Senin 05 Oct 2015 13:00 WIB

Dilema Freeport

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID,Dilema Freeport

Indonesia mempunyai hak untuk mengaudit Freeport, termasuk lingkungannya, konten lokalnya, bahkan juga transfer teknologinya

Bicara tentang PT Freeport Indonesia, sebuah perusahaan tambang emas dan tembaga yang telah berpuluh tahun beroperasi di bumi Papua, tak akan cukup satu paragraf. Masyarakat lebih mengenal perusahaan asal Amerika Serikat ini dengan sebutan Freeport, cukup satu kata. Pro dan kontra akan terus bergulir bila pembahasan tentangnya bercampur antara sisi bisnis dan nasionalisme, begitu orang biasa menyebutnya.

Sebagai gambaran, kontrak karya (KK) Freeport dimulai pada 1967 oleh Presiden Indonesia saat itu, Soeharto. Penandatanganan KK pertama bahkan dilakukan dua tahun sebelum Irian Barat resmi diakui dunia bahwasanya telah bergabung dengan Republik Indonesia.

Terlepas dari kondisi politik saat itu, masuknya modal asing yang besar melalui penambangan tembaga oleh Freeport dinilai mampu menyelamatkan Indonesia dari ambruknya kondisi ekonomi saat itu. Betapa tidak, inflasi pada 1966 saja melonjak pada angka 650 persen. Terbukti, setelah kebijakan ekonomi di awal Orde Baru dilakukan, termasuk masuknya penanaman modal asing, inflasi pada 1969 menurun menjadi 10 persen.

Namun, itu dulu. Perlahan, Freeport justru dianggap mengisap sumber daya alam Indonesia secara perlahan. Keuntungan yang didapat negara dinilai minimal. Bahkan, temuan pertama geologis Belanda Jean-Jacquez Dozy di Ertsberg kini telah terketuk habis. Tetangganya, penambangan terbuka Grasberg, juga akan berhenti secara aktif pada 2017 mendatang. Sebagai gantinya, di bawah ceruk raksasa Grasberg digali lagi penambangan bawah tanah. Eksploitasi kekayaan alam Indonesia masih terus berlangsung hingga kini dan entah sampai kapan. 

Freeport sendiri mencatat, sejak 1992 hingga 2013, royalti yang diberikan Freeport ke Pemerintah Indonesia hanya 1,529 miliar dolar AS. Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin melaporkan dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VII DPR pada awal tahun ini bahwa sejak beroperasi pada Orde Baru lalu, royalti yang diberikan Freeport "cuma" sebesar 3 persen untuk tembaga, 1 persen untuk emas, dan 1 persen untuk perak.

Berangkat dari fakta ini, rakyat mulai mendesak ketegasan pemerintah. Akhirnya, melalui kesepakatan amendemen kontrak karya pada Juli 2014 lalu, PT Freeport Indonesia menyepakati pemberian royalti emas dengan nilai lebih besar kepada negara. "Royalti dihitung dari penjualan kotor setelah dikurangi dengan biaya pengolahan (treatment and refinary charges)," ujar Maroef saat itu. 

Dalam amendemen kontrak karya Juli 2014, Freeport sepakat meningkatkan royalti ketiga mineral tambang yang mereka ambil. Di mana royalti tembaga menjadi 4 persen, royalti emas menjadi 3,75 persen, dan royalti perak menjadi 3,5 persen. Setidaknya, ada perbaikan dari sisi pendapatan Pemerintah Indonesia. 

Lebih lanjut Maroef mengakui, ada perbedaan mendasar di sisi iklim politik antara periode akhir 1960-an dan kondisi saat ini. Kondisi saat itu, di awal Orde Baru, memang membuat posisi Indonesia dalam kerja sama pemanfaatan hasil bumi Papua seolah tidak setara dengan Amerika Serikat. Namun, lanjutnya, kondisi saat ini telah berubah dan semua harus berbenah.

Maroef menilai, ada satu pemahaman baru yang harus sama-sama dimengerti, baik oleh pemerintah, perusahaan, maupun rakyat Indonesia.

"Stabilitas ekonomi kita saat tahun '67. Kita pahami pada saat itu negara sedang memerlukan dana. Nah, kenapa kita dalam posisi itu? Kebutuhan politik pada saat itu mendapat back up AS. Dalam klausul kontrak karya banyak hal-hal yang membuat kita agak di bawah. Hal ini yang tidak bisa dibawa ke kondisi saat ini," ujar Maroef di rumah dinasnya di Tembagapura, Papua, Agustus lalu.

Semakin ke sini, Freeport mencoba memosisikan diri sebagai bukti investasi asing yang memberikan dampak sosioekonomi positif di Papua, terlebih untuk Indonesia. Freeport membuktikan dengan serapan tenaga ahli lokal berlipat-lipat banyaknya dibanding periode awal perusahaan ini berdiri. 

Enam poin

Selain itu, dalam upaya renegosiasi kontrak karya yang baru, Freeport menyepakati enam poin bersama pemerintah. Salah satunya, dengan dengan mengubah kontrak karya (KK)  menjadi izin usaha pertambangan khusus. Ide ini untuk mendorong pemerintah segera memberikan kepastian perpanjangan kontrak dalam waktu dekat. 

Lima poin lainnya adalah pembangunan smelter atau pemurnian bijih di dalam negeri, peningkatan penggunaan barang dan jasa dalam negeri atau peningkatan konten lokal, pengurangan luas lahan eksplorasi, menaikkan royalti untuk penerimaan negara, dan divestasi saham.

Namun, dari enam  poin tersebut, tak semuanya mulus. Baik pemerintah maupun Freeport sendiri masih terlihat tarik ulur. Maroef menyebut secara gamblang, ada dua poin yang masih alot hingga saat ini. Perpanjangan kontrak karya dan divestasi. 

Mengenai perpanjangan kontrak karya, Maroef meyakini akan segera muncul titik terang dari pemerintah. Mantan wakil kepala Badan Intelijen Negara (BIN) ini menyatakan, adanya sinyal baik yang diberikan pemerintahan Presiden Joko Widodo melalui Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said. 

Maroef meyakini, pemerintahan saat ini tergolong pro investasi. Terbukti, berbagai perizinan yang dinilai berbelit dipangkas untuk mempermudah investasi. Jangan lupa, Freeport merupakan investor asing terbesar AS di Indonesia. Bukan hal yang aneh bila kemudian Freeport akan terus mendapat dukungan. 

Meski demikian, pemerintah tak begitu saja memberikan sokongan. Sudirman Said beberapa kali menagih Freeport untuk menyelesaikan PR besarnya menyelesaikan pembangunan pabrik pemurnian di Gresik, Jawa Timur. Bahkan, ekspor Freeport sempat terhenti lantaran dianggap tak memenuhi target progres pembangunan smelter. 

"Tentunya pemerintah tidak akan menyia-nyiakan investasi. Dengan banyaknya aset SDM, saya yakin pemerintah punya pertimbangan. Seperti parlemen juga. Saya punya satu keyakinan bahwa saya berpikiran positif," ujar Maroef. 

Poin kedua yang masih alot, lanjut Maroef, adalah penentuan divestasi. Rencananya, divestasi Freeport akan dilakukan dalam dua tahap untuk mencapai nilai divestasi total senilai 30 persen, sesuai dengan ketentuan pada PP No 77 tahun 2014. Sebelumnya, kepemilikan saham Freeport oleh pemerintah hanya 9,3 persen.

Pada tahap pertama, nilai divestasi Freeport sebesar 10,64. Maroef menyatakan bahwa dalam divestasi nantinya akan melibatkan pemerintah dan swasta. "Namun, pemerintah menjadi prioritas tentunya," ujarnya.

Tahap kedua, mulai Oktober nanti Freeport akan melakukan divestasi sebesar 20 persen. Maroef menyebut, divestasi secara bertahap akan dilakukan dengan target nantinya akan menjadi 30 persen pada 2019.

"Itu sudah Oktober nanti. Bertahap mencapai 20 persen dulu, kemudian 2019 baru 30 persen," kata Maroef.

Tak hanya itu, poin lainnya dalam renegosiasi kontrak karya juga terganjal kontra sejumlah pihak. Upaya perubahan kontrak karya menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK), misalnya, dinilai sebagai bentuk lemahnya pemerintah terhadap kekuasaan Freeport. 

Tuntaskan kewajiban

Pengamat pertambangan Simon Sembiring menilai, seharusnya pemerintah menuntaskan kewajiban Freeport untuk melengkapi studi kelayakan.

"Pemerintah lemah. Freeport yang atur pemerintah saat ini. Jangan dibalik dong. Harusnya kan studi kelayakan 2010 selesai. Omongin dulu," ujar Simon.

Simon menilai, lebih baik bentuk kontrak karya dipertahankan hingga KK habis pada 2021. Dua tahun menjelang KK habis, lanjut Simon, barulah tugas pemerintahan Jokowi yang menentukan bentuk kelanjutan KK, sekalipun diganti menjadi IUPK.

Mengenai alasan pemerintah untuk kepastian investasi, Simon mengganggap ini hanyalah akal-akalan pemerintah untuk mendapat pengertian dari masyarakat. Simon tetap mendesak kepada Freeport untuk menepati aturan melengkapi studi kelayakan pembangunan smelter.

"Omong kosong. Janganlah. Kita jangan berbohong. Kenapa sih? Mentang-mentang dibayar Freeport, menjual bangsa. Harusnya studi kelayakan bikin dulu. Ini sepotong kertas kelayakan dan Amdal pun belum ada, kok sudah mengalah," lanjut dia.

Menteri ESDM Sudirman sempat menyatakan akan tetap mengikuti aturan bahwa perpanjangan kontrak karya baru bisa dilakukan dalam dua tahun sebelum masa kontrak berakhir. Pernyataan Sudirman memberikan sinyal bahwa perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia belum bisa dilakukan dalam waktu dekat dengan mengeluarkan IUPK.

Presiden Jokowi juga disebut meminta pemerintah mengikuti aturan yang berlaku, yaitu UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara. Di mana, dalam aturan tersebut, perpanjangan kontrak karya baru bisa dilakukan dalam dua tahun sebelum masa kontrak berakhir.

"Kita akan tetap gunakan itu. Tapi, jangan lupa Freeport masih ada kontrak yang valid sampai 2021. Jadi, tidak ada alasan untuk slow down operasi," kata Sudirman menjelaskan.

Menjaga investasi

Meski seolah akan menunda pengubahan KK menjadi IUPK, Sudirman menegaskan pemerintah tidak akan memutus kontrak Freeport begitu saja. Pasalnya, pemerintah telah berkomitmen untuk menjaga investasi perusahaan asal Amerika tersebut.

"Kita sedang menggenjot investasi. Tidak mungkin membiarkan investasi keluar begitu saja. Yang mesti kita katakan adalah hukumnya belum bisa dilakukan, tapi secara pesan kami ingin jaga kelanjutan investasi," kata dia.

Kelanjutan investasi itulah yang didengungkan oleh pemerintah. Bagaimana tidak, sedikitnya 4 miliar dolar AS telah Freeport keluarkan untuk penambangan bawah tanah dari rencana total 15 miliar dolar AS. Belum lagi, rencana pembangunan pemurnian konsentrat tembaga di Gresik yang membutuhkan 2,3 miliar dolar AS.

Dari sisi bisnis, ketidakpastian perpanjangan kontrak dinilai akan berdampak pada sumber pendanaan yang ada. Bahkan, Maroef selaku pimpinan Freeport mengaku harus meyakinkan pemilik saham bahwa keberlangsungan operasi Freeport akan berjalan baik.

Alasannya, pada September ini Freeport memulai penambangan bawah tanahnya di Deep Mile Level Zone (DMLZ). Artinya, Freeport semakin kencang melakukan produksi dengan target perdana sebesar 10 ribu ton per hari. Targetnya, pada 2021 produksi bisa mencapai 80 ribu ton per hari.

Penambangan bawah tanah Freeport dilakukan untuk menjaga kapasitas produksi akibat berhentinya penambangan terbuka Grasberg pada 2017.

Alasan kepastian investasi ini juga diamini oleh Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bambang Gatot. Ide barunya, perpanjangan kontrak akan berdasarkan pada UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Hal ini karena selama ini UU Nomor 4 Tahun 2009 dan PP Nomor 1 Tahun 2014 mengganjal perpanjangan kontrak karya karena hanya bisa dilakukan dua tahun sebelum kontrak karya habis. 

"Nanti, dipertimbangkan lebih dari dua tahun. Kontrak mereka setiap saat. Kebetulan, PP itu dua  tahun. Oleh karena itu, kita lihat UU. Bisa jadi, dikategorikan berdasarkan investasi," ujarnya. 

Ternyata sinyal positif pemerintah tidak tunggal. Senada dengan pemerintah, pengamat manajemen dan ekonomi Rhenald Kasali menilai pemerintah memang harus segera memberi kepastian. Dia menilai, selain sisi bisnis ada akibat sosial yang terjadi bila perpanjangan kontrak karya urung dilakukan.

"Jadi, kalau pemerintah selama ini ramai menarik investor untuk menanamkan modal di Indonesia, harusnya investor yang sudah ada, ya dijaga. Ini Freeport sudah ada. Harusnya, dijaga keberlangsungannya," kata Rhenald. 

Wakil pemerintah

Pengamat Ekonomi UGM Mudrajad  Kuncoro pernah mengatakan, pemerintah harus memiliki wakil di perusahaan induk Freeport di AS. Ini diperlukan untuk memastikan divestasi yang dilakukan Freeport harus sesuai dengan peraturan.

"Jangan sampai emas dikeruk dari Papua. Lalu, kita hanya mendapat getahnya dengan ada lubang menganga karena tambang Freeport," kata Kuncoro.

Indonesia mempunyai hak untuk mengaudit Freeport, termasuk lingkungannya, konten lokalnya, bahkan juga transfer teknologinya. "Kita punya hak ikut memiliki, jangan-jangan yang diterima dari Freeport selama ini lebih kecil karena selama ini tidak diaudit," ujarnya. N ed: irwan kelana

***

Bisnis Harus Berjalan Adil

Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddi meyakini, tahun ini akan menjadi tahun yang baik bagi Freeport. Dia optimistis modal besar yang sudah ditanamkan selama berpuluh-puluh tahun akan terus berlanjut. Salah satu bentuk optimisme ini, lanjut Maroef, dilakukan dengan menaati salah satu klausul renegosiasi kontrak karya dengan melepas sejumlah besar wilayah eksplorasinya.

Jadilah Blok Wabu dilepas dari wilayah penambangan Freeport. Wilayah seluas 10 ribu meter persegi yang masih masuk Kabupaten Mimika ini sudah cukup matang dari sisi eksplorasi. Data-data geologi dan geofisika lengkap di tangan Freeport. Cadangannya, tak tanggung-tanggung 4,5 juta ton bijih tembaga ada di sana. Namun, semua itu dilepas kepada pemerintah. 

"Yang ingin masuk situ adalah pemda. Bagi kami, kami ingin mematuhi. Kalau pemerintah ingin itu dikelola Freeport, ya itu pertimbangan lebih lanjut. Success ratio di tambang itu tak lebih dari lima  persen. Sehingga, investasinya luar biasa," ujar Maroef. 

Bola panas tentang perpanjangan kontrak karya Freeport masih terus bergulir. Tak heran, butiran bijih tembaga dan sejumput konsentrat di sana telanjur jadi tumpuan ratusan ribu orang untuk bertahan hidup. Tak hanya itu, uang miliaran dolar AS menjadi taruhannya. Bicara tentang Freeport tak cukup kalau hanya bermodalkan nasionalisme. Takutnya, kebanggaan itu akan menjadi sempit. Bisnis bukanlah hal yang haram bila semuanya berjalan adil bagi kedua pihak. Dalam hal ini, bagi Freeport dan bangsa Indonesia. N ed: irwan kelana

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement