Jumat 05 Jun 2015 15:00 WIB

Mencari Format Pariwisata Syariah

Red:

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

''Agen perjalanan tidak akan menjual produk yang belum siap,'' ungkap Ketua Umum Asosiasi Biro Perjalanan Indonesia (ASITA) Asnawi Bahar. Asnawi menanggapi kesiapan pariwisata syariah, terutama infrastruktur, yang sudah mulai  digencarkan. Terlebih, sektor pariwisata sudah dipasangi target 3 juta wisatawan Muslim pada 2020  mendatang.

Dalam diskusi mengenai pariwisata syariah dan gaya hidup halal yang digelar Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) pertengahan Mei lalu, Asnawi melihat salah satu sebab kekurangsiapan, baik untuk pariwisata syariah maupun reguler, adalah belum dijadikannya pariwisata sebagai sumber pendapatan.

Dengan demikian, tidak mengherankan jika bandara-bandara di daerah masih terbatas fasilitasnya. Pun atraksi bermuatan lokal, sumber daya manusia (SDM), dan promosi.

Infrastruktur nonfisik berupa Undang-Undang Nomor 33/2014 tentang jaminan produk halal (UU JPH), menurut Ketua Umum Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi Sukamdani, merupakan  pendorong pariwisata syariah. ''Meski awalnya ditolak, tapi hikmahnya ini jadi  modal besar,'' kata Hariyadi.

Begitu pula tentang kelonggaran visa bagi negara-negara Islam atau mayoritas Muslim yang akan digaet. Ketua Asosiasi Hotel dan Restoran Syariah Indonesia (Ahsin) Riyanto Sofyan meminta Indonesia tidak kalah dengan Jepang dan Korea Selatan yang memberi aneka kemudahan bagi wisatawan Muslim yang melancong ke sana.

Asnawi, Hariyadi, dan Riyanto sepakat pariwisata syariah tidak melulu soal ziarah kubur. Ini adalah wisata biasa. Hanya saja, model wisata ini tentu memberi  kemudahan wisatawan Muslim untuk menjalankan  kebutuhannya sebagai Muslim, terutama tempat shalat dan makanan halal.

Fasilitas dan infrastruktur yang disediakan untuk sektor pariwisata ini juga agaknya perlu  menyesuaikan tipe wisatawan yang ditargetkan untuk datang. Riyanto mengatakan, wisatawan  Muslim asal Timur Tengah menyenangi wisata alam dan spa. Kecenderungan yang juga mirip dengan wisatawan Muslim asal Eropa.

Sementara, turis Muslim asal ASEAN senang wisata yang berkaitan dengan agama misalnya kurban dan ziarah. Karena semua wisatawan senang berbelanja, bagian ini juga laik diperhatikan.

Apalagi, kata Direktur Jenderal Pemasaran Pariwisata Kementerian Pariwisata dan Ekonomi  Kreatif Esthy Reko Astuti, pariwisata syariah atau pariwisata halal sesuai etika wisata. ''Tren wisata halal sejalan dengan tren wisata sehat, wisata seimbang, dan wisata keluarga. Mereka  punya kesamaan,'' ungkap Esthy.

Diakuinya, selain sisi religi dan fasilitas, salah satu unsur promosi yang dipertimbangkan dari sembilan destinasi pariwisata syariah adalah adanya atraksi khas lokal yang tetap sesuai syariat. ''Dari yang sudah ada, pemerintah bisa promosi ke negara-negara potensial,'' kata dia.

Label dan pencitraan

Menurut CEO Markplus Inc Hermawan Kartajaya dan Managing Director Edelman Indonesia Aries Nugroho, wisata syariah butuh label atau logo agar mudah dikenali. Ini bisa dibuat universal di bawah jargon dan promosi pariwisata nasional Wonderful Indonesia.

Sementara nilai-nilai Islam yang diwujudkan dalam layanan akan menguatkan promosi pariwisata syariah. Ini juga akan menambah keunikan Indonesia sehingga akan berbeda dengan kompetitor yang memiliki produk serupa. ''Diferensiasi wisata syariah Indonesia, jelas.  Indonesia perlu lebih berani mencitrakan,'' kata Hermawan.

Menurut Aries, jika ingin sejalan dengan industri  syariah yang menjadi cikal bakal, yakni perbankan syariah atau Islamic banking (iB), istilah  Islamic tourism (iT) cukup kuat. ''Kenapa tidak? Ini cukup bisa dipertimbangkan,''  kata dia. Yang terpenting, penggunaan label harus  konsisten.

Soal pencitraan dan promosi produk halal serta produk yang sesuai syariat, Direktur Fastcomm Irfan Wahid melihat bahwa masyarakat Indonesia masih beranggapan produk di negara mayoritas Muslim ini sudah barang tentu halal meski tanpa label dari Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Bagi Ipang, pemasaran produk syariah kurang membujuk, kurang merayu. Masyarakat keburu disodori yang berat soal syariat sehingga produk yang berbau syariah dinilai kurang keren. ''Tergantung siapa yang dituju. Perlu ada penjelasan syar'i, rasional, dan emosional sesuai segmennya,'' kata Ipang.

Argumen dan alasan yang menyentuh emosi perlu juga disiapkan untuk menaikkan citra produk pariwisata syariah dan yang berkaitan dengannya.

Berdasarkan laporan Thomson Reuters berjudul "State of the Global Islamic Economy" pada 2012, pengeluaran 1,6 miliar Muslim global untuk makanan dan gaya hidup diprediksi mencapai 2,5 triliun dolar AS pada 2018 dari 1,7 triliun dolar AS di 2012.

Di luar haji dan umrah, pengeluaran populasi Muslim untuk pariwisata saja mencapai 140 miliar pada 2013 atau 12 persen dari pangsa pasar pariwisata global. Jika digabung dengan haji dan umrah, nilainya diprediksi fantastis, mengingat ada lebih dari 1 juta orang berhaji setiap tahun ke Makkah.

Adanya anjuran bersilaturahim dan belajar dari alam membuat komunitas Muslim kini tidak hanya bepergian karena alasan menjalankan kewajiban agama, tetapi juga bertemu sanak keluarga atau sekadar berekreasi. Tak mengherankan bila wisatawan Muslim menjadi rebutan. Oleh Fuji Pratiwi ed: Irwan Kelana

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement