Senin 03 Aug 2015 14:00 WIB

Menyudahi Indonesia ‘Putus-Putus’

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID,Menyudahi Indonesia ‘Putus-Putus’

Konektivitas jalan menjadi prioritas utama pemerintah di Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015. 

Indonesia bersorak. Tol terpanjang senusantara, yakni Cikopo-Palimanan (Cipali) resmi dioperasikan di momen mudik Lebaran 2015. Selain akan mempersingkat waktu perjalanan menuju Jawa Timur, tol yang terbentang sepanjang 116,75 kilometer (km) tersebut juga berfungsi mengurai kepadatan di jalan pantai utara (pantura) Jawa sekaligus mencicil proyek besar Trans Jawa. 

Pascarampung, pemerintah memang tak berhenti di proyek Cipali. Sejumlah proyek pembangunan dan infrastruktur berorientasi darat dalam lingkup besar dan jangka panjang tengah dirintis. Selain Trans Jawa, ada pula agenda Trans Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan Papua. 

"Konektivitas jalan jadi yang paling prioritas kita di Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015," kata Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PU-Pera) Basuki Hadimuljono beberapa waktu lalu. Sebab, pada kenyataannya negara Indonesia yang notabene kepulauan belum tersambung sempurna. Sehingga, agenda pembangunan ekonomi kerap terkendala akses jalan. 

Adapun empat program lainnya yakni memperkuat ketahanan air nasional, meningkatkan kualitas infrastruktur jalan, meningkatkan kualitas infrastruktur permukiman serta penyelenggaraan pembangunan infrastruktur yang efektif dan efisien.

Khusus untuk pembangunan jalan dalam rangka penguatan konektivitas nasional, Menteri Basuki menetapkan target sepanjang 2015-2019. Beberapa di antara target tersebut yaitu pembangunan jalan sepanjang seribu kilometer meliputi tol Trans Jawa dan DKI Jakarta, 2.700 kilometer jalan arteri, 2.350 kilometer jalan nasional, pembangunan dan rehabilitasi 30,4 kilometer jembatan. Selain itu, terdapat pula rencana untuk membangun 26 kilometer jalan layang, underpass, serta perlintasan kereta api.

Pemerintah sudah sejak lama dan berulang kali menegaskan komitmennya menyudahi Indonesia yang konektivitasnya masih terputus-putus. Karena itu, untuk jalan darat pada 2015, alokasi APBN untuk infrastruktur jalan darat dianggarkan sebesar Rp 56,97 triliun dari total pagu sebesar Rp 77,4 triliun.

Anggaran tersebut digunakan untuk pembangunan 40 kilometer jalan tol, pembangunan 497 kilometer jalan baru, pelebaran 2.000 kilometer jembatan baru, penggantian 6.616 meter jembatan, preservasi 340.816 meter jembatan, pembangunan 2.544 meter jalan layang, termasuk pembangunan 705 kilometer jalan baru dan 1.239 meter jembatan di wilayah perbatasan. 

Sementara, untuk usulan anggaran 2016, Kementerian PU-Pera menyodorkan tiga usulan skenario anggaran, yakni skenario ideal dengan usulan dana Rp 178,22 triliun. Dua skenario lainnya yakni skenario moderat dengan usulan dana sebesar Rp 126 triliun dan skenario realistis dengan usulan dana sebesar Rp 102,5 triliun. Skenario yang terakhir disebut ini merupakan pagu indikatif yang diberikan oleh Kementerian Keuangan dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). 

Mengeksekusi program tersebut, PU-Pera bekerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Sejumlah batasan dan ketentuan pun ditetapkan agar pembangunan tak lantas merugikan hutan alam dan ekologi. 

"Kita sudah bersepakat dengan Menteri PU, kalau ada kelihatan hutan lebat dan bakal merusak, bangun jalannya tidak di tanah, tapi harus bikin flyover," kata Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar.

Begitu pun ketika area hutan yang akan dibangun untuk jalan telah menjadi tempat perlintasan satwa, disepakati agar dibangun underpass. Untuk selanjutnya, kedua kementerian tersebut tengah membuat pemetaan secara spesifik soal rancangan jalan Trans Sumatra mengacu pada kondisi lingkungan hidup. Tengah dibentuk pula tim independen untuk mengevaluasi pelepasan kawasan hutan.

Menyoal pelepasan kawasan hutan untuk infrastruktur, Direktur Jenderal Planologi KLHK San Afri Awang menjelaskan lebih lanjut. "Yang terpenting yakni kementerian bersangkutan menjelaskan detail soal lahan yang ingin dibebaskan," tuturnya. Jangan sampai ketika hutan telah dilepas, lahannya menjadi terbengkalai di masa depan. 

Diakuinya, pembangunan infrastruktur memang akan mengurangi luas kawasan hutan Indonesia. Namun, hal tersebut tetap penting untuk pembangunan negara. Ia pun menekankan, KLHK tidak akan menghambat pembangunan jika proses legal hukumnya jelas. 

"Daerah yang luas hutannya kurang dari 30 persen dari luas keseluruhan wilayah, itu kita sangat hati-hati," kata Direktur Jenderal Planologi KLHK San Afri Awang. Adapun daerah Indonesia yang kawasan hutannya sudah kurang dari 30 persen, yakni Jawa, Bali dan Lampung. Di luar itu, kawasan Indonesia lainnya masih memiliki hutan masing-masing lebih dari 30 persen.

Kementerian juga melakukan batasan pelepasan kawasan hutan agar tak mengganggu lingkungan hidup. Kesemuanya telah dijelaskan dalam tata aturan dan hukum dalam prosedur perizinan pelepasan hutan. "Salah satunya kalau misalnya mau bangun jalan dekat sungai, jaraknya harus aman hingga 500 meter," tuturnya. 

Butuh revisi

Menyikapi rancangan pemerintah dalam membangun konektivitas nusantara, pengamat tata kota dari Universitas Trisakti Nirwono Joga meminta agar rencana besar yang makan biaya raksasa itu direvisi. Sebab, pembangunan konektivitas untuk Indonesia yang topografinya beragam tak bisa hanya mengandalkan pembangunan berorientasi darat.

"Tidak bisa semua diperlakukan seperti Jawa semuanya karena akan banyak makan dana dan malah merusak ekologi," tutur dia kepada Republika. Idealnya, lanjut dia, pengembangan infrastruktur nasional dibagi menjadi tiga bagian, yakni konektivitas darat, laut, dan udara. Untuk darat pun tidak melulu dengan jalan tol. Hal tersebut membuat kerja pemerintah jauh lebih efisien di antaranya dalam urusan pembebasan lahan dan bangunannya. 

Bicara konteks Kalimantan, Sumatra, dan Jawa, infrastruktur darat akan lebih baik jika diarahkan pada pelayanan transportasi massal, yakni kereta api. Jalur kereta api akan membuat masyarakat semakin mudah, murah dan cepat dalam menjangkau kawasan satu dengan yang lainnya. 

Karena itu, pemerintah jangan luput juga mengembangkan basis antarkota dengan sistem online. Di mana ketika orang ingin pergi ke suatu tempat dengan transportasi mahal, ia tak mesti datang ke terminal lalu direcoki calo. "Penyediaan layanan transportasi yang mudah dan murah akan mengurangi penggunaan kendaraan pribadi, sekaligus mengurangi polusi di kota," ujarnya.

Lagi pula, jika melulu mengandalkan membangun tol dan jalan, hanya akan memanjakan kendaraan pribadi. Jika pun dibangun tol, berkaca dari negara-negara Eropa, ia berfungsi sebagai prasarana angkutan ekonomi di mana pergerakan barang dari sentra produksi ke pasar menjadi lancar.

Ditegaskannya, membangun konektivitas jangan melulu berorientasi darat, sebab di kawasan luar Jawa justru lebih efektif jika pemerintah merevitalisasi dan mengembangkan jalur laut dan udara. Contoh paling ekstrem, lanjut dia, yakni di Papua. Di sana kondisi alamnya berbukit-bukit dan akan sulit jika mengandalkan konektivitas jalur darat. "Tidak realistis kalau merancang konektivitas Papua berorientasi darat, akan mahal dan merusak alam," tegasnya. 

Begitu pun untuk Kepulauan Maluku dan Nusa tenggara. Alih-alih membangun jalan dengan membelah hutan, akan jauh lebih baik jika pemerintah dari sekarang melakukan pendekatan pembangunan jalan dengan pendekatan infrastruktur laut. Caranya dengan memperbaiki serta memperbanyak pelabuhan dan industri perkapalan. "Kalau tetap dipaksakan pakai jalur darat, tujuan utama infrastruktur untuk membangun ekonomi justru malah membunuh ekologi," ujarnya.

Dijelaskannya, ketika jalan membelah kawasan hutan, lambat laun keberadaan hutan di kiri kanan jalan akan hilang dan mati disebabkan okupasi hingga peralihan lahan. Ini disebabkan investor yang melihat peluang bisnis dari keramaian jalan. Padahal hutan beserta kebudayaan masyarakat adat setempat mesti dijaga sebagai pusaka. Contoh terdekat, lanjut dia, yakni Tol Cipali. Ia memprediksi, tidak sampai lima tahun kondisi sawah dan hutan di kiri kanan tol akan dirambah oleh sentra bisnis. 

Yang lebih mengkhawatirkan ialah kota-kota yang tidak lagi terlewati pengguna jalan, atau hanya selintas dilewati, akan mati perekonomiannya. "Yang paling kena dampak itu Kabupaten Indramayu dan Cirebon," kata Joga. Keberadaan Cipali akan membuat batik dan ragam kuliner di sana menjadi sepi karena orang-orang tak lagi ramai melintas ke kawasan tersebut melalui Pantura.  

Inilah yang, menurut dia, menjadi bukti belum terbangunnya sinergi antarperangkat pemerintah dalam menyusun agenda pembangunan konektivitas nusantara. Pekerjaan konektivitas masih dibarengi perilaku ego sektoral sehingga beban pelaksanaan program seolah hanya menjadi kewenangan satu kementerian saja. "Seolah urusan konektivitas hanya tanggung jawab itu urusan Kementerian PU-Pera saja, padahal harusnya dibangun sinergi dengan kementerian lain," tuturnya 

Karena dia, desain pembangunan konektivitas Indonesia lewat jalur darat mesti direvisi. Kementerian PU-Pera, kata dia, harus membangun kerja sama dengan Kementerian Perhubungan untuk merevitalisasi dan membangun rel kereta api, pelabuhan serta bandara.  

Perlu juga dibangun kerja sama dengan pemerintah daerah agar jelas tata ekonomi masyarakatnya. "Konektivitas Indonesia harus dimulai dari gotong royong semua perangkat negara," ujarnya. Jika hanya satu kementerian saja yang terjadi, lanjut dia, maka hanya jalan darat saja yang akan dibangun. ed: irwan kelana 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement