Senin 28 Sep 2015 13:00 WIB

Listrik dan Potensi Wisata Bawean

Red:

Luas Pulau Bawean adalah 194 kilometer persegi (km2). Jika diperbandingkan, luas pulau itu lebih dari setengah luas Kota Surabaya (374 km2) dan lebih luas dari Kota Bandung (167 km2).

Selain perikanan dan pertanian, potensi ekonomi Bawean adalah sektor pariwisata. Bawean memiliki banyak titik wisata bahari yang menarik, mulai dari pantai hingga lokasi snorkeling dan penyelaman. Selain itu, ada juga Danau Kastoba, Air Terjun Laccar, serta penangkaran rusa Bawean.

Dari sisi sosial-budaya, masyarakat Bawean punya sejarah yang unik. Salah satunya adalah fakta bahwa masyarakat Bawean merupakan percampuran berbagai suku dari Pulau Madura, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Sumatra. Sejak Indonesia masih berupa gugusan kepulauan nusantara, orang Bawean sudah aktif merantau ke negeri-negeri seberang, terutama Malaysia dan Singapura.

Dengan keunikan budaya masyarakatnya, keindahan alam, serta kesiapan infrastruktur, Bawean jelas sangat layak dijual sebagai destinasi wisata. Hanya, faktor listrik rupanya masih dianggap kurang mendukung oleh warga.

Sekarang saja, banyak permohonan penambahan daya listrik warga belum dikabulkan pihak PLN karena masih terbatasnya sumber energi. Di antara warga yang berharap penambahan daya listrik adalah Haji Abdul Kholik. Haji Abdul merupakan pengusaha penginapan yang boleh dibilang paling sukses di Pulau Bawean.

Penginapan Haji Abdul dinamai Hotel Barokah. Meski namanya hotel, hunian wisata itu sebenarnya lebih cocok disebut penginapan.

Haji Abdul bercerita, ia membangun usahanya pada 2006. Bermula dari kamar-kamar biasa di lantai dua rumahnya, hotel sederhana itu kini menjadi yang paling sibuk di Pulau Bawean. Seiring dengan membaiknya pasokan listrik, Haji Abdul pun memasang pendingin ruangan untuk sebagian kamarnya. 

Hotel Barokah milik Haji Abdul yang berada persis di depan Dermaga Sangkapura memiliki 11 kamar. Delapan di antaranya kini sudah menggunakan AC. Untuk kamar ber-AC dikenakan tarif Rp 150 ribu per hari. Sementara, yang tidak ber-AC, cukup Rp 70 ribu per hari.

Dulu, ketika pasokan listrik masih susah, menurut Haji Abdul, pemadaman listrik bisa berlangsung dua hingga tiga hari. "Padahal, sedang ada tamu yang menginap," ujarnya.

Sejalan dengan semakin dikenalnya Bawean sebagai tujuan wisata, kata Haji Abdul, bisnisnya semakin berkembang. Kini, ia bercerita, dalam sebulan, hotelnya kedatangan tamu 50 sampai 60 pengunjung.

Melihat prospek bisnis hunian wisata di Bawean, ia kini tengah membangun lagi penginapan lain, tak jauh dari penginapan lamanya. Jika selesai, menurutnya, hotel miliknya akan memiliki 20 tambahan kamar yang lebih bagus dan luas.

Untuk itulah, ia berharap penambahan daya listrik dalam waktu dekat. "Sekarang saya pasang 3.500 va. Saya butuh sampai 10 ribu va. Saya berharap permohonan saya  dipenuhi sama PLN," ujar pria berusia 61 tahun itu.

Di Bawean, salah satu titik wisata bahari yang terkenal adalah Pulau Gili Noko. Gili Noko merupakan dua anak Pulau Bawean. Pulau Gili merupakan pulau kecil yang dihuni sekitar 300 keluarga. Sedangkan, Pulau Noko hanya sebentuk gugusan pasir putih tak berpenghuni yang berada di samping Pulau Gili. 

Kehidupan di Pulau Gili tampak lebih sederhana. Para pria di Pulau Gili sebagian besar adalah nelayan. Sebagian sisanya memilih untuk merantau ke Malaysia, entah menjadi buruh pabrik atau buruh perkebunan kepala sawit.

Tak seberuntung saudara-saudara mereka di Pulau Bawean, di Pulau Gili, listrik masih menjadi hambatan yang serius. Mereka hanya bisa menikmati pasokan listrik dari pukul 18.00 hingga pukul 22.00. Listrik itu berasal dari dua generator diesel sumbangan pemerintah.

Meski generator itu disumbang pemerintah, warga tetap harus membayar iuran swadya untuk membiayai operasi mesin tersebut. Soal iuran itu, agaknya menjadi beban yang cukup berat bagi warga yang rata-rata bekerja sebagai nelayan dengan penghasilan tak menentu.

Beruntung, ada seorang warga yang berbaik hati mengelola mesin tersebut bernama Bakir. Bakir merupakan pengusaha sukses di Pulau Gili. Sumber penghasilannya banyak, mulai dari warung, toko bangunan, hingga jual beli ikan.

Meskipun Bakir memiliki jiwa pebisnis, untuk urusan listrik, ia terus meneguhkan niatnya bahwa itu adalah ibadah. Dari sekitar 100 rumah yang mendapatkan aliran listrik dari dia, hanya dua-tiga orang yang membayar dalam satu bulan. Alhasil, berdasarkan catatannya, seluruh tunggakan iuran listrik warga mencapai Rp 500 juta.

"Ya, mereka kan nelayan, penghasilannya kadang ada, kadang nggak. Mereka sebenarnya mau bayar, tapi nggak punya uang, ya sudah," ujar Bakir sambil tertawa.

Untuk memenuhi kebutuhan solar yang mencapai 50 drum per bulan, Bakir harus merogoh dari saku usahanya yang lain. Meski begitu, ia mengaku terkadang frustrasi dengan kondisi tersebut. Dia merasa dalam keadaan yang dilematis.

Tapi, Bakir bertekad, listrik di Pulau Gili harus tetap menyala meskipun dalam jangka waktu yang terbatas. Ia hanya berharap, PLN bisa hadir di Pulau Gili untuk memberikan listrik murah. Oleh Andi Nurroni ed: Nidia Zuraya

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement