Jumat 22 May 2015 13:00 WIB

Indonesia tak Perlu Impor Beras

Red:

"Soal pangan adalah soal hidup matinya bangsa!" Demikian intisari pidato presiden RI pertama Ir Sukarno ketika pembangunan Fakultas Pertanian Universitas Indonesia (sekarang IPB), 27 April 1952. Begitu membuka pidatonya, Bung Karno langsung bicara statistik pangan. Pada 1952, dengan jumlah penduduk 75 juta orang, Indonesia butuh produksi beras sebesar 6,5 juta ton. Namun, pada saat itu, produksi beras Indonesia baru 5,5 juta ton sehingga Indonesia dinyatakan harus mengimpor dari Siam (Thailand), Saigon (Vietnam), dan Burma.

Akan tetapi, Bung Karno tidak mau menggantungkan perut rakyat Indonesia pada beras impor. Ia sadar, kebijakan impor tersebut membuat devisa negara tergerus. "Mengapa kita harus membuang devisa 120 juta-150 juta dolar tiap tahun untuk membeli beras dari luar negeri? Kalau 150 juta dolar kita pergunakan untuk pembangunan, alangkah baiknya hal itu," ujar Bung Karno. Selain itu, kebijakan impor tidak sesuai dengan semangat membangun ekonomi berdikari. Kala itu, Indonesia baru saja tiga tahun mendapatkan kedaulatannya dari Belanda.

Sejak Februari-Maret lalu, bahkan hingga saat ini, Indonesia masih saja melaksanakan panen raya di seluruh wilayah Tanah Air. Panen raya kali ini merupakan hasil dari musim tanam yang dimulai pada Oktober 2014, yaitu musim tanam (MT) pada musim hujan (MH) Oktober 2014-Maret 2015 (Okt-Mar).

Pada akhir Maret lalu, Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman telah mengatakan jika Indonesia mengimpor 1,5 juta ton beras saja dari Thailand, kerugian negara sudah mencapai Rp 6 triliun.

Mentan mengakui berulang kali ditawari impor beras dari Thailand sebanyak 1,5 juta ton dengan harga Rp 4.000 per kilogram sedangkan harga beras di dalam negeri mencapai Rp 8.000-Rp 12.000/kg. Mentan juga berulang kali menegaskan bahwa Pemerintah Republik Indonesia tidak akan melakukan impor beras pada 2015 ini sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan para petani.

Mentan menambahkan, lebih baik keuntungan yang bisa diambil pemerintah dari impor beras Thailand itu dinikmati oleh para petani, khususnya di Provinsi Jawa Tengah.

Produksi hingga Juni surplus

Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian (Kementan) menegaskan impor beras tidak diperlukan. Dirjen Tanaman Pangan Kementan Hasil Sembiring memastikan, produksi beras dari Januari hingga Juni surplus 8,655 juta ton beras.

Sementara, luas tanam padi musim tanam 2014/2015 secara nasional mencapai 8,896 juta hektare (ha), lebih tinggi 745 ribu ha dibandingkan musim tanam 2013/2014, yaitu 8,151 juta ha.

Untuk itu, menurut Hasil, Kementan tidak menginginkan impor beras dilakukan. "Soal impor, ini bukan kewenangan saya karena harus melalui pembicaraan di Menko Perekonomian. Namun, kami tidak ingin ada impor beras karena produksi juga masih cukup," kata Hasil, Selasa (12/5).

Ia memaparkan, luas panen pada Januari 2015 seluas 620.719 ha, Februari 1,3 juta ha, Maret 2,38 juta ha, dan April 1,8 juta ha. Pada Mei diperkirakan seluas 1,2 juta ha dan Juni diperkirakan sekitar 1,16 ha.

Lalu, produksi gabah kering giling (GKG) pada Januari 2015 sebanyak 3,19 juta ton, Februari 6,70 juta ton, Maret 12,2 juta ton, dan April 9,3 juta ton. Produksi pada Mei diperkirakan 6,4 juta ton dan Juni diperkirakan mencapai 5,9 juta ton.

Jika dikonversi dari GKG menjadi beras, beras tersedia pada Januari 2015 mencapai 1,7 juta ton, Februari 3,76 juta ton, Maret 6,87 juta ton, dan April 5,7 juta ton. Untuk Mei diperkirakan mencapai 3,6 juta ton dan Juni diperkirakan mencapai 3,36 juta ton.

Dengan kebutuhan beras dari Januari-Juni sebanyak 2,6 juta ton dan jumlah penduduk 256,6 juta, serta konsumsi per kapita 124 kg per orang per tahun. Bila dihitung neraca produksi dan kebutuhan bulanan, pada Januari terjadi defisit 877,087 ton, sementara Februari hingga Juni mengalami surplus, necara produksi dan kebutuhan pada Januari-Juni 2015 surplus 8,655 juta ton beras.

Penimbunan gabah

Terkait berbagai pihak yang mempertanyakan data hasil produksi Kementan, di mana produksi padi besar, namun di pasar tidak banyak dan harga masih mahal, Hasil Sembiring menduga hal itu terjadi karena pedagang besar menyimpan gabah dan beras tersebut di gudang dalam jumlah yang besar.

"Produksi ini ada, tetapi barang ini di mana, mungkin disimpan pedagang. Karena disimpan, tidak masuk ke pasar," ujar Hasil.

Ia mengungkapkan, jika pedagang menyimpan beras hingga dua bulan lamanya dapat mengakibatkan serapan Bulog minim karena sudah disimpan pedagang terlebih dahulu. Meskipun demikian, Hasil meyakinkan produksi beras cukup untuk memenuhi kebutuhan bulan puasa dan Lebaran karena produksi pada April dan Mei cukup besar.

"Jika pedagang menyimpan selama dua bulan, artinya saat puasa dan Lebaran, produksi beras yang keluar dari pedagang adalah hasil produksi pada April dan Mei," tuturnya.

Daerah penyangga surplus

Sejumlah daerah penyangga ketahanan pangan di Indonesia menunjukkan hasil panen yang lebih bagus daripada hasil panen musim sebelumnya. Salah satunya adalah Nganjuk, daerah sentra produksi padi di Jawa Timur. Dinas Pertanian Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur, memprediksi total produksi padi hasil panen pada musim panen 2015 lebih tinggi dibandingkan panen sebelumnya apabila dilihat dari rata-rata panen. Sebelumnya, rata-rata produksi hanya 6,7 ton per hektare. Kini, menjadi rata-rata tujuh ton/ha.

"Cuaca saat musim ini lebih bagus, terjadi banjir pun tidak sampai lama dan air cepat surut sehingga kami prediksi hasil panen lebih bagus daripada panen sebelumnya," kata Kepala Seksi Produksi Dinas Pertanian Kabupaten Nganjuk Agus Yuni di Nganjuk, Selasa (12/5).

Ia mengatakan, hasil panen pada 2014 mencapai 5,82 juta kuintal dari 25 kecamatan yang ada di Kabupaten Nganjuk. Luas panen itu dari 86 ha lahan pertanian di kabupaten ini dengan rata-rata produksi padi 6,7 ton/ha.

Dinas Pertanian Nganjuk memperkirakan, dengan rata-rata panen yang ternyata meningkat, yaitu tujuh ton/ha, hasil panen pada musim hujan pertama tahun ini lebih bagus. Menurut Agus, sejumlah daerah yang menghasilkan padi dengan jumlah besar, di antaranya, Kecamatan Prambon, Tanjunganom, Baron, Sukomoro, serta beberapa kecamatan lainnya.

Sementara, Dinas Pertanian Kabupaten Banyuwangi mencatat luas tanam padi di daerah itu pada masa tanam Oktober 2014 hingga Maret 2015 terealisasi 69.850 ha atau melebihi target yang ditetapkan 62.441 ha.

"Luas tanam naik karena tanah yang tadinya kering ternyata dengan tersedianya air jadi bisa ditanami. Salah satunya karena upaya konservasi sumber daya air," kata Kepala Dinas Pertanian Banyuwangi Ikrori di Banyuwangi, Jawa Timur, Senin (18/5).

Dia mengatakan, poduktivitas tanaman padi di Banyuwangi pada 2014 sebanyak 65,06 kuintal/ha, lebih tinggi dari rata-rata Jawa Timur yang 62,76 kuintal/ha. Produktivitas padi di Banyuwangi terus mengalami kenaikan dari posisi 2012 yang sebanyak 62 kuintal/ha.

Tahun lalu, produksi padi Banyuwangi mencapai 777.997 ton yang menjadikan kabupaten tersebut sebagai salah satu penghasil beras terbesar di Jawa Timur. Untuk data sementara, produksi padi di Banyuwangi sampai Maret 2015 sebesar 314.768 ton.

***

Harga Gabah Anjlok, Beras Melejit

Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman mengatakan, dari hasil blusukannya ke berbagai daerah, ditemukan harga gabah Rp 3.000 hingga Rp 3.400 per kilogram (kg), sementara harga beras dari petani berkisar Rp 6.700-Rp 7.200 per kilogram. Sedangkan, harga beras di pasar sudah mencapai Rp 7.500 hingga Rp 10 ribu per kilogram.

Harga gabah anjlok tersebut ditemukan di Batubara (Sumatra Utara), Oku Timur, (Sulawesi Selatan), Banyuasin (Sumatra Selatan), Tulang Bawang (Lampung), Klaten (Jawa Tengah), Yogyakarta (DIY), Bojonegoro (Jawa Timur), Ternate (Maluku Utara), Pulau Buru (Maluku), hingga Manokwari dan Merauke (Papua).

Nilai itu di bawah harga pembelian pemerintah (HPP) yang diatur dalam Inpres Nomor 5 Tahun 2015 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah pada 17 Maret 2015 dengan nilai Rp 3.700 untuk gabah dan Rp 7.300 untuk beras.

"Saya sudah datangi berbagai daerah dari Sabang hingga Merauke, saya tanya langsung ke petani dan pedagang, harga gabah rata-rata sama Rp 3.000 hingga Rp 3.400. Sedangkan, harga beras dari penggilingan paling besar Rp 7.000," ungkap Mentan saat di Merauke, Papua, Senin (11/5).

Menurut Mentan, disparitas harga gabah dan beras dari petani hingga ke pasaran sangat jauh sehingga ia menilai ada satu pihak yang sangat diuntungkan dengan kondisi itu.

"Petani yang bekerja selama 100 hari kepanasan dan kehujanan di sawah, berhadapan dengan hama dan tikus hanya menikmati 10 hingga 20 persen, sementara pedagang untung berkisar antara 60 persen hingga 100 persen. Namun, kenyataan di pasaran harga beras sudah bagus. Ini sudah pasti ada pihak yang diuntungkan, tak lain adalah tengkulak," ujar Mentan.

Mentan menyayangkan petani yang sedang bersemangat meningkatkan produksi, namun tidak menikmati keuntungan yang layak. "Petani sudah semangat menanam, pemerintah sudah gencar memberikan bantuan. Jika harga masih tidak menguntungkan petani, ini akan membuat demotivasi petani, mereka kehilangan semangat," ungkapnya.

Contoh lainnya, di Dusun Glagah, Desa/Kecamatan Purwosari, Kabupaten Bojonegoro, pascapanen terakhir, harga gabah yang dihasilkannya terus merosot. Harga gabah yang semula Rp 3.500 per kilogram dalam sebulan terakhir ini turun menjadi Rp 3.200 yang kemudian turun lagi menjadi Rp 3.000. Di Jawa Tengah dan Yogyakarta hanya di kisaran Rp 3.500 per kilogram di tingkat petani, sementara untuk Maluku dan Merauke tak jauh berbeda harga berada di kisaran Rp 3.400 per kilogram.

Mentan berharap Perum Bulog berperan sebagai penyeimbang antara persediaan/stok dan kebutuhan dengan menyerap surplus produksi petani. Menurutnya, ini merupakan wujud "kehadiran negara" sebagai amanat konstitusi untuk mewujudkan swasembada pangan. Bulog diharapkan lebih kreatif dalam melakukan pengadaan beras dalam rangka menjaga supaya harga gabah petani sehingga tidak terjun hingga di bawah HPP yang ditetapkan oleh pemerintah.

Mentan juga menegaskan agar penjualan beras petani harusnya dijual langsung kepada pihak Bulog, tanpa melalui mitra usaha. Hal itu dilakukan untuk menjaga kestabilan harga beras petani yang mampu menunjang kesejahteraan petani.

"Beras petani harus dijual langsung ke Bulog dengan ketentuan harga yang wajar. Dan, Bulog harus membayarnya dengan harga yang membantu petani. Jangan dijual ke mitra usaha karena akan memberikan keuntungan bagi mereka. Bayangkan, misal, mereka beli dengan harga Rp 5.500 per kilogram, mereka jual ke kota Rp 10 ribu per kilogram, tentu mereka yang dapat untung. Kasihan kan para petani," tutur Mentan.

Mentan menilai, penyerapan yang dilakukan oleh Bulog di lapangan memang masih belum maksimal karena terkendala kualitas gabah dan beras yang tidak sesuai ketentuan inpres. Sebagai contoh, berdasarkan Inpres Nomor 5 Tahun 2015, HPP berlaku untuk gabah kering panen (GKP) dengan kadar air maksimum 25 persen, sementara banyak beras petani yang kadar airnya di atas 25 persen, bahkan di atas 30 persen.

Untuk itu, Bulog diharapkan harus lebih kreatif dalam menyiasati penyerapan hasil panen petani. "Gabah-gabah yang masih basah bisa saja ditingkatkan kualitasnya di penggilingan-penggilingan padi yang memiliki banyak alat pengering. Kadar air kan bisa disiasati dengan bekerja sama dengan penggilingan-penggilingan mitra kerjanya. Harus kreatif menyerap produksi petani, jangan menunggu mereka," ujar Mentan.

Bila serapan beras rendah, Bulog tidak akan bisa memiliki stok yang cukup untuk menjaga stabilitas harga beras. Alhasil, cadangan beras yang dikelola Bulog menipis. Sementara, sisi lainnya, pedagang menguasai stok sehingga pasar beras mudah sekali bergejolak.

Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menilai, penguasaan stok beras nasional saat ini justru berada di pasar (pedagang besar) bukan pemerintah. Hal ini yang menyebabkan melonjaknya harga beras beberapa bulan lalu.

"Saat itu, para pedagang besar menahan stok berasnya karena penyerapan beras dari petani dilakukan pedagang besar. Jadi, pemerintah tak memiliki instrumen untuk melakukan stabilisasi harga (beras)," ujar Enny di Jakarta, akhir pekan lalu.

Enny menilai, saat pemerintah berupaya untuk menurunkan harga beras dengan menugaskan Bulog melakukan operasi pasar saat itu tidak efektif karena Bulog tak memiliki cukup stok beras.

"Bagaimana mau operasi pasar kalau stok berasnya enggak ada. Waktu kenaikan beras kemarin itu Bulog enggak punya stok beras," katanya.

Masalahnya, tak mudah bagi Bulog dalam mengemban tugas itu. Di satu sisi, ada tuntutan kuat agar Bulog menjaga kualitas beras. Ini berkaitan dengan keluhan buruknya kualitas beras untuk rakyat miskin (raskin) yang selalu berulang. Di sisi lain, apabila berkeras menjaga kualitas tinggi, ada kemungkinan Bulog tidak mendapatkan gabah/beras.

Hal ini yang menjadi celah para spekulan dalam mempermainkan harga beras. Para tengkulak terus mengeruk keuntungan besar, sementara para petani tidak pernah meningkat pendapatannya.

Benih unggul tingkatkan produktivitas

Mentan Andi Amran Sulaiman pada acara Panen Raya di Merauke, Papua, juga menekankan pemakaian benih unggul sangat diperlukan dalam meningkatkan produksi padi.

Ia mencontohkan, dengan menggunakan benih unggul Inpari 13 maka dapat meningkatkan produktivitas dari empat ton/ha menjadi 7,1 ton/ha atau meningkat 3,1 ton/ha. "Inpari 13 memiliki kelebihan produktivitas yang tinggi," kata Mentan dalam wawancara lewat telepon seluler dari Papua.

Presiden RI Jokowi mencanangkan pembangunan sawah satu juta ha di Merauke Papua dari potensi lahan toleransi untuk pertanian 4,6 juta ha.

Menurut Mentan, rencana Presiden Jokowi akan membuka satu juta ha di Merauke untuk sawah yang dicanangkan selama tiga tahun ke depan. Dengan demikian, kurang lebih 367 ha per tahunnya.

Mentan juga mencatat di Merauke seluas 300 ha luasan uji coba tanaman pengembangan yang produktivitasnya telah mencapai empat-lima ton/ha. antara ed: Eh Ismail

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement