Jumat 19 Dec 2014 13:55 WIB

Jasa Layanan Keuangan Digital ala 'Bang Ali'

Red:

Sebutan "Bang Ali" menjadi punya makna lain bagi Ali Ahmad (35 tahun). Pebisnis bermacam usaha kecil-menengah ini sudah sekitar dua tahun berpraktik bagai "kasir bank" dan "ATM berjalan" khusus bagi warga di tempatnya berdomisili, Pulau Untung Jawa, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta.

Awalnya, di saat merintis usaha dengan jualan pulsa, ponsel, dan layanan pembayaran pelbagai tagihan secara online, pemilik kios Donal Sell dan sebuah warnet itu dengan jeli memanfaatkan situasi. Ali melihat, warga di pulaunya—yang belum terjangkau layanan perbankan dan tak mudah mengakses bank yang ada di daratan Jakarta—sangat membutuhkan fasilitas transaksi uang yang aman dan instan.

Kemudian Ali menyeberang ke Jakarta untuk membuka rekening di sejumlah bank. Dalam seluruh rekeningnya, ia memendam sejumlah saldo. Lalu ia mengaktifkan aplikasi layanan perbankan elektonik (e-banking), yaitu mobile dan internet banking.

Di tangannya, juga menyiapkan uang tunai dalam jumlah yang dianggapnya cukup untuk memenuhi transaksi uang tunai. "Bermodal itu semua, saya membuka jasa layanan transaksi perbankan dengan warga sini," tutur Ali kepada Republika, saat ia mendatangi gerai penukaran Kas Keliling BI di Taman Arya, dekat Pelabuhan Pulau Untung Jawa, akhir November lalu.

Dari tempatnya tinggal di pulau terpencil seberang utara daratan kota Jakarta itu, dengan mudah Ali dapat melayani kebutuhan transfer dan ambil uang tunai bagi warga setempat. Ini mirip program Layanan Keuangan Digital (LKD), sebagai lungsuran dari Gerakan Nasional Non-Tunai (GNNT), yang baru diluncurkan Bank Indonesia (BI) di Mal Mangga Dua, Jakarta, medio Agustus lalu.

LKD itu, bagi BI, untuk menjawab tantangan kemudahan dan ketersediaan layanan keuangan di seluruh wilayah Indonesia. Semula bernama branchless banking, kajian awal dan uji cobanya diluncurkan pada Mei 2013 oleh lima bank dan dua perusahaan telekomunikasi di lima provinsi (Jawa barat, Jawa Tengah, Jawa TImur, Bali, dan Sumatra Selatan). Pada akhirnya, hanya dua bank, Bak Mandiri dan BRI, yang direkomendasikan BI untuk menjalankan LKD.

Kas Keliling BI yang "blusukan" ke tujuh dari sebelas pulau berpenghuni di Kepulauan Seribu juga didampingi tim sosialisasi GNNT. Sosialisasi itu diharapkan dapat meningkatkan pemahaman dan mendongkrak layanan perbankan melaui agen bank nasional di daerah yang belum atau sulit terjangkau kantor bank secara fisik, termasuk ketiadaan ATM.

Tapi Ali seakan sudah mencuri start dan menang gesit karena sudah menjalankan pola LKD selama dua tahun lebih duluan. Yang membedakannya dengan LKD dari GNNT BI, ia bukanlah agen resmi yang ditunjuk bank tetapi hanya nasabah biasa yang memanfaatkan fasilitas digital atau e-banking untuk menjual jasa layanan transaksi bank atas nama rekening pribadinya.

"Kita memang terlambat (mengimplementasikannya) karena banyak hal (yang menjadi kendala), padahal sudah dirumuskan sejak 2009," ungkap Irma Yusharto H, analis di Departemen/Divisi Perizinan dan Informasi Sistem Pembayaran BI kepada Republika.

Ali menjelaskan, layanan perbankan mirip pola LKD yang dilakukannya. Misalkan, menurut dia, ketika ada nelayan warga Pulau Untung Jawa akan mendapatkan pembayaran hasil penjualan ikan dari bandar di daratan Jakarta, uangnya cukup ditransfer melalui rekening miliknya. Tinggal pilih, mau menggunakan akunnya di Bank Mandiri, BRI, BNI, Bank DKI, atau beberapa bank lainnya lagi.

Ketika mendapat kabar bahwa transfer sudah dilakukan, Ali akan mengecek dengan mengakses rekeningnya melalui ponsel atau internet. Jika uang terbukti sudah masuk ke rekeningnya, maka ia akan merogoh kocek dan menyerahkan uang tunai kepada orang yang dituju untuk mendapat transfer itu.

Sebaliknya, jika warga setempat ingin melakukan transfer uang, Ali siap juga melayani. Serahkan saja uang tunai kepadanya, lalu—dengan bekal saldo yang ada di rekening banknya—ia mainkan fasilitas e-banking. Wuzz! Dengan segera, fulus pun terkirim ke akun nasabah yang dituju.

Hal serupa juga bisa dilakukan warga yang ingin menyetorkan uang ke rekening tabungannya sendiri di bank. Warga malah dapat membayar tagihan listrik, telepon/ponsel, kredit kendaraan, atau pembelian tiket kereta api dan pesawat melalui jasa "LKD"-nya Bang Ali.

Pulau Untung Jawa juga menjadi salah satu objek tujuan wisata. Ketika wisatawan kehabisan uang tunai dan tidak terdapat ATM untuk mengambil uang, Bang Alilah yang dicari. Lewat fasilitas m-banking atau i-banking pula para wisatawan bisa numpang mentransfer uangnya, lalu—sebagai "ATM berjalan"—menjulurlah tangan Bang Ali memberikan uang tunai.

Di pulau berpenduduk hanya sekitar 2.000 jiwa ini, transaksi perbankan melalui jasa Ali Ahmad memang tak begitu banyak. "Rata-rata saya hanya melayani 60 transaksi per bulan. Saya mengenakan biaya Rp 20 ribu per transaksi, berapa pun nilai transaksinya," katanya, tanpa mau menyebut angka perputaraan uang melalui rekeningnya.

Kini ia mendambakan dapat memperoleh mesin gesek pembayaran nontunai atau electronic data capture (EDC) agar lebih mudah melayani dan bertambah pelanggannya. ''Sering kali ada wisatawan yang membawa kartu ATM atau kartu debit tapi tidak memiliki layanan e-banking untuk bisa transfer via handphone atau internet akhirnya tidak bisa saya layani. Untuk itu saya memerlukan EDC,'' kata Ali.

Pengajuan EDC ke bank tempatnya membuka rekening, menuntut syarat yang memberatkannya, seperti surat keterangan usaha (SKU) dan surat izin usaha perdagangan (SIUP). "Padahal, di Jakarta daratan, saya lihat kios kecil saja ada yang sudah menggunakan EDC. Konon itu didapat dari orang bank yang datang sendiri menawarkan. Mungkin untuk ke Kepulauan Seribu pihak bank malas datang. Padahal, di sini potensi transaksinya besar juga," kata Ali Ahmad.

Namun, pundi-pundinya bukan cuma itu. Selain yang sudah disebutkan di atas, bisnis pria berdarah Sunda ini juga mencakup penyewaan fasilitas wisata bahari seperti banana boat. Bahkan, meski bukan orang Padang, di Pulau Untung Jawa pun dia membuka warung nasi padang.

Ketika Republika mencicipinya saat makan siang, cita rasa masakannya tak kalah dengan nasi padang asli. Maka, jika untuk urusan transaksi perbankan dia akrab dipanggil "Bang Ali",  untuk masalah perut ini pun dia dipanggil "Uda Ali". "Hehe, itu bisa-bisanya orang saja memanggil saya," katanya terkekeh.

Irma mengakui, banyak sosok seperti Ali yang sudah lebih dulu menjalankan pola LKD dengan modal kepercayaan dari masyarakat. Malah, di sebuah pesantren di Kota Surabaya, Jawa Timur, yang lokasinya agak jauh dari kantor bank dan ATM, sudah ada yang direkrut bank sebagai agen.

"Mereka berpotensi menjadi agen resmi bank sehingga praktiknya dilindungi undang-undang dan nasabah lebih terjamin keamanan transaksinya, meskipun BI menetapkan biaya hanya Rp 5.000 per transaksi, " kata Irma.

Namun, BI menetapkan 24 syarat yang wajib dipenuhi seorang agen, di antaranya mengusai perangkat LKD, jauh dari kantor bank atau mesin ATM, sudah menjalankan sebuah usaha (dengan segala kelayakannya) dan menjadi penduduk setempat minimal dua tahun, dan menyetorkan sejumlah deposit. "Malah, untuk sekaligus menjadi penyalur Program Keluarga Harapan (PKH), domisilinya harus sudah lebih dari dua tahun," kata Irma.

Sepertinya Bang Ali bisa memenuhi semua syarat itu. Nah, tinggal kemauan serius dari pihak bank untuk  merekrut agen-agen potensial guna menjalankan LKD di Kepualuan Seribu. n rep: asep k nur zaman

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement