Senin 27 Apr 2015 16:00 WIB

Zakat, Wakaf, dan Ekonomi Umat

Red:

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Menjaga diri dari meminta-minta tak jarang ditemui warga miskin yang berjualan apa saja untuk memenuhi kebutuhan hidup. Saat musibah menerpa, mereka harus rela menguras uang modal dagang di laci pikulan atau gerobak mereka. Kesejahteraan dan hidup cukup jadi sekadar penghibur bagi mereka.

Selain sebagai dana sosial untuk kebutuhan konsumsi delapan kelompok penerima (mustahik), zakat dan wakaf bisa saling melengkapi. Percepatan kesejahteraan bisa terjadi jika dana wakaf diberikan sebagai modal produktif bagi usaha kelompok miskin.

Zakat dan wakaf produktif juga jadi isu yang tak putus dibahas dalam tiga hari pertemuan Dewan Pengawas Jasa Keuangan Islam (IFSB) akhir Maret lalu. Tak cuma Indonesia, tapi 14 negara mayoritas Muslim dan negara Islam lain juga menaruh perhatian atas pemberdayaan dana-dana kebaikan ini.

Bank Wakaf  untuk Usaha Mikro

Akademisi dan peneliti keuangan Islam dari Universitas New Orleans Amerika Serikat M Kabir Hassan menyebut, dalam konferensi Islam pada 2013, salah satu keputusan Organisasi Kerja sama Islam (OIC) adalah terbentuknya bank-bank wakaf di negara-negara Muslim. Dana wakaf yang terkumpul digunakan untuk pembiayaan usaha mikro milik kaum miskin dan jika kondisi negara sudah membaik, kelebihan wakaf bisa dipindahkan ke negara lain.

Ia mengungkapkan, dari 1,6 miliar jiwa Muslim dari 57 anggota OIC, 80 persennya miskin dan memiliki produk domestik bruto (PDB) kurang dari 4.000 dolar AS.

"Selain struktur organisasi, pengelolanya harus transparan dan akuntabel, harus dipastikan juga dana dasar wakaf tidak habis dan memastikan proses usaha mikro kaum miskin bisa berkelanjutan. Potensi risiko harus dimitigasi," tutur Hassan.

Mengenai bank wakaf, Presidium Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) Sugiharto mengatakan, Bank Pembangunan Islam (IDB) sudah melakukan penelitian, dana-dana sosial, seperti zakat, infak, sedekah, dan wakaf bermanfaat untuk memeratakan kesejahteraan warga miskin. Dana sosial yang ada, terutama wakaf berupa tanah maupun uang tunai, bisa digunakan untuk kegiatan produktif.

Beberapa negara sudah memiliki bank semacam ini, tapi dana yang digunakan bukan sepenuhnya dari wakaf tapi lembaga keuangan yang menyediakan produk wakaf. "Indonesia ingin jadi yang pertama membentuk bank wakaf untuk membantu pembiayaan usaha kecil milik kaum miskin," ungkap komisaris independen Pertamina ini.

Ia mengungkapkan, ICMI sudah membentuk kelompok kerja mengenai bank wakaf ini dan akan segera menyampaikannya kepada Presiden RI. "Karena tidak boleh berorientasi laba, Badan Wakaf Indonesia (BWI) sempat menyampaikan pembiayaan usaha mikro menggunakan dana dari bank wakaf dilakukan dengan pendekatan nilai-nilai agama. Yang dijaga adalah dana pokok wakaf agar tidak habis," tuturnya.

Zakat terintegrasi

Indonesia, tampaknya makin serius menggarap potensi zakat dan wakaf untuk usaha produktif kaum miskin. Melalui kerja sama dengan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI), Badan Wakaf Indonesia (BWI) dan Baznas, Bank Indonesia menandatangani nota kesepahaman soal pengelolaan zakat dan wakaf.

Peran Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), Lembaga Amil Zakat (LAZ) dan wakaf jadi penting. Tak cuma memberi santunan, tapi ikut mendukung edukasi dan keberlanjutan ekonomi kaum miksin.

Setidaknya, Rp 217 triliun, begitu Baznas mencatat nilai potensi zakat Indonesia. Perlahan, jumlah zakat tercatat meningkat.

Pada 2013, dana zakat tercatat Rp 2,3 triliun dan pada 2014 sebesar Rp 3 triliun, baik yang dikumpulkan di LAZ, Baznas pusat, maupun Baznas daerah.

Pada 2014, ada 3,4 juta penerima manfaat dalam program kepedulian, kesehatan, pendidikan, produktif, dan dakwah. Pada 2015 ini, dana zakat yang terkumpul diprediksi akan mencapai Rp 5 triliun.

Dalam satu kesempatan, Ketua Dewan Pembina Dompet Dhuafa Parni Hadi pernah menyampaikan, kelompok miskin tidak bisa tidak harus mendapat intervensi terintegrasi ekonomi, pendidikan, dan kesehatan.

Parni menjelaskan, Dompet Dhuafa dan Baznas memiliki program pemberdayaan zakat terintegrasi pendidikan, antara lain, melalui sekolah Smart Ekselensia Dompet Dhuafa dan Satu Rumah Satu Sarjana Baznas, layanan kesehatan berkelanjutan Rumah Sehat Dompet Dhuafa dan RS Baznas, dan pemberdayaan ekonomi seperti bina desa.

Saling melengkapi

Wakaf memang berfungsi sosial. Yang dijaga hanya dana pokoknya. "Lembaga zakat dan wakaf bisa bekerja sama dengan perbankan menggunakan akad mudharabah muqayyadah, mengamanatkan dana wakaf untuk pengembangan usaha mikro misalnya," kata Direktur Bisnis BNI Syariah Imam Teguh Saptono.

Bank akan menghitung default rate (potensi kegagalan usaha yang dibiayai), pengawasan, pengumpulan cicilan, dan struktur transaksi. Sejauh bank punya infrastrukturnya, Imam yakin bank syariah akan mau.

"Akan ada kontrak yang mengatur sumber dana dan pengalokasiannya. Ini akan terpisah dari pengumpulan dana pihak ketiga (DPK)," ungkap Imam.

Karena ada potensi gagal maka wakaf produktif yang diberikan untuk pembiayaan bisa diberi pricing. Sehingga jika gagal, dana wakaf yang berkurang bisa ditutup dengan margin dari pricing dan dana pokok wakaf tidak berkurang.

Kalau kegagalan usaha yang dibiayai bukan bersumber pada moral hazard, penerima pembiayaan tidak ditekan dan tidak dibebankan harus mengembalikan. Kalau untung, keuntungan bagi hasil akan jadi sumber wakaf selanjutnya yang bisa dipakai untuk menolong lebih banyak orang.

"Kalaupun gagal bukan karena moral hazard, penerima pembiayaan mikro masuk kelompok gharimin (orang yang berhutang) dan tunggakan pembiayaan diselesaikan dengan zakat. Zakat dan wakaf itu keren," tutur Imam.

Konsep bank wakaf seperti ini dinilai Imam sebagai model ideal. Tinggal siapa yang mau mengerjakannya.

Senada dengan Imam, Direktur Pusat Studi Bisnis dan Ekonomi Syariah (CIBEST) IPB Irfan Syauqi Beik mengatakan, saat menggunakan dana wakaf dan zakat untuk pembiayaan usaha mikro, risiko moral hazard selalu ada.

Penggantian pembiayaan bermasalah dari dana wakaf bisa saja diganti dana zakat. "Tapi, penggunaan zakat untuk pembiayaan bermasalah tidak boleh dijadikan jalan pintas hanya karena kurang menggali sisi syariahnya," kata Irfan.

Ia menambahkan, sebelum dipakai menggantikan pembiayaan bermasalah, perlu diperhatikan dulu apakah penerima pembiayaan termasuk mustahik atau bukan. "Karena itu, Indonesia harus punya standar penggunaan zakat secara efektif dan efisien dengan tetap memperhatikan prinsip syariah," ujar Irfan Syauqi Bey. Oleh Fuji Pratiwi ed: Irwan Kelana

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement