Senin 30 Mar 2015 15:00 WIB

Ngebut Membangun Listrik

Red:

Bisa dibilang, Indonesia darurat listrik. Ketersediaan cadangan listrik nasional baru mencapai 10 persen dari total kebutuhan listrik dalam negeri. Angka ini masih di bawah standar cadangan listrik yang seharusnya Indonesia miliki, yakni 30 persen dari total kebutuhan.

Belum lagi rasio elektrifikasi Indonesia awal tahun 2015 ini baru 84 persen, sedangkan sisanya 16 persen masih gelap. Bahkan, dari total wilayah Indonesia yang teraliri listrik, baru delapan  wilayah kelistrikan yang memiliki cadangan listrik 30 persen. Sedangkan, 14 sistem kelistrikan atau 14 wilayah distribusi listrik lainnya pasokan listriknya masih pas-pasan bahkan defisit.

PLN mencatat, hingga tahun lalu, total kapasitas terpasang dan jumlah unit pembangkit PLN (holding dan anak perusahaan) mencapai 34.206 MW dan 4.925 unit. Dari angka tersebut, 26.768 MW (78,26 persen) di antaranya berada di Jawa. Data ini menunjukkan betapa daerah di luar Pulau Jawa masih sangat membutuhkan perhatian pemerintah.

Bahkan di sektor pendidikan, pemerintah merilis angka bahwa hingga saat ini, dari jumlah sekolah 208 ribu unit di seluruh Indonesia, 17.520 di antaranya belum teraliri listrik atau mencapai 8,4 persen. Berdasarkan jenis, jumlah SD dan SMP yang belum teraliri listrik mencapai 74.992 unit dan SMA/SMK 2.528 unit.

Sementara, berdasarkan lokasi, jumlah sekolah teraliri listrik terendah ada di Papua 55 persen, disusul Sulbar 63 persen, Papua Barat 66 persen, NTT 70 persen, dan Kalbar 71 persen. Bahkan di DKI Jakarta, saat ini sekolah yang terlistriki baru mencapai 92 persen atau delapan persen yang belum terelektrikasi.

Belum aman

Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) juga mengakui kalau Indonesia belum sepenuhnya "aman" dalam hal ketersediaan sumber energi listrik. Minimal, menurut JK, Indonesia harus memiliki cadangan listrik nasional sebesar 30 persen. Cadangan listrik ini, kata JK, sangat diperlukan seiring pertumbuhan penduduk dan ekonomi Indonesia yang semakin meningkat. Dengan cadangan listrik ini, masyarakat Indonesia pun tak perlu merasakan pemadaman listrik saat terjadi kerusakan atau gangguan.

Kurangnya cadangan listrik inilah yang menjadi penyebab seringnya terjadi pemadaman listrik. "Kalau kita punya cadangan 30 persen, maka jika ada mesin rusak atau sedang diperbaiki ya tidak perlu ada pemadaman lagi," kata JK dalam acara Musyawarah Nasional Masyarakat Ketenagalistrikan (MKI) VI di kantor pusat PT PLN, Jakarta, Kamis (12/3). Tak ayal, kurangnya cadangan dan masih banyaknya daerah yang belum teraliri listrik membuat krisis listrik terjadi.

Lebih lanjut, JK mengatakan, krisis pasokan listrik yang selama ini terjadi di Tanah Air disebabkan adanya salah perhitungan. JK menyebut bahwa selama ini, dalam perencanaannya, pemerintah menganggap pertumbuhan listrik akan linier dengan pertumbuhan ekonomi. Padahal, lanjut JK, pertumbuhan kebutuhan listrik nyaris selalu lebih cepat dibanding pertumbuhan ekonomi. Pemerintah sendiri merilis angka kebutuhan akan listrik terus meningkat sebesar 15 persen setiap tahunnya. Angka ini jauh di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia setiap tahunnya.

Seharusnya, lanjut Wapres, pemerintah memiliki pasokan pembangkit listrik 10 ribu megawatt setiap tiga tahun. Jika persediaan itu benar-benar diwujudkan oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN), pasokan listrik di Tanah Air dapat terjaga. Meski demikian, JK tidak membantah apabila target 10 ribu megawatt setiap tiga hingga lima tahun tersebut banyak yang terlambat. "Ditambah lagi tidak ada dorongan sehingga malah belum ada yang selesai. Maka dari itu, terpaksa kita gandakan menjadi 35 ribu MW kali ini," kata JK.

Infrastruktur utama

Listrik merupakan satu dari tiga infrastruktur utama yang diperlukan di semua aspek kegiatan kehidupan bermasyarakat dan tidak dapat tergantikan. Apalagi, adanya perkembangan teknologi dewasa ini, lanjut dia, menyebabkan kebutuhan listrik warga meningkat sehingga persediaannya harus dijaga.

Oleh karena itu, dalam tiga tahun, pemerintah harus menambah kapasitas listrik sebesar 10 ribu MW. Ia pun mencontohkan tingginya cadangan listrik yang dimiliki oleh negara tetangga, yakni Singapura yang mencapai hingga 100 persen.

JK mengatakan, dalam 10 tahun, pemerintah harus dapat membangun 54 ribu MW listrik. Untuk merealisasikan pembangunan listrik ini, kata dia, pemerintah perlu melibatkan pihak swasta. "Pasti PLN tidak mampu, baik secara teknis juga pasti tidak mampu dan secara finansial tidak mampu. Karena itulah memang harus lah swasta ikut serta," jelas JK.

 Di antara target penambahan 54 ribu MW tersebut, termasuk pula target 35 ribu MW yang harus dicapai pada 2019 mendatang. Target ini dianggap terlalu ambisius. Pemerintah sendiri menggadang-gadang akan melibatkan swasta dalam upaya pencapaian target 35 ribu MW. Bila memang demikian, tentu prosesnya akan lebih lama karena butuh masa tender dan proses perizinan lainnya.

Pembangunan tersebut, yakni 10 ribu MW, akan dibebankan pada PLN, sedangkan 25 ribu MW dibebankan pada kerja sama antara pemerintah dan swasta melalui mekanisme independent power producer (IPP). Dalam mekanisme IPP tersebut, para pengembang didorong untuk menggunakan komponen, seperti travo dan transmisi dari dalam negeri. "Biasanya kalau ada investasi kan komponennya diimpor, sekarang kita punya kebijakan agar setiap investasi yang masuk harus menggunakan komponen dari dalam negeri," ujar JK.

Pekerjaan rumah

Terkait dengan proyek pembangunan pembangkit 35 ribu MW tersebut, Ketua Umum Masyarakat Kelistrikan Indonesia (MKI) Moch Harry Jaya Pahlawan menuturkan, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, di antaranya masalah pembebasan lahan, ketersediaan energi primer, dan perizinan. "Untuk itu, MKI telah mengadakan sebuah simposium dan hasilnya berupa rekomendasi dan telah diserahkan kepada pemerintah dalam dokumen Sumbangan Pemikiran MKI tentang Keamanan Pasokan Tenaga Listrik untuk Menunjang Pembangunan Nasional yang Berkelanjutan," ujarnya.

Sementara itu, anggota Dewan Penasihat Masyarakat Kelistrikan Indonesia, Herman Daniel, juga menyatakan target 35 ribu MW terlalu terburu-buru. Herman sendiri merasa pesimistis bila target ini dapat tercapai pada 2019 mendatang. Herman menilai bahwa pemerintah seharusnya lebih bijak dalam memasang target, dengan kajian teknis yang menyeluruh. "Sebenarnya bangun cepat itu baik, tapi membangun dengan buru-buru itu tidak baik," jelas Herman, Ahad (22/3).

Herman beranggapan, pembangunan pembangkit listrik untuk memenuhi target 35 ribu megawatt idealnya baru bisa terpenuhi pada 2020, bukan 2019 seperti target pemerintah. Dia menambahkan, untuk  menyelesaikan pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) saja membutuhkan waktu lebih dari empat tahun. Masa empat tahun ini, menurutnya, belum termasuk proses tender dan masa pencarian sumber pendanaan. Belum lagi, lanjut Herman, dengan kondisi politik ekonomi dalam negeri yang saat ini tidak kondusif. Bila terhambat di masalah politik, Herman menilai, realisasi program 35 ribu MW akan terhambat.

Pemerintah sendiri tidak menampik apabila target penambahan pasokan listrik mencapai 35 ribu MW dirasa berat. Menteri Energi dan Sumber daya Mineral Sudirman Said bahkan juga mengakui masih ada hambatan dalam pengadaan listrik di Indonesia.

Sudirman mengakui bahwa dalam pencapaian target 10 ribu MW dalam tahap pertama saja masih sulit tercapai. Ia mengatakan, pemerintah saat ini sedang melakukan koreksi apa saja penyebab yang menjadi penghalang. Menurutnya, permasalahan yang ada adalah pengadaan lahan, proses perizinan, problem keuangan, dan kredibilitas swasta yang memegang proyek pembangunan pembangkit listrik.

"Dari 14 developer, yang perform hanya empat, itu juga mengalami kerugian ketika listrik ditender berlomba harga rendah tanpa berhitung lebih dalam. Meskipun, nama besar ada masalah. Masalah berikutnya koordinasi antarkementerian," ujarnya.

Sudirman melanjutkan, selama ini masyarakat menganggap bahwa permasalahan tersebut merupakan kesalahan dari pemerintah dan PLN. Padahal, hal itu merupakan tanggung jawab dari seluruh stakeholder. Untuk tantangan perihal sulitnya perizinan dan koordinasi antarkementerian, Sudirman menyebut bahwa penyelenggaraan PTSP atau pelayanan terpadu satu pintu terkait perizinan di BKPM menjadi salah satu solusinya. Dia menyebut bahwa antarkementerian sudah sepakat untuk mempermudah izin. "Juga kami bentuk project management office atau PMO untuk mendampingi PLN dalam melaksanakan setiap project," katanya.

Selain itu, dalam proyek pembangunan pembangkit listrik selama ini juga terkendala masalah pembebasan lahan. Wapres JK meminta agar dalam pembebasan lahan pembangunan listrik, tim pembebasan lahan lebih berpihak pada masyarakat. Sebab, pembebasan lahan biasanya membutuhkan waktu yang lama dan justru menjadi kendala dalam pembangunan. Hal ini pun, kata dia, tak akan memberikan kerugian dalam investasi proyek listrik.

JK menyebut bahwa lahan untuk investasi listrik itu tidak lebih daripada setengah persen dari seluruh investasi. Sehingga, menurutnya, investor tidak perlu terlalu pelit dalam menyoal ganti rugi tanah terhadap warga. Bahkan, JK menilai, seharusnya panitia pembebasan lahan memberikan harga hingga dua-tiga kali lipat di atas nilai jual objek pajak (NJOP).

Selain itu, menurut JK, komponen pembangkit listrik sebaiknya berasal dari industri dalam negeri. Sebab, saat ini pemerintah mengimpor hampir 90 persen komponen pembangkit listrik. Sehingga, pemerintah pun akan memberikan persyaratan dalam investasi listrik agar dapat membuat komponen pembangkit di Indonesia.

"Hampir semua 90 persen pembangkit kita impor. Sekarang kita mau kasih syarat juga bahwa setiap investasi listrik harus dapat sebagian dibuat komponennya di Indonesia. Kalau tidak,  maka kita konsumen listrik di samping konsumen industri listrik. Karena itulah, maka pemerintah akan punya kebijakan seperti itu. Tapi, tentu dengan kualitas tepat," jelas Wapres.

JK juga mendorong masyarakat Indonesia untuk melakukan efisiensi penggunaan listrik sebagai upaya mewujudkan ketahanan energi nasional. Hal ini, katanya, sangat membantu dalam pemenuhan pasokan listrik, di samping upaya untuk menambah 35 ribu MW dalam lima tahun.

Ia mengatakan bahwa konsumsi listrik di Indonesia sebagian besar didominasi oleh penggunaan AC, baik di perkantoran maupun rumah tangga. "Kalau bisa menyetel suhu AC itu tidak boleh di bawah 25 derajat dan jangan lupa mematikan alat-alat elektronik yang sudah tidak digunakan," ujarnya. Menurut dia, upaya efisiensi penggunaan energi listrik telah berhasil membebaskan Jepang dari krisis energi pada 1974 sehingga kini Indonesia pun bisa menerapkan hal serupa.  N c-85 ed: irwan kelana

Mendorong Keterlibatan Swasta

Untuk mempercepat pencapaian 35 ribu MW ini, pemerintah juga menyusun beberapa regulasi khususnya untuk mendorong pembangunan pembangkit listrik melalui mekanisme independent power producers (IPP). "Peran listrik swasta diharapkan dapat meningkat secara signifikan. Peran swasta akan meningkat dari kontribusi kapasitas sekitar 15 persen menjadi 32 persen pada tahun 2019 dan 41 persen pada tahun 2024," kata Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Jarman, beberapa waktu lalu.

Permen ESDM Nomor 3 Tahun 2015 mengatur tentang prosedur pembelian tenaga listrik dan harga patokan oleh PLN melalui pemilihan langsung dan penunjukan langsung. "Prosedur pembelian tenaga listrik melalui pemilihan langsung dilaksanakan maksimal dalam 45 hari, sedangkan untuk penunjukan langsung dilaksanakan maksimal 30 hari," ujar Jarman.

Selain itu, katanya, untuk mempercepat proses pembelian, PLN wajib menyusun standar dokumen pengadaan dan standar PPA untuk masing-masing jenis pembangkit serta PLN dapat menunjuk procurement agent untuk membantu melakukan uji tuntas terhadap penawaran calon. Permen tersebut juga mengatur bahwa pembelian yang dilaksanakan berdasarkan harga patokan tertinggi dan tidak diperiksa persetujuan harga jual dari Menteri ESDM. Sedangkan, Kepmen ESDM Nomor 0074 K/21/MEM/2015 merupakan pengesahan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) tahun 2015-2024.

Dalam RUPTL tersebut tercatat bahwa untuk sepuluh tahun mendatang, PLTU batu bara masih mendominasi jenis pembangkit yang akan dibangun, yaitu mencapai 42 GW (60 persen), sementara PLTGU sekitar 9 GW (13 persen), dan PLTG/MG sekitar 5 GW (7 persen).

Jarman mengatakan, energi terbarukan yang akan dikembangkan adalah PLTP sekitar 4,8 GW (7 persen) dan PLTA/PLTM dan pump storage sebesar 9.250 MW (13 persen). "Terkait dengan konsumsi BBM yang masih tinggi pada tahun 2015 sebesar 11,4 persen, direncanakan turun menjadi 1,4 persen pada tahun 2024," katanya.

Pekerjaan rumah pemerintah untuk membangun pembangkit listrik demi pemenuhan cadangan listrik tentu berat. Perlu dukungan semua pihak termasuk masyarakat agar target ini bisa terpenuhi. Regulasi demi regulasi yang dibuat pemerintah akan sia-sia apabila target efisiensi dan diversifikasi energi tidak berjalan dengan baik.

Untuk itu, pemerintah diminta terus melakukan sosialisasi terhadap target pemenuhan 35 ribu MW ini dan mengedukasi masyarakat tentang pentingnya hemat energi. Di sisi lain, agar tidak hanya sebatas mimpi, pemerintah juga diminta memperindah perizinan agar swasta bisa dengan mudah terlibat dalam pemenuhan target 35 ribu MW hingga 2019 mendatang. N-c85 ed: irwan kelana

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement