Rabu 01 Oct 2014 19:00 WIB

Ditantang Garap Produk Korporasi

Red: operator

Pengamat ekonomi syariah Adiwarman Karim mengakui, perbankan syariah Indonesia selama ini sudah sangat menguasai segmentasi ritel, mulai dari motor, rumah, hingga bisnis. Pangsa pasar perbankan syariah Indonesia untuk membeli kebutuhan dasar masyarakat seperti mobil, motor, rumah, hingga bisnis untuk menyewa ruko dan alat berat truk. "Kedalaman ragam produk yang dibutuhkan Indonesia sifatnya untuk ritel," ujarnya, Sabtu (13/9).

Sedangkan perbankan syariah di Malaysia, dia melanjutkan, sifatnya adalah corporate banking. Artinya, target dan nasabahnya adalah perusahaan besar. Meski terintegrasinya bank baru dilakukan pada 2020, ia berharap perbankan syariah tidak hanya ahli di sektor ritel, melainkan bisa mengerjakan sektor korporasi dan komersial.

 

 

 

 

 

 

 

 

Foto:Musiron/Republika

Namun, kata dia, aset perbankan syariah Indonesia mengalami kendala yaitu jumlahnya yang lebih sedikit ketika dibandingkan aset perbankan syariah di Malaysia. "Aset terbesar milik salah satu bank syariah Indonesia saja masih di kisaran Rp 60 triliun. Sehingga, ini jadi tantangan perbankan syariah Indonesia untuk bisa masuk sektor korporasi," katanya.

Selain itu, tantangan kedua yaitu mempertahankan keunggulan perbankan syariah Indonesia yaitu di produk ritel. Caranya yaitu menjalin kerja sama dengan lembaga keuangan shadow banking formal seperti pegadaian, multifinance, hingga perusahaan kartu provider SIM card yang telah menggarap produk e-money.

Untuk shadow banking informal seperti Baitul Maal wat Tanwiil (BMT), koperasi.  "Kalau perbankan syariah Indonesia tidak melakukan kerja sama sindikasi, kerja sama jaringan, dan menggandeng shadow banking maka bank asing yang akan melakukan kerja sama tersebut," katanya.

Sementara tantangan ketiga yaitu menyediakan produk genuine yang menjadi ciri khas Indonesia. Selain upaya dari perbankan syariah, ia menekankan bahwa dibutuhkan peran pemerintah yaitu dalam arti kebijakan perbankan syariah yang ditetapkan pemangku kepentingan seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI).

Peran pemerintah, diakuinya sangat penting. Sebab, yang membuat pihaknya khawatir produk luar negeri yang sudah eksis tetapi belum ada di Indonesia akan ditiru.

Dia mencontohkan, investment banking di Timur Tengah (Timteng) dan Malaysia yang dijual di pasar ritel salah satunya komoditas  murabahah (tawarruk) yang dikhawatirkan masuk pasar Indonesia. Diakuinya, tekanan supaya murabahah dan tawaruk untuk masuk dan diizinkan di Indonesia sangat kuat selama lima tahun terakhir. "Padahal, produk tawarruk tidak memberikan manfaat nyata untuk perekonomian," ujarnya.

Karena tawarruk masuk di Bursa Komoditas  London dan Malaysia, ia mewanti-wanti jangan sampai uang komoditas  tawarruk dibawa dan ditaruh di produk luar negeri. Jika hal itu terjadi, uang yang harusnya dari rakyat Indonesia untuk pembiayaan bangsa akan ditarik di luar negeri. "Tentu ini juga bertentangan dengan perbankan syariah yang memberikan manfaat sebesar-besarnya untuk ritel," katanya.

Untuk itu, kata Adiwarman, selagi masih ada waktu hingga tahun 2020 mendatang, pemerintah selaku yang memiliki wewenang terhadap produk perbankan syariah diharapkan bisa menolak produk yang tidak bermanfaat buat rakyat Indonesia.

Kepala Jurusan (Kajur) Syariah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Samarinda, Kalimantan Timur, Bambang Iswanto mengatakan, tahun 2015 sudah semakin dekat dan  tahun itu nantinya jadi momentum masyarakat ASEAN melakukan liberalisasi pasar. Namun, ia menilai kesiapan Indonesia ketika menghadapi MEA 2015 dilihat dari indeks ternyata berada di peringkat tujuh di antara negara-negara anggota ASEAN.

Singapura, kata dia,  bisa meraih posisi pertama. "Sehingga, ada anggapan bahwa Indonesia belum siap menghadapi pasar bebas," katanya saat pembukaan kuliah umum STAIN Samarinda dengan tema 'Revitalisasi perbankan syariah menghadapi pasar bebas', Kamis (4/9).

Meski demikian, pihaknya menilai, masih ada bidang di Indonesia yang siap menghadapi pasar bebas. Bidang itu adalah ekonomi syariah.

Salah satu ikon keuangan syariah Indonesia adalah perbankan syariah. Menurut Bambang, perbankan syariah sudah teruji pada saat krisis ekonomi melanda Indonesia tahun 1998 dan 2008 lalu. Saat itu, perbankan syariah terbukti tetap sehat meski dilanda krisis. "Tetapi, bank syariah tetap membutuhkan revitalisasi menghadapi pasar bebas," katanya.

rep:rr laeny sulistyawati  ed: irwan kelana

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement