Ahad 29 Nov 2015 13:00 WIB

Lathaif Al-Minan Mengenal Konsepsi Wali dan Kewalian

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID,Lathaif Al-Minan Mengenal Konsepsi Wali dan Kewalian

Oleh Nashih Nashrullah 

Kitab ini didedikasikan untuk sang guru. 

Satu lagi karya Ibnu Athaillah as-Sakan dari. Selain magnum opusnya yang monumental, Al-Hikam, murid tokoh sufi kenamaan Syihabuddin Abu al-Abbas bin Umar al-Anshari al-Mursi itu menulis sederet kitab, antara lain At-Tanwir fi Isqath at- Tadbir, Taj al-Arus, Miftah al-Falah, dan Al-Qaul al-Mujarrad fi Ism al-Mufrad. 

Salah satu kitab Ibnu Athaillah adalah Lathaif al-Minan. Mencermati gaya penulisan dan kualitas hasil karya Ibnu Atha, termasuk kitab Lathaif, maka akan didapati sebuah kesimpulan bahwa cara penyajian, bahasa yang digunakan, dan kecermatan penulis menyampaikan materi layak mendapat apresiasi.

Karya-karya Ibnu Atha mendapat tempat di hati para pegiat tasawuf dan cendekiawan Muslim. Sebut saja pendiri tarekat sufi As-Syadziliyah, Abu al- Hasan as-Syadzili. Ia mengatakan, apabila kitab Ihya Ulumuddin memberikan faedah dari sisi ilmu, kitab Quttu al-Qulub karya Abu Thalib al- Makki mencurahkan cahaya, maka kitab-kitab Ibnu Athaillah juga demikian. 

Dalam kitab ini, Ibnu Athaillah banyak mengungkapkan hal ihwal berkenaan dengan dunia tasawuf. Dalam pemikirannnya, kedudukan wali di sisi Allah jika dibandingkan dengan kalangan awam sangatlah tinggi. Posisi itu telah dipertegas oleh berbagai teks, baik yang termaktub dalam Aquran maupun hadis. Salah satu hadis yang menguatkan tempat mulia wali di hadapan Allah ialah riwayat yang dinukil oleh Abu Hurairah. Disebutkan di hadis itu bahwa barang siapa yang memusuhi wali Allah, ia telah menyulut perang.

Kedekatan wali dengan Allah pun dipersonifikasikan dengan pengibaratan bahwa segala pembicaraan, pendengaran, dan penglihatan wali bersumber dan selalu diawasi oleh Allah. Derajat yang diperoleh wali itu merupakan buah dari mujahadah yang mereka lakukan. 

Para wali mampu menaklukkan jiwa dan nafsu mereka semata-mata untuk Allah. Atas keberhasilan itu, Allah menjadi penolong dan penjaga bagi mereka. 

Hal itu sebagaimana disebutkan dalam ayat berikut: 

\"Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)-nya,\" (QS ath-Thalaq [65]: 3). 

Al-Mursi mengatakan, keterkaitan wali dengan Allah seperti anak singa dan induknya. 

Singa betina akan melindungi anaknya dari berbagai hal yang membahayakan, seperti ancaman dari binatang buas lainnya. Namun, hukuman bagi mereka yang memusuhi para wali Allah tidak harus datang seketika itu juga. Bisa jadi sanksi tersebut muncul di kemudian hari tanpa ia sadari.

Ibnu Athaillah membagi konsep kewalian ke dalam dua kategori utama. Golongan wali yang pertama ialah mereka yang memberi pertolongan kepada Allah dan rasul-Nya, waliyyun yatawallah. Kategori ini merujuk pada ayat ke-56 dari surah al-Maidah. \"Dan barang siapa mengambil Allah, rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang.\" 

Menurut Abu al-Hasan as-Syadzili, anugerah Allah yang paling berharga bagi hamba-Nya ialah ridha terhadap ketentuan, sabar di saat cobaan mendera, tawakal kepada Allah kala kesulitan, dan bertobat kembali kepada-Nya. Bila keempat hal ini bisa terintegrasi di dalam diri seseorang melalui jalur mujahadah dengan tetap mengikuti sunah dan para imam, maka kewaliannya bisa dibenarkan.

Sedangkan, apabila jika anugerah itu muncul dari pemberian yang berasal dari kecintaan Allah terhadapnya, sempurnalah kewaliannya. Sebagaimana disebut dalam Alquran, \"Sesungguhnya pelindungku ialah yang telah menurunkan al-Kitab (Alquran), dan Dia melindungi orang-orang yang saleh,\" (QS al-A\'raf [7]: 196). 

Kategori yang terakhir ini merupakan tingkatan kewalian yang kedua, waliyyun yatawallahullah. 

Menurut Ibnu Athaillah, kedua derajat kewalian itu tidak bisa disamakan. Konsepsi yang pertama lebih menekankan pada hasil mujahadah dan komitmen seseorang terhadap agama. Karena itu, kategori ini lebih tepat disebut dengan kewalian mikro, wilayat assughra. 

Konsep yang kedua menitikberatkan pada rasa cinta dan perhatian yang diberikan oleh Allah untuk hamba-Nya yang terpilih. Kategori ini tidak dimiliki oleh sembarang orang, karena itu kerap diistilahkan dengan wilayat al-kubra/ 

Menurut dia, klasifikasi ini cukup berdasar mengingat kata shalihin yang dimaksud di ayat ke-196 surah al-A\'raf bukan sekadar kesalehan yang dimiliki kebanyakan awam, akan tetapi makna yang dikehendaki lebih mendekati makna kefanaan dan kecintaan Allah dan hamba sebagaimana yang diteladankan oleh para rasul-Nya. Definisi ini sesuai dengan doa yang dipanjatkan oleh Nabi Yusuf AS untuk dipertemukan dengan orang-orang saleh. 

Arti kata saleh dalam doanya itu ialah para rasul- rasul-Nya.

Manusia terbaik Dalam uraiannya di kitab Lathaif ini, Ibnu Athaillah tidak secara langsung memasuki tujuan dan maksudnya tersebut, akan tetapi yang ia lakukan terlebih dahulu dalam mukadimah kitabnya ialah memaparkan tentang konsep kewalian berikut legalitasnya dalam Islam. 

Poin yang ia tekankan pertama kali ialah kenyataan bahwa Rasulullah Muhammad adalah manusia terbaik. Penekanan ini merupakan sebuah isyarat sederhana yang hendak ditampilkan oleh Ibnu Athaillah bahwa konsepsi wali tak lain ialah estafet dari misi penyebaran risalah yang dibawa oleh Rasulullah.

Pada pembahasan selanjutnya, ia menjelaskan tentang hal ihwal mengenai konsep kewalian al- wilayat dalam Islam. Di bagian berikutnya, secara khusus ia memaparkan tujuan penulisannya itu, yaitu dokumentasi tentang al-Mursi, yang meliputi biografi singkat, karomah yang dimiliki, serta pengakuan-pengakuan tokoh yang hidup di masa al- Mursi. Hal paling utama ialah mendokumentasikan pemikiran-pemikirannya di bidang tasawuf. 

Kebencian Menjelma Menjadi Cinta dan Pengabdian

Oleh Nashih Nashrullah 

\"Saya termasuk penentang dan lawannya,\" begitulah pernyataan tegas dan sikap yang pertama kali ditunjukkan oleh seorang sufi terkemuka di abad ketujuh Hijriyah, Ibnu Athaillah as-Sakandari (709 H), terhadap figur sufi tersohor pada masanya, yaitu Syihabuddin Abu al-Abbas bin Umar al-Anshari al-Mursi. 

Awalnya, tokoh sufi kelahiran Alexandria, Mesir, 648 H, ini tidak menyangka jika orang yang dibencinya itu kelak justru menjadi guru paling agung dan ia elu-elukan. Kisah terjalinnya hubungan guru dan murid itu berawal tatkala perdebatan sengit berlangsung antara Ibnu Athaillah dan berapa teman al-Mursi. 

Ibnu Athaillah pun terdorong untuk mengetahui dan berkenalan langsung dengan tokoh tersebut. Ia berkeyakinan, orang-orang yang dekat dengan kebenaran bisa ditangkap oleh indra dan tidak bisa ditutup-tutupi.

Ketika ia bertandang ke tempat al-Mursi, ia mendapatinya sedang menjelaskan kepada para muridnya tentang derajat para salik yang secara umum terbagi atas tiga bagian, yaitu islam (berserah diri), iman (percaya), dan ihsan (berbuat baik). 

Singkat kata, uraian al-Mursi membuat decak kagum Ibnu Athaillah. Ia pun memutuskan bersilaturahim dan bertatap muka. Tak disangka, al-Mursi menyambutnya dengan penuh kehangatan, sikap yang kontan meluluhlantakkan prasangka dan sikapnya selama ini. 

Sejak itulah ia memutuskan berguru dan mengabdi kepada sang maestro. Dedikasinya itu tergambar jelas dalam sebuah kitab yang ia tulis dan bertajuk Lathaif al-Mannan. 

Penulis kitab Al-Hikam itu mengisahkan latar belakang dan tujuan penulisan Lathaif. Kitab yang ia tulis itu secara khusus untuk mengungkapkan asal-usul, keistimewaan, kedudukannya di kalangan para sufi, serta kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh sang guru yang menjadi rujukan kalangan ahli makrifat dan mursyid para salik, yaitu Syihabuddin Abu al-Abbas bin Umar al-Anshari al-Mursi. Kupasannya mencakup pendapat- pendapat tasawuf, ungkapan-ungkapan hikmah, dan berbagai hal penting yang berkenaan dengan aktivitas dan kesimpulan al-Mursi terhadap tasawuf.

Menurut Ibnu Athaillah, upayanya tersebut ditempuh untuk mendokumentasikan pandangan-pandangan al-Mursi di bidang tasawuf. Pasalnya, selama ini sang guru belum pernah mengabadikan karyanya tersebut di sebuah buku. Beberapa peninggalannya ditulis oleh para muridnya. 

Ibnu Athaillah mengatakan, keputusan gurunya tidak menuliskan karyanya didasari fakta bahwa ilmu tasawuf berkaitan dengan olahrasa yang sulit diungkapkan dan dicerna oleh kebanyakan khalayak. Pendokumentasian dikhawatirkan akan menimbulkan salah pemahaman.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement