Jumat 14 Aug 2015 16:00 WIB

Modifikasi Dana Aspirasi

Red:

Dana aspirasi kembali hangat dibahas belakangan ini. Dana aspirasi dengan nama generik Dana Usulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan (UP2DP) sebenarnya telah berulang kali dilontarkan selama hampir satu dekade terakhir.

Pada 2010 lalu, adalah Partai Golkar yang mengusung proposal dana aspirasi di mana saat itu disinyalir sebagai dana pork-barrel dan mendapatkan penolakan luas tidak hanya dari publik melainkan juga dari partai lain. Melihat gejala demikian, Partai Golkar kemudian mengusulkan skema lain yang disebut Dana Bantuan Desa sebesar Rp 1 miliar per desa yang kemudian diadopsi pada Undang-Undang tentang Desa. Dana aspirasi sendiri baru disetujui pada sidang paripurna DPR periode 2014-2019.

Di luar hiruk-pikuk perdebatan tentang dana aspirasi, sebenarnya ada sinyalemen yang luput dari diskursus publik tentang dana aspirasi. Perdebatan terhadap keinginan wakil rakyat menggulirkan dana aspirasi menunjukkan keterikatan legislator terhadap konstituennya untuk memperkuat tali-mandat (representasi) yang selama ini dipandang telah terputus pascaterpilihnya caleg.

Hal kedua adalah adanya ketergantungan wakil rakyat terhadap dana publik atau anggaran negara untuk membiayai aktivitas politik mereka membuka peluang untuk mendorong keterbukaan dan pertanggungjawaban legislator terhadap pengunaan dana publik. Poin ketiga dana aspirasi ini berpotensi memfasilitasi kepentingan kolektif warga dalam kemasan kebijakan programatic daripada sekadar prok-barrel yang bersifat patronase.

Penulis berpandangan terdapat peluang untuk modifikasi dana aspirasi agar demokratisasi dapat memperkuat representasi legislator, penguatan konstituen, dan juga memperkuat partai politik.

Penggunaan dana publik untuk kepentingan politik (juga pribadi) di Indonesia telah berlangsung lama. Masa rezim Orde Baru dikenal istilah Banpres (Bantuan Presiden), yakni program "percepatan" pembangunan atas inisiatif presiden, seperti pembangunan/renovasi gedung sekolah, pembagian sapi atau traktor, hingga beasiswa.

Selain itu, ada dana nonbujeter sering digunakan untuk keperluan "taktis" sehingga penggunaannya sangat fleksibel dan pengelolaannya di luar mekanisme pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan formal. Saat ini, dana publik dikemas dan dikenal dengan nama dana bantuan sosial (bansos), dana hibah, dan dana bantuan keuangan.

Alokasi dana-dana ini cenderung meningkat mendekati waktu pemilihan dan dikamuflase menjadi program populis dengan kedok pengentasan kemiskinan, perbaikan layanan publik, pembangunan infrastruktur perdesaan, pemberian beasiswa atau bantuan pupuk atau bibit, hingga pembagian hewan ternak.

Praktik serupa juga dilakoni di negara lain, seperti Meksiko, ada program Pronasol untuk memobilisasi dukungan suara pada distrik/daerah pemilihan di mana kompetisi antarkandidat dari partai berkuasa dan oposisi berlangsung ketat (Magaloni, 2006). Di Brasil, para anggota legislatif (deputies) giat mendistribusikan pork barrel-nya sebagai instrumen memberikan proyek pada pengusaha kroni (Samuels 2002). Di Filipina, pemanfaatan dana infrasturktur daerah (setara dana UP2DP) ditujukan untuk meraup dukungan suara konstituen (credit claiming).

Terkait pemanfaatan dana ini, sebagian pendapat memprediksi kandidat petahanalah yang akan diuntungkan. Kenyataannya, politikus umumnya pusing memastikan "ketaatan" pemilih walau telah diberikan beragam bantuan. Bagaimana pandangan pemilih dalam mengartikan "pemberian" dari politikus?

Beberapa penelitian mengilustrasikan pandangan pemilih terhadap pemberian. Pertama, kesempatan "mengambil kembali" (reparation) dana/anggaran yang dikorupsi politikus (Banegas, 1998: 78-79) atau untuk mendapatkan sesuatu dari pejabat (Kerkvliet, 1991: 231). Kedua, momen transaksi adalah kesempatan bagi pemilih (warga biasa) untuk mentransformasi relasi hierarkis hegemonik menjadi suatu hubungan yang relatif setara.

Ketiga, sebagian pemilih merasa pemberian itu tak dapat ditolak (karena diberikan oleh tokoh masyarakat) atau pemberian dilakukan dengan intimidasi. Keempat, sebagai sinyal "kedermawanan" atau "kekuatan" finansial seorang kandidat.

Kelima, pemilih lain merasa pemberian adalah penghinaan atau merendahkan martabat pemilih (Schafer dan Schedler, 2007). Belum lagi sikap oportunis dari perantara (broker) politik yang sulit dipegang 'ekornya' (Aspinall, 2014). Umumnya, politikus atau tim pemenangan sulit memprediksi perilaku pemilih akibat tingginya kompetisi disertai minimnya instrumen monitoring (pilihan pemilih) kontrol. Jika pun dana aspirasi digelontorkan, sulit memastikan pemilih menaati 'kesepakatan' sehingga tiada jaminan dukungan suara diberikan.

Di tengah kualitas demokrasi yang memburuk, relasi principal-agent (antarpemilih dan politikus) umumnya dianggap semu, abstrak, bahkan tidak sejalan dengan demokrasi (Soeseno, 2013). Para wakil rakyat acap diyakini menjalankan kepentingan kelompoknya sendiri dan karenanya terputusnya tali-mandat.

Berkaca dari Pileg 2014, baik jenjang DPR hingga DPRD, tingkat turn-out (pergantian) anggota legislatif ternyata cukup tinggi berkisar 50 persen. Ini artinya satu dari dua anggota legislatif periode 2009-2014 kehilangan kursinya. Ini menandakan dinamika relasi antara politikus dan konstituen (termasuk perantara) yang kompleks.

Berbeda dengan pandangan yang melihat representasi sebagai sesuatu yang abstrak, penulis berpandangan representasi adalah sesuatu yang riil dan politikus tidak selalu dalam posisi superior dibandingkan pemilih seperti pandangan kebanyakan pengamat. Wakil rakyat menjadi terikat dengan konstituen dan kerap dihinggapi kekhawatiran kehilangan dukungan dari konstituennya sehingga gigih memperjuangkan dana aspirasi sebagai upaya 'membawa sesuatu' ke dapil agar tidak ditinggalkan pemilih pada pemilu mendatang.

Depedensi pada negara

Pengucuran dana sebesar Rp 20 miliar per dapil per tahun bagi sebagian kalangan adalah pemborosan atau mendistorsi alokasi sumber daya anggaran negara yang terbatas untuk sesuatu yang belum jelas efektivitasnya. Jika kita melihatnya dari sudut pandang lain, fenomena ini sejatinya menunjukkan ketergantungan politikus pada sumber daya negara untuk mempertahankan jabatan politik mereka.

Posisi para politikus tidaklah otonom dan berjarak dari negara karena bisa dikatakan keberlangsungan karier politik mereka juga ditentukan oleh (anggaran) negara, terlepas dari segelintir politikus kaya yang mungkin terlalu perhitungan dalam menggunakan dana dari koceknya sendiri.

Dibandingkan dengan para politikus dari negara demokrasi mapan, politikus kita belumlah mandiri (sama seperti pengusaha yang kerap menganggap dirinya sebagai infant industrialist) dari ketergantungan pada negara. Hal ini disebabkan, di antaranya oleh keterbatasan pendanaan politik yang berasal dari iuran anggota parpol. Pun, jika dibandingkan dengan para politikus negeri tetangga, Filipina, yang relatif mapan dengan penguasaan properti dan industri sehingga mereka lebih leluasa bermanuver tanpa ketergantungan akut pada negara. Aspek positif dari ketergantungan ini adalah para politikus di Tanah Air memiliki keterbatasan dalam mendikte negara, seperti pandangan Hellman (2000) dengan kerangka state capture-nya.

Ketergantungan akan dana negara membuka kesempatan lebih luas untuk mengontrol aktivitas politikus. Karena sumber dana berasal dari anggaran negara, perangkat monitoring dan audit anggaran dapat diterapkan untuk menghindari praktik mark-up, proyek siluman, penggelapan, hingga penyunatan anggaran yang kerap terjadi pada penggunaan dana bansos atau dana hibah.

Alokasi dari dana aspirasi dapat diverifikasi dan ditinjau peruntukannya apakah memang untuk kepentingan kelompok warga secara luas di dapil atau digelontorkan pada kelompok tertentu sehingga penggunaan dana menjadi targetted dan diskriminatif. Karenanya, penggunaan dana aspirasi dapat diukur efektivitas dan apakah menjadi instrumen pemerataan seperti yang diklaim.

Realitas di atas perlu menjadi pertimbangan untuk memodifikasi dana aspirasi guna penguatan partai politik dan relasi politikus-konstituen ketimbang hanya untuk kepentingan segelintir politikus berkuasa (petahana). Usulan modifikasi adalah dengan menglokasikan dana aspirasi (dari anggota DPR hingga DPRD kabupaten/kota) dikelola oleh pengurus parpol di tingkat kabupaten/kota.

Dengan demikian, struktur partai hingga unit terendah dapat menjalankan roda aktivitas dan dana ini tidak akan menimbulkan kecemburuan di antara sesama kader partai sehingga dapat meningkatkan soliditas partai. Partai, mulai dari pengurus tingkat pusat hingga setidaknya pengurus tingkat kabupaten/kota, dapat mengintegrasikan dan menyinergikan kebijakan dan program.

Hal ini bisa memperkuat link antara partai dan konstituen, serta menegaskan party identification pemilih. Harapannya terjadi pergeseran representasi politik dari relasi patronase menjadi hubungan berlandaskan programatik (kebijakan) antara partai/politikus dan konstituen.

Pengalaman manipulasi dana hibah maupun dana bansos dapat diminimalkan dengan model dana konstituen yang dikelola parpol. Dengan demikian, penanggung jawab pengelolaan dana menjadi jelas sehingga audit dan pengukuran efektivitas penyaluran pun dapat dilakukan. Modifikasi ini menjadi alternatif yang layak dipertimbangkan. Jangan sampai penyimpangan penggunaan dana bansos/hibah berulang dan berujung "senjata makan tuan". n

Luky Djani

Peneliti Institute for Strategic Initiatives

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement