Senin 04 May 2015 15:00 WIB

Mencari ‘Taring’ Moratorium Izin Hutan yang Sembunyi

Red:

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Kepentingan eksploitasi dan eksplorasi hutan dengan dalih memajukan perekonomian sembari tetap menjaga kesehatan lingkungan hidup bukanlah pekerjaan sederhana. Buktinya, meski serangkaian peraturan perundang-undangan berikut moratorium izin hutan telah ditegaskan, praktik pelanggaran lingkungan masih saja menggerayang. Seperti bermain petak umpet, kebakaran hutan dan illegal logging beserta masalah sosial yang mengikutinya tetap terjadi.

Kebijakan pemerintah soal moratorium izin hutan telah berlaku hingga 3,7 tahun dan akan berakhir pada 13 Mei 2015 mendatang. Namun, berdasarkan analisis dan kajian sejumlah aktivis lingkungan, "taring" moratorium tampak malu-malu untuk muncul. Dampaknya, moratorium jadi tak efektif.

"Memperhatikan efektivitas keberjalanannya selama ini, ditarik kesimpulan di antaranya terdapat hal kontradiktif dengan semangat penjagaan hutan alam," kata Program Manager Economic and Environmental Governance Kemitraan Hasbi Berliani kepada Republika, belum lama ini.

Berdasarkan kajian, kata dia, kebijakan yang terlahir dengan diiringi janji kepada dunia internasional untuk menurunkan emisi gas rumah kaca hingga 26-41 persen hingga 2020 nyatanya belum cukup punya gigi untuk melindungi hutan alam dari konsesi.

Pada 2011, kata dia, dikeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) No 10/2011 tentang Penundaan Izin Baru di Hutan Primer dan Lahan Gambut serta Perbaikan Tata Kelola Sektor Kehutanan. Selang dua tahun, moratorium diperpanjang melalui Inpres No 6/2013, yang mana inpres difokuskan untuk memberi waktu bagi hutan untuk bernapas dan menahan konversi hutan sehingga bisa efektif menurunkan emisi gas rumah kaca.

Karena itu, sejumlah aktivis lingkungan termasuk dirinya pun meminta agar kebijakan moratorium hutan dan lahan gambut diperpanjang dengan penguatan dan persyaratan yang lebih ketat. Pelaku kajian di antaranya dari kalangan akademisi diwakili Institut Pertanian Bogor, LSM Wahana Lingkungan Hidup, serta kemitraan.

Pasalnya, moratorium yang telah berjalan selama ini dinilai masih sangat lemah dalam menjaga hutan dari konsesi dan eksploitasi. Salah satu buktinya, lahan moratorium hutan justru mengalami penyusutan hingga 900 ribu hektare selama tiga tahun atau seluas negara Singapura.

Ia menyebutkan, berdasarkan kajian per periode waktu terhadap revisi penetapan peta indikatif penundaan pemberian izin baru (PIPPIB), laju pengurangan luas moratorium sebagian besar berupa pengurangan luas lahan gambut.

Wilayah kajian, kata dia, berpusat pada sejumlah titik fokus wilayah, di antaranya Riau, Kalimantan Tengah, Sumatra Selatan, dan Jambi, yang mana wilayah tersebut mencakup seperlima wilayah hutan se-Indonesia. Luas akumulasi 27 juta hektare.

Pengurangan lahan gambut terjadi cukup besar dari PIPPIB revisi V ke VI atau periode November 2013 hingga April 2014. Selama enam bulan terdapat sekitar 698.637 hektare lahan gambut di Kalimantan Tengah yang dikeluarkan sehingga bukan lagi menjadi areal moratorium.

Pada periode yang sama, lanjut dia, terdapat sekitar 306.435 hektare lahan gambut di Riau dan Sumsel yang keluar dari areal PIPPIB. Dan jika diperhatikan berdasarkan pola spasial, setiap perubahan tersebut selalu mengelompok mengikuti perubahan revisi sebelumnya.

"Indeks agregasi yang relatif tinggi menunjukkan ada kecenderungan dengan disengaja membentuk areal yang luas dan kompak sehingga terjadi konglomerasi areal-areal yang dikeluarkan dari moratorium," ujarnya.

Sejak keluarnya Inpres 10/2011 hingga Inpres 6/2013 tentang moratorium, lanjut dia, terjadi penurunan areal yang dimoratorium dari waktu ke waktu dan cenderung berada pada wilayah yang tidak terancam penerbitan izin baru, seperti pada kawasan konservasi dan suaka alam.

Dalam analisis PIPPIB revisi I hingga VII, hutan alam primer dan lahan gambut yang dimoratorium secara aktual sangat kecil. Sebab, sebagian besar areal yang dimoratorium justru berada di kawasan yang sudah dilindungi berdasarkan Undang-Undang 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Berdasarkan analisis, ditemukan pula kenyataan bahwa masih ada perbedaan tafsir mengenai kategori lahan gambut antara pemerintah daerah dan unit pelaksana teknis kementerian. Sehingga, areal yang semestinya dimoratorium justru dikeluarkan pada revisi PIPPIB berikutnya. Kasus seperti ini ditemukan di Kabupaten Indragiri Hilir, Riau, dan Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah.

Selanjutnya, pengurusan izin untuk perhutanan sosial terhambat karena areal kerja yang diusulkan masuk dalam wilayah yang dimoratorium. Hal tersebut ditemukan di Teluk Meranti, Kabupaten Pelalawan Riau, dan di Kabupaten Musi Banyuasin Sumatra Selatan. "Semestinya, izin untuk perhutanan sosial termasuk yang dikecualikan dalam kebijakan moratorium sebagaimana izin untuk restorasi ekosistem," ujarnya.

Temuan lain yang mesti jadi bahan perbaikan ketika ingin memperpanjang moratorium, yakni fakta bahwa kebijakan penundaan pemberian izin baru dan penyempurnaan tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut tidak mengurangi jumlah izin baru yang keluar selama periode moratorium diberlakukan. Buktinya, izin hutan tanaman industri, izin pinjam pakai kawasan hutan untuk tambang, dan pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan bisa tetap keluar.

Program Officer Sustainable Environment Governance Kemitraan Amalia Prameswari menambahkan, selama masa moratorium terjadi pelepasan kawasan hutan. Pelepasan tersebut bertujuan untuk memenuhi permintaan wilayah administrasi daerah dalam bentuk area peruntukan lain (APL) mencapai 7,7 juta hektare di 20 provinsi.

"Selanjutnya, terjadi perluasan dan penerbitan izin HTI dengan luas mencapai 1.131.165 hektare dari tahun 2011 hingga 2013," katanya. Ditemukan pula, lanjut dia, pelepasan kawasan hutan secara parsial untuk perkebunan seluas 1.136.956 hektare.

Pemberlakuan moratorium dengan tidak mengurangi jumlah izin baru juga terbukti dengan meningkatnya pemberian izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) untuk pertambangan sampai dengan 2.253.882 hektare selama 2011-2013.

Karena itulah, jelang masa berakhirnya moratorium pada 13 Mei 2015 mendatang, para aktivis lingkungan menekankan agar pemerintah segera melanjutkan moratorium hutan, dengan pengawasan dan pengetatan regulasi dengan tekanan yang lebih tinggi. Sebab, jika tidak, moratorium hutan akan melulu jadi slogan tanpa ada dampak nyata terhadap terkikisnya emisi gas rumah kaca serta kelestarian hutan.

Periode waktu yang diusulkan harus lebih dari dua tahun agar hutan lebih banyak punya waktu untuk bernapas dan melanjutkan siklus kehidupannya dengan normal. "Di samping itu, kebijakan moratorium hutan dan lahan gambut ke depan juga harus berbasis capaian dengan indikator perbaikan tata kelola hutan yang lebih terukur," kata kata ketua Yayasan Perspektif Baru Hayat Mansur.

Contohnya, kata dia, seperti penyelesaian tata batas kawasan hutan dan sinkronisasi peraturan antara pemerintah pusat dan daerah. Selain itu, harus pula dilakukan review perizinan, penyelesaian konflik tenurial, penurunan kebakaran hutan dan lahan, serta penegakan hukumnya.

Basis hukum kebijakan juga mesti diperkuat dengan melakukan penundaan pemberian izin baru dan perbaikan tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut setidaknya dalam bentuk peraturan presiden. Tujuannya agar moratorium lebih mengikat bagi para aparatur pemerintahan di bawahnya.

Diperluas

Kebijakan moratorium juga perlu diperluas dengan memasukkan hutan alam primer dan lahan gambut tersisa serta kawasan yang terancam, seperti karst, mangrove, dan pulau-pulau kecil, namun tidak perlu memasukkan konservasi ke dalam wilayah yang dimoratorium. Hal tersebut mengingat kawasan konservasi sudah dilindungi Undang-Undang 5/1990.

Selanjutnya, ketika moratorium dilanjutkan, wilayah-wilayah yang potensial untuk pemberdayaan masyarakat atau perhutanan sosial harus dikecualikan dalam kebijakan moratorium. "Tujuannya agar target perhutanan sosial seluas 12,7 juta ha dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 tidak terhambat," ungkapnya.

Sebelumnya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar bersama Menko Perekonomian memutuskan untuk melanjutkan moratorium izin baru di kawasan hutan alam dan lahan gambut pada 24 Maret 2015 lalu. Siti mengungkapkan bahwa moratorium akan berlangsung seperti biasa sebagaimana telah dijelaskan dalam inpres sebelumnya.

Sementara, informasi terbaru soal moratorium izin hutan datang dari Sekretaris Jenderal KLHK Hadi Daryanto. Dihubungi pada Jumat (24/4), Hadi menyebut kementerian telah resmi akan mengusulkan soal perpanjangan moratorium izin hutan hingga dua tahun ke depan, yakni hingga Mei 2017.

"Baru saja kita selesai membahas ini. Usulan perpanjangan moratorium akan dibawa ke Menteri LHK untuk kemudian diteruskan ke presiden untuk disetujui," kata Hadi melalui sambungan telepon. Ia mengatakan, tidak ada perubahan peraturan atau penguatan apa pun menyoal moratorium selain menambah soal izin pembukaan hutan yang diperbolehkan untuk kebutuhan program kedaulatan pangan.

Sementara untuk keperluan penanaman padi, jagung, dan kedelai, kawasan hutan selain hutan lindung dan hutan alam boleh dibuka. Selain itu, pembukaan hutan juga diperbolehkan untuk pembukaan lahan waduk dan jalan di kawasan perbatasan.

Ditanya tanggapannya soal permintaan para aktivis yang menginginkan penguatan moratorium setingkat perpres, menurutnya hal tersebut tak perlu dilakukan. Sebab, perlindungan hutan untuk menekan laju deforestasi sudah terdapat dalam Undang-Undang Konservasi dan Hutan Lindung. "Tidak perlu dengan moratorium lagi karena sudah ada undang-undangnya. Moratorium hanya mengingatkan kembali supaya ada tata kelolanya," ujarnya.

Ia juga mengklaim pemberlakuan moratorium selama ini sudah cukup efektif. Buktinya, berdasarkan data KLHK, angka deforestasi atau pengikisan kawasan hutan hanya tinggal 670 hingga 680 ribu hektare dalam periode 2009-2014. Angka ini sudah jauh lebih kecil dari angka sebelumnya, dengan deforestasi 2006-2011 mencapai sekitar 1,2 juta hektare.

Terlebih, kata dia, presiden telah mencanangkan penurunan emisi gas rumah kaca dengan mengatasi kerusakan hutan yang terjadi karena perusakan hutan terutama dari kebakaran lahan dan hutan. Merespons hal tersebut, selama ini pemerintah mengaku telah melakukan sejumlah langkah strategis, di antaranya melakukan penanaman dan pemeliharaan pohon, pengawasan dan pengendalian illegal logging, serta mengatasi kebakaran hutan dan memberdayakan kearifan lokal. Oleh Sonia Fitri ed: Irwan Kelana

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement