Sabtu 14 Jan 2017 17:00 WIB

Menggugat Ekspor Mineral Mentah

Red:

Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) dan Permen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang berisi pembukaan kembali ekspor mineral, yakni konsentrat tembaga. Keputusan yang sudah direstui Presiden Joko Widodo ini menimbulkan reaksi luas dari publik.

Pertimbangan pemerintah yang membuka kembali ekspor konsentrat tembaga bertujuan untuk kesempatan kerja di sektor pertambangan serta untuk peningkatan pendapatan negara. Ini merupakan paradoks dan bisa mencederai implementasi UU Minerba.

Timbul persepsi publik bahwa pemerintah terlalu memanjakan perusahaan asing, seperti PT Freeport Indonesia dan PT Newmont Nusa Tenggara. Keputusan pembukaan kembali ekspor konsentrat juga mendapat gugatan dari Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I). Asosiasi mengingatkan Presiden bahwa kebijakan di atas bisa melanggar UU Minerba.

Selama ini ada kegalauan dari pemerintah bila pihak Freeport mengajukan ke pengadilan arbitrase jika ekspor disetop. Mestinya pemerintah tidak perlu takut dan tetap konsisten menghentikan ekspor sebelum pihak usaha pertambangan membangun smelter.

Konsistensi kebijakan hilirisasi mineral yang bebasis UU Minerba merupakan keniscayaan bagi bangsa Indonesia. Di mana dalam UU tersebut sudah jelas agar seluruh pengolahan mineral dilakukan di dalam negeri. Hal tersebut terkandung dalam UU Minerba Pasal 102, Pasal 103, dan Pasal 170. Selama ini pemerintah pusat dan daerah sangat tergiur untuk mendapatkan penerimaan dari ekspor bahan mentah mineral.

Misalnya dari Provinsi NTB yang merupakan basis Newmont. Yang mana telah mengekspor konsentrat tembaga terbanyak dikirim ke Jepang dan mengambil pangsa sebesar 54,10 persen dengan volume 319.811 ton atau senilai 617,863 juta dolar AS. Sedangkan konsentrat tembaga yang masuk ke Filipina, memiliki pangsa sebesar 21,31persen dengan volume 116.509 ton atau setara dengan 243,310 juta dolar AS.

Korea Selatan juga turut andil dalam penyerapan konsentrat tembaga asal NTB dengan pangsa pasar 14,44 persen atau 88.792 ton. Jumlah tersebut senilai dengan 164,866 juta  dolar AS. India dan Tiongkok juga mengimpor konsentrat tembaga NTB masing-masing 34.017 ton dan 21.978 ton atau senilai 75,969 juta dolar AS dan 39,305 juta dolar AS.

Mestinya para pemimpin negeri ini lebih cerdas dan arif dalam mengelola sumber daya alam (SDA) titipan generasi mendatang. Sebagian besar negara sudah menerapkan ekspor dengan nilai tambah yang tinggi, tidak hanya murni konsentrat. Salah satunya adalah Tiongkok yang menjaga SDA miliknya sedemikian ketat dan hati-hati. Tiongkok lebih memilih membeli bauksit dan nikel dari Indonesia padahal negara itu juga punya tambang itu.

Di lain pihak, Indonesia terlalu asyik menjual bahan mentah yang kurang bernilai tambah. Belum ada totalitas untuk melakukan hilirisasi mineral yang bisa memperluas lapangan kerja. Mestinya pemerintah bersikap tegas menghadapi Freeport, yang selama ini telah mengeruk kekayaan alam Indonesia dengan keeuntungan yang luar biasa besarnya.

Sebagai perbandingan dengan negara-negara yang mengandalkan sumber daya alam, seperti United Arab Emirates (UAE) dan Australia, dalam melakukan rencana strategis jangka panjang selalu mengutamakan manfaat keseluruhan terhadap ekonomi domestik.

Eksploitasi sumber daya alam harus diikuti dengan pembangunan rantai nilai yang lain, seperti smelter dan sektor hilir atau penunjang lainnya, sehingga dapat memaksimalkan manfaat ekonomi secara jangka panjang.  Mereka sadar bahwa sumber daya alam tersebut tidak bisa selamanya memberikan manfaat ekonomi.

Persyaratan terkait pembangunan smelter harusnya dipenuhi meskipun permintaan Freeport tentang perpanjangan kontrak hingga tahun 2041 belum tentu disetujui. Jika smelter telah dibangun sebaiknya pengelolaan Freeport cukup hingga 2021 saja, setelah itu diambil alih oleh Pemerintah RI. Ada baiknya kita menengok perpanjangan izin ekspor konsentrat Freeport yang hingga kini sudah terjadi selama lima kali.

Tak pelak lagi perpanjangan izin ekspor menjadi modus untuk meningkatkan produksi dan penjualan demi meningkatkan keuntungan. Pada perpanjangan izin ekspor ke-3, Freeport meningkatkan produksi dan penjualannya menjadi 775 ribu ton dari hanya 580 ribu ton sebelumnya.

Begitu juga, saat pemerintah memberikan kembali izin ekspor yang ke-4, Freeport kembali memanfaatkan fasilitas perpanjangan izin ini untuk kembali meningkatkan produksi dan penjualannya menjadi 1,03 juta ton.

Fenomena yang terlihat ganjil adalah selama dua minggu menjabat sebagai Menteri ESDM, Arcandra memberikan perpanjangan izin ekspor untuk yang ke-5 kalinya bagi Freeport. Dengan durasi mulai 9 Agustus 2016 hingga 11 Januari 2017. Perpanjangan Izin Ekspor konsentrat yang ke-5 itu langsung dimanfaatkan oleh Freeport untuk menggenjot produksi hingga 1,4 juta ton.

Jika dihitung secara total perpanjangan izin ekspor yang diperoleh sejak 2014 hingga Januari 2017, pihak Freeport telah mengekspor sebanyak 4,55 juta ton konsentrat. Dalam lima kali perpanjangan izin ekspor itu, Freeport telah mengeruk 1.016 juta pon tembaga dan 1.663.000 toz (troy ons) emas. Total uang yang diperoleh Freeport dari dua tahun menikmati fasilitas perpanjangan izin ekspor mencapai USD 256 miliar atau Rp 3.328 triliun. Jumlah tersebut setara dengan dua kali lipat nilai APBN Indonesia.

            Masalah laten dalam usaha pertambangan di Indonesia adalah belum adanya transparansi usaha dan asas keadilan yang sering dicederai. Selain itu, pemerintah juga belum mampu mewujudkan neraca sumber daya alam (SDA) spasial yang akurat dan canggih untuk merumuskan bagi hasil pertambangan yang lebih adil dan bermartabat.

Undang-Undang  Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba masih mengandung kelemahan yang harus ditutup dengan peraturan pemerintah dan perda. Ada beberapa kelemahan yang terkandung dalam UU Minerba yang harus diantisipasi sehingga tidak menjadi persoalan krusial.

Dalam penetapan wilayah usaha pertambangan (WUP), kewenangan menetapkan hanya sampai pada level pemerintahan provinsi, sementara pemerintah kabupaten/kota tidak dilibatkan. Hal ini bisa menimbulkan ketegangan di lapangan terkait dengan operasional tambang.

Selain itu, pengaturan besarnya luas izin usaha pertambangan (IUP) dengan penetapan minimal 5.000 hektare akan bertentangan dengan kebijakan daerah yang memiliki lahan terbatas.

Dengan adanya pengaturan bahwa pemegang IUP dan izin usaha pertambangan khusus (IUPK) dapat memanfaatkan infrastruktur publik di daerah, seperti jalan, jembatan, dan lain-lain untuk keperluan usaha pertambangan. Hal itu bisa merugikan masyarakat. Karena memperpendek umur infrastruktur tersebut. Apalagi aktivitas usaha pertambangan menggunakan alat-alat berat.

Perlu kalkulasi yang tepat terkait ekonomi SDA sebelum dilakukan eksploitasi tambang. Penghitungan itu sebaiknya dilakukan oleh pihak yang independen dan melibatkan pemerintah daerah.

Pendekatan valuasi ekonomi total (total economic valutions) dapat dipakai untuk menghitung manfaat ekonomi sumber daya sebelum adanya kegiatan eksploitasi tambang, sebagai basis untuk menentukan peningkatan kesejahteraan masyarakat terkait usaha pertambangan disekitarnya.

Peta-peta kondisi fisik sumber daya dan kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar diperlukan sebagai instrumen penghitungan valuasi ekonomi.

Penghitungan valuasi ekonomi harus didasarkan pada kondisi sumber daya alam pada saat awal atau peta kondisi SDA awal. Teknologi penginderaan jauh dan sistem informasi geografis dapat membantu mempercepat proses inventarisasi dan monitoring SDA.

Ardy Muawin:  Ketua Bidang Diaspora Internasional IABIE, Alumnus Ross School of Business, University of Michigan

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement