Senin 18 Aug 2014 19:00 WIB

Nasib Petani Tebu tak Semanis Gula

Red: operator

Musim giling tebu kali ini mungkin jadi yang terberat buat Yanu. Pasalnya, harga jual batang tebunya terjun bebas hingga menjadi separuh biasanya. Yanu yang merupakan petani tebu di Kecamatan Ngancar, Kediri, Jawa Timur, ini mengusahakan tebu di lahan seluas 2,6 hektare.

Biasanya harga beli tebunya di PG Ngadirejo dan PG Santren mencapai Rp 50 ribu per kuintal. Namun, musim ini harganya merosot menjadi Rp 30 ribu per kuintal. Itu pun masih dikurangi ongkos tebang angkut Rp 8.000. Praktis ia hanya mendapat Rp 22 ribu untuk tiap kuintal tebu. "Tahun ini semua petani tebu Indonesia menangis," kata Yanu.

Biasanya dari lahan seluas dua hektare saja, Yanu sudah memperoleh penerimaan hingga Rp 80 juta. Kini, dari total 2,6 hektare, ia hanya mengantongi Rp 45 juta. Jika dikurangi biaya-biaya selama proses budi daya, margin keuntungannya sangat tipis. Selain membeli sarana produksi pertanian, Yanu juga mengupah 13 orang tenaga kerja untuk menggarap lahannya. "Keuntungan tak sampai lima juta," ujarnya.

 

 

 

 

 

 

 

 

Foto:Oky Lukmansyah/ANTARAFOTO

Sejumlah pekerja memotong tebu pada panenan di perkebunan tebu di Desa Lebaksiu, Tegal, Jateng, Sabtu (25/5).

 

Selama 15 tahun bertani tebu, periode ini jadi masa yang suram bagi Yanu. Merembesnya gula impor menyebabkan gula lokal tak laku karena persaingan harga. Akibatnya, harga tebu petani yang jadi korban.

Nasib serupa juga dialami Ristono, petani tebu di Kecamatan Ulujami, Pemalang. Tiga tahun lalu, ia memutuskan menanam tebu karena tergiur tingginya harga jual tebu. Namun, kian hari harga tebu kian melandai. Dengan rendemen enam persen, batang-batang tebunya hanya dihargai Rp 21 ribu oleh PG Sumberharjo.

Pada 2013, rendemen tebunya bisa lebih tinggi yaitu 6,7-6,8 persen. Rendahnya rendemen, lanjut Ristono, disebabkan turunnya hujan sehingga mengurangi kandungan nira dalam batang tebu.

Dalam membudidayakan tebu, Ristono menyewa 23 hektare lahan dengan biaya Rp 12 juta per hektare. Ia dan para petani tebu di wilayah tersebut bekerja sama dengan PG yang telah menyiapkan dana pinjaman sebesar Rp 5 juta per hektare. Usai musim giling, mereka mengembalikan pinjaman kepada PG dengan bunga sepuluh persen. Di samping itu, PG juga menyiapkan jatah pupuk sebanyak satu ton per petani.

Meski di wilayahnya harga beli gula telah naik menjadi Rp 850 ribu per kuintal, ia tetap harus menanggung kerugian yang tak sedikit. "Kalau dihitung, satu hektare minus Rp 3 juta karena ada biaya sewa dan pengolahan ditambah biaya tebang angkut Rp 9.500 per kuintal," terang Ristono Rabu (13/8).

Ketua Kelompok Tani Nelayan Andalan (KTNA) Winarno Tohir menilai, revitalisasi PG oleh pemerintah belum maksimal. Ia menyarankan pentingnya dilakukan mekanisasi untuk menaikkan nilai rendemen.

Winarno mencontohkan, di Brasil, penanganan tebu hasil panen dilakukan dengan cepat sehingga rendemennya tinggi. Sebaliknya, di Indonesia, ketersediaan angkutan belum memadai sehingga perjalanan batang tebu dari lahan ke PG makan waktu lama. "Belum lagi, di PG masih antre menunggu digiling sehingga kehilangan rendemen makin tinggi," pungkas dia. rep:c88 ed: irwan kelana

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement