Kesadaran tingginya biaya pembangunan yang dibutuhkan dan sedikitnya pembiayaan yang tersedia, membuat Indonesia memang masih membutuhkan aliran modal asing. Pembangunan jadi bentuk investasi jangka panjang para investor luar negeri. Kepastian, keamanan, dan kestabilan jadi syarat utama datangnya dana.
Meski bukan faktor utama, adanya pemerintahan baru membawa angin segar bagi pelaku pasar, baik domestik maupun asing. Terlebih proses yang dilalui hingga akhirnya Joko Widodo dan Jusuf Kalla resmi ditetapkan sebagai presiden dan wakil presiden terpilih, dinilai masih terkendali. Tapi, lebih mendasar dari itu, potensi pasar modal Indonesia memang masih menjanjikan.
Optimisme yang beralasan
Dari survei yang dilakukan Bisnis Indonesia terhadap 200 responden di level top management yang dirilis Rabu (14/10), 63 persen dari mereka setuju demokrasi Indonesia sudah lebih matang. Sebanyak 58,6 persen mereka juga puas dengan proses pemilihan presiden yang sudah berjalan.
Dalam rilis survei itu pula pengamat ekonomi Faisal Basri mengatakan, kanalisasi ekspresi kedua kubu yang tersalurkan di media, tidak ada kekuatan bawah tanah dan tempuhan cara legal petinggi militer untuk berkuasa melalui cara legal partai politik selama tahun politik ini membuat kondisi Indonesia terkendali.
Terlebih, menjelang pelantikannya, pada Jumat (17/10) Jokowi akhirnya bersilaturahim dengan Prabowo (rivalnya dalam pilpres) dalam suasana akrab. Kondisi ini bisa jadi salah satu indikasi redanya ketegangan yang tercipta sepanjang proses pilpres.
Analis Asjaya Indosurya Sekuritas, William Suryawijaya, mengatakan, rangkaian kejadian pada tahun politik ini jadi sebagian saja faktor pendukung pergerakan indeks. Naik turun harga indeks saham belakangan inipun wajar.
''Di semua negara yang mengalami tahun perubahan politik, optimisme muncul dan indeks sahamnya membaik. Jadi, naiknya IHSG tidak hanya ditopang satu dua momen,'' kata William, Jumat (17/10).
Banyak pihak yakin, meski parlemen didominasi satu kubu tertentu, jika berkaitan dengan kesejahteraan rakyat Indonesia, banyak poin yang bisa dikompromikan. Selain itu, investor pun sudah pandai memisahkan faktor ekonomi dan politik yang berkaitan dengan iklim investasi.
Bursa Efek Indonesia bahkan mencatat sejak awal 2014 hingga September 2014, modal baru asing yang masuk ke pasar modal Indonesia sudah lebih dari Rp 45 triliun.
Dari data BEI, aliran dana investor asing menunjukkan tren meningkat dalam lima tahun terakhir sejak 2009, kecuali pada 2013. Pada 2013 investor asing menarik dananya dari pasar modal Indonesia hingga Rp 20,647 triliun karena pengaruh krisis global.
Pada 2012 investasi asing yang masuk mencapai Rp 15,9 triliun, 2011 sebanyak Rp 24,3 triliun, 2010 mencapai Rp 21,0 triliun, dan pada 2009 sebanyak Rp 13,3 triliun.
''Rp 45 triliun jadi rekor baru dan pembuktian optimisme terhadap Indonesia,'' kata Direktur Utama BEI Ito Warsito di sela-sela penyambutan kunjungan Entrepreneurs' Organization Indonesia (EOID) di BEI, Kamis (9/10).
Yang juga membuat pasar modal Indonesia masih dipandang positif adalah demographic devisa yang besar. Chief Investments Officer Eastspring Investments D. Ari Pitojo mengaku tak perlu ada yang dikhawatirkan selama kelas menengah Indonesia yang jumlahnya lebih dari sepertiga populasi masih memiliki daya beli.
''Indonesia masih bisa membuktikan dengan struktur demografinya yang masih didominasi kelompok muda produktif dengan daya beli yang baik, ekonomi Indonesia tetap tumbuh,'' ungkap Ari, Senin (13/10).
Dari sana bisnis berjalan dan modal berputar. Tak heran jika pertumbuhan pasar modal Indonesia masih lebih baik dibanding negara lain di regional.
BEI mencatat sejak Januari hingga Oktober 2014, pertumbuhan pasar modal Indonesia mencapai 17,66 persen dan berbeda tipis dengan Thailand 17,90 persen.
Pasar modal Cina tumbuh 10,64 persen. Filipina mencatat pertumbuhan hingga 18,90 dan Singapura tumbuh perlahan 0,01 persen.
Sementara pasar modal Malaysia, Hong Kong, Jepang, dan Korea Selatan menunjukkan arah pertumbuhan minus. Pasar modal Malaysia tumbuh -4,21, Hong Kong -1,22, Jepang -10,80, dan Korea Selatan -5,50 untuk periode Januari hingga Oktober 2014 ini.
Kondisi ekonomi global, terutama di kawasan regional, yang lesu sebenarnya juga membawa dampak lain bagi Indonesia. Investor dari Asia Timur tampaknya masih akan mengalirkan dananya ke Indonesia.
Bank of Japan (BOJ) yang final menetapkan target inflasi negeri sakura itu hingga dua persen akan membuat BOJ memacu likuiditas. ''Akan banyak uang mengambang yang mencari tujuan, Indonesia bisa jadi salah satunya,'' kata Global Strategist Eastspring Investments Singapore Robert Rountree, Senin (13/10).
''Indonesia bisa memperoleh efek positif tidak langsung dari kondisi Cina saat ini,'' kata Lead Economist Bank Dunia Ndiame Diop. Perlambatan ekonomi Cina juga bisa membuat distribusi investasi langsung dari Jepang dan Korea Selatan beralih ke emerging market lain di kawasan Asia, termasuk Indonesia.
Setumpuk harapan
Optimisme yang dipegang para pelaku pasar pada akhirnya memang bukan tanpa ekspektasi. Para pemodal juga berhadap ada perbaikan yang kelak makin memudahkan aliran dana guna menggerakkan berbagai sektor ekonomi bangsa ini.
Iklim investasi yang kondusif jelas menjadi perhatian. Salah satu cerminannya terlihat dari hasil survei Bisnis Indonesia yang menempatkan penegakan hukum, birokrasi, dan pemberantasan korupsi menjadi poin yang menurut para pelaku usaha dan pemodal penting untuk diproritaskan oleh Jokowi-JK.
''Jika itu bisa ditangani, Jokowi-JK sudah setengah jalan mengatasi persoalan pemerintah,'' ungkap pimpinan Bisnis Indonesia Konsultan Arif Budisusilo, Rabu (15/10).
Sementara faktor makroekonomi berupa infrastruktur yang mendukung dan pengurangan subsidi BBM juga dipandang penting untuk diselesaikan dalam jangka pendek.
Defisit APBN yang lebih dari tiga persen karena beban subsidi BBM, kata akademisi UGM Tony Prasetiantono, membuat pertumbuhan ekonomi stagnan dan APBN Indonesia dinilai tidak kredibel. Selama inipun, subsidi BBM lebih banyak dinikmati golongan mampu.
Untuk jangka panjang, penguatan UMKM dan pembenahan mutu SDM menjadi modal penguatan industri nasional. Terlebih industri kreatif yang jadi unggulan pada dasarnya didukung 16 bidang industri lain yang umumnya adalah UMKM.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Franky Sibarani, Senin (13/10) mengatakan, penempatan anggaran UMKM yang besarnya mencapai Rp 26 triliun tersebar di 22 kementerian. Bagi industri besar, dana bisa jadi bukan persoalan utama. Tapi, tidak demikian halnya bagi UMKM. Sehingga, efektivitas anggaran untuk menguatkan UMKM sangat dibutuhkan.
Peningkatan kecepatan industri juga belum diimbangi kualitas sumber daya manusia (SDM)-nya. Misalnya industri kimia yang SDM-nya masih bertumpu pada sekolah-sekolah yang berada di bawah binaan Kementerian Perindustrian. rep: fuji pratiwi ed: irwan kelana