjamin Indonesia bebas impor. Sebab, stok beras di gudang-gudang Perum Bulog yang seret serta harga beras di pasar yang mulai melambung membuat pemerintah akhirnya memutuskan mengimpor beras pada Oktober 2015.

Sebanyak 4.800 ton beras impor dari Vietnam pun dikabarkan telah bertandang ke Tanah Air, tepatnya di gudang Perum Bulog Provinsi Sulawesi Utara. Kepala Perum Bulog Divre Sulawesi Utara Sabaruddin Amrulla menyebut, impor dilakukan pemerintah pusat karena ada sebagian daerah yang tidak mengalami surplus beras. Impor juga dimaksudkan mengantisipasi El Nino serta menyetok pangan yang mulai menipis di daerah lain.

Sebelumnya, Perum Bulog selaku pelaksana impor beras merencanakan kedatangan beras impor pada November 2015. Tujuannya agar persediaan beras lebih aman dan pemerintah siap menjaga pasar ketika terjadi gejolak. Direktur Utama Bulog Djarot Kusumayakti menyebut, Vietnam telah berkomitmen menyediakan sejuta ton beras untuk Indonesia dalam perjanjian tertulis.

Permintaan garansi juga tengah dijajaki dengan Myanmar dan Kamboja. Garansi tersebut bukan berarti Bulog akan mengimpor semua beras yang sudah dijanjikan. Tetapi, eksekusi impor menyesuaikan kebutuhan dan dilaksanakan secara bertahap. Intinya negara-negara tersebut sudah siap menyediakan beras jika impor dilaksanakan.

Pelaksanaan impor beras akan dilakukan bertahap menyesuaikan perhitungan kebutuhan.  Djarot juga akan mempertimbangkan kesiapan kapal yang hanya bisa mengangkut 20 ribu ton beras per kapal. "Ketika masuk Indonesia, beras tidak akan langsung dilempar ke pasar. Jadi, petani tak perlu khawatir harga gabah akan jatuh," ujarnya. 

Beras impor akan dilempar ke pasar ketika terjadi gejolak harga. Posisinya sebagai pengendali. Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementan Gardjita Budi menyebut, beras Vietnam yang sudah masuk gudang Bulog hanya berfungsi sebagai cadangan nasional untuk mengantisipasi kemarau akibat gelombang El Nino.

Keterbukaan

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menyayangkan sikap pemerintah yang tidak terbuka soal impor beras. Padahal, praktik impor sama sekali bukan suatu "dosa" ketika volumenya disesuaikan dengan kebutuhan dan pasokan dalam negeri. "Ini karena dipolitisasi," kata dia.

Pemerintah, lanjut dia, seharusnya jujur dan transparan melihat data pangan, termasuk beras. Dengan berpedoman pada data yang betul, impor beras tidak akan mendistorsi harga gabah petani. Ia pun masih menanti keseriusan pemerintah mengupayakan cadangan pangan, terutama beras, agar aman. Bukan dengan menjadikan beras sebagai alat pencitraan, melainkan secara benar melakukan pengamanan stok beras nasional.

Lebih lanjut, Enny mengatakan, masyarakat sama sekali tak terlalu peduli apakah pemerintah mau impor beras atau tidak. Dengan catatan, keterjangkauan akan pangan bisa diperoleh secara mudah dan harganya tidak mahal. "Jangan juga ada atau tidak ada impor membuat harga gabah petani jatuh," katanya.

Oleh karena itu, pemerintah harus sadar betul pentingnya melakukan penghitungan yang benar soal data pangan. Penghitungan meliputi berapa banyak tingkat konsumsi, berapa yang diproduksi, dan berapa yang digunakan untuk pasokan guna mengantisipasi bencana dan hal tak terduga. Enny yakin pemerintah memiliki instrumen lengkap untuk menghitung data pangan secara akurat. 

Beragam teknologi seperti pantauan satelit dan sumber daya manusia yang mumpuni memungkinkan pemerintah memperoleh data pangan yang valid secepatnya. "Kalau data benar, respons kebijakannya pasti tepat," katanya. 

Pengamat politik pangan Andi Sinulingga menyebut, Indonesia tengah mengalami krisis ganda, yakni krisis data pangan dan koordinasi antarlembaga di bidang pangan. Hal tersebut tampak nyata, salah satunya dari kelakuan yang ditunjukkan ketika melakukan impor beras pada 2015. 

Ia mencontohkan soal data luas sawah yang ditanami padi sekitar 7,2 hektare. Jumlah tersebut seharusnya dilengkapi data spesifik di wilayah mana saja, kondisinya seperti apa dari waktu ke waktu, serta jelas siapa yang menggarapnya. Dengan data yang lengkap, pemerintah bisa menginjak tahap pemetaan produksi secara konkret.

Data yang benar juga akan membuat koordinasi antarlembaga menjadi lancar. Tetapi, yang tampak beberapa waktu lalu, terjadi perbedaan pendapat antara Wakil Presiden dan Menteri Pertanian soal produksi beras yang surplus. Krisis koordinasi juga tampak ketika pelaksanaan impor beras dilangsungkan dalam waktu dekat. Pemerintah yang harusnya satu suara malah tampak berbeda pendapat. ed: muhammad iqbal

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement