Rabu 11 Jan 2017 16:00 WIB

Menguatnya Ekonomi Qarun

Red:

Akhir-akhir ini kita dibombardir oleh berita ekonomi yang agak mengkhawatirkan, untuk tidak mengatakan menyesakkan. Adanya indikasi serbuan pekerja asing (ilegal) dari Cina, dari buruh kasar hingga PSK, sementara pekerja lokal pun banyak yang menganggur. Pejabat dan aparat yang semestinya menjalankan amanah mengurusi ekonomi rakyatnya, malah jual beli jabatan (kasus Klaten). Alih fungsi lahan yang tidak hanya berdampak ekologis, tapi juga dikhawatirkan berimbas pada pemiskinan sebagian besar rakyat pinggiran (kasus nelayan dan reklamasi pulau-pulau di Jakarta). Seolah belum mau berhenti, "kado" awal tahun berupa naiknya harga BBM, listrik, dan pajak kendaraan, semakin mempersempit ruang gerak ekonomi masyarakat.

 

Falsafah ekonomi kekeluargaan yang dulu akrab di telinga sebagai manifestasi Pasal 33 UUD 1945, hampir sudah tidak terdengar lagi di forum-forum diskusi, bergeser pada penguatan ekonomi pemilik modal. Dampaknya, bumi, air, dan kekayaan alam yang ada, yang semestinya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, berubah haluan dikuasai oleh pemilik modal. Jangan heran, bila suatu ketika penduduk lokal hanya jadi pemain pinggir atau malah penonton, karena pemilik modal menghendaki pekerjaan remeh pun tetap dikelola tenaga mereka sendiri.

 

Falsafah Qarun

Dalam bahasa Alquran, gejala ini ditengarai sebagai pertanda menguatnya ekonomi Qarun. Qarun adalah salah satu ikon ekonomi penting yang disebut dalam Alquran. Kunci gudang kekayaannya, memberatkan banyak orang dewasa yang memikulnya (dalam tafsir ada yang menyebutkan 40-60 orang). Sebegitu pentingnya tokoh ini, hingga namanya disebut tidak kurang empat kali, dua di antaranya bersama degan Fir'aun dan Hamman (QS. 29:39 dan 40:24). Secara eksplisit Alquran (28:77), menghendaki kehidupan (termasuk dalam berekonomi) semestinya berelasi pada tiga hubungan yang harmonis.

 

Yang pertama, hubungan manusia dengan Penciptanya. Dunia boleh dicari, tapi akhirat lebih utama (wabtaghii fiimaa ataakallah daaral akhirah). Ini yang dinegasikan Qarun. Karena mengutamakan dunia, ia menolak Nabi Musa AS yang mengingatkannya membayar zakat (dimensi akhirat). Dengan enteng Qarun malah menebar hoax: mengembuskan kabar Nabi Musa AS melakukan zina. Puncaknya, Qarun yang sebenarnya berasal dari kalangan Bani Israil dan masih ada hubungan kerabat dengan Nabi Musa AS, justru bersekutu dengan Fir'aun menindas kaumnya sendiri.

 

Kalau ditarik dalam konteks kekinian, perilaku seperti ini banyak mengemuka.  Mengkhianati amanah begitu mudah, karena visi akhiratnya lemah. Obral janji sebelum pilkada/pemilu, begitu terpilih, janji tinggal janji. Berapa banyak, pemimpin yang diawal sangat patriotis, begitu kekuasaan dalam genggaman, ia berikan kapet merah kepada asing, rakyat sendiri dilupakan. Menarik investasi asing penting, tapi kalau rakyat sendiri hanya jadi penonton, buat apa?

Gejala seperti ini, juga sudah merata terjadi di beberapa negara Afrika. Di Kamerun (2013), proyek konstruksi pelabuhan Laut Kribi, dari seribu lebih tenaga kerja, hampir separuhnya, dikerjakan tenaga asing. Data yang dilansir Profesor Deborah Brautiga dari John Hopkins University-SAIS lebih parah lagi, proyek stadion dan kereta api di Angola (2010), masing-masing 74 persen dan 50 persen tenaganya dari asing, sisanya pekerja lokal. Membayangkan proyek kereta api maka terlintas akan lebih banyak digunakan tenaga buruhnya daripada ahlinya. Mengapa bisa 50 persen tenaga kerjanya didatangkan dari investor, bukan tenaga tempatan?

Memang tidak semuanya dimonopoli tenaga pendatang, seperti proyek perumahan dan pusat konferensi di Rwanda (2011), di mana tenaga pendatang masing-masing hanya 14 persen dan 23 persen, tenaga lokal masih mayoritas. Hanya masalahnya, untuk jenis pekerjaan  yang sama, pekerja asing menikmati gaji yang jauh berlipat. Sumber dari Kementerian Tenaga Kerja di Kenya, misalnya, menyebutkan penduduk lokal sering komplain karena menerima upah di bawah upah minimum, kondisi kerja yang buruk, dan tanpa kejelasan jaminan kesehatan dibandingkan pekerja asing.

 

Falsafah ekonomi kedua, Quran menghendaki manusia berbuat baik kepada sesamanya (wa ahsin kama ahsanallah). Dalam bahasa ekonomi, ini adalah prinsip pemberdayaan kepada orang-orang yang kurang beruntung. Bagaimana kita memakmurkan sebanyak mungkin orang (center on us). Qarun sebaliknya, berpusat pada dirinya sendiri (center on me). Ia bangga dengan harta kekayaannya. Dengan sangat ekstrem, ia membuat parade dan festival keliling kota di mana kunci-kunci gudang-gudang kekayaannya dijadikan daya tarik dan prasasti kesuksesan. Tapi begitu didatangkan petugas zakat, ia menolaknya.

 

Betapa banyak, aparat dan pejabat yang mestinya menjalankan amanah, sudah mendapatkan gaji penuh dari pemerintah, tapi melakukan aji mumpung, memperkaya diri sendiri (center on me). Kasus jual beli jabatan, jual-beli keputusan di peradilan, jual-beli proyek, jual-beli konsesi, seperti tak henti-hentinya berseliweran. Dana yang semestinya untuk pembangunan, untuk masyarakat, menguap. Ketika berhadapan dengan masyarakat galak minta ampun, ada yang main ancam dan main gusur. Tapi saat berhadapan dengan pengusaha, meskipun menerabas peraturan, meskipun mengakali amdal, bisa diatur (cincai). Akibatnya, rakyat benar-benar jadi bulan-bulanan penguasa.

 

Filosofi ketiga, Alquran menghendaki keharmonisan manusia dengan lingkungan (walaa tabghil fasad fil ardh), mementingkan aspek harmoni, keteraturan dan keseimbangannya dengan prinsip kemanfaatan bersama dan keberlanjutan. Quran juga menghendaki agar manusia tidak melampaui batas (fabaghaa 'alaihim). Dalam aspek ini, barangkali kasus reklamasi di Jakarta, yang paling kasat mata. Secara lingkungan jelas-jelas merusak biota laut. Malapetaka bagi para nelayan yang biasa melaut, karena tangkapan jadi menyusut. Sementara mereka makin boros solar, karena tidak sedikit yang harus memutar haluan. Belum lagi, karena alasan keamanan (seperti yang terjadi di pulau G) karena terlalu dekat dengan kabel listrik PLN. Semasa Menko Maritim Rizal Ramli, reklamasi di pulau G dikategorikan masuk pelanggaran berat. Namun, belakangan pejabat yang baru meneruskan proyek.

 

Pelajaran

Bahwa akhirnya Qarun ditelan bumi sudah banyak yang tahu. Tapi, apa yang mampu menggerakkan itu hingga azab mengerikan dikirimkan Allah, barangkali masih samar. Sikap Qarun yang melampaui batas, hingga banyak masyarakat yang dizalimi, termasuk pribadi Nabi Musa AS, yang mengirimkan dan mengakumulasi ketertindasan itu dalam bentuk energi doa yang menjebol pintu langit. Kalau tidak ingin digulung seperti Qarun, bersikap lemah lembutlah kepada bawahan dan rakyat yang dipimpin. Serap aspirasi mereka. Mereka tidak menuntut yang muluk-muluk: cukup hak hidup, berekonomi, dan martabatnya dilindungi.

Jangan abaikan untuk melaksanakan amanah, dengan mengaju tiga prinsip di atas. Jangan karena berkuasa, kemudian mengingkari amanah; memperkaya diri dan kelompok, menempatkan orang-orang yang dipimpinnya dengan tambahan beban hidup yang berat. Ingatlah, doa orang-orang yang terzalimi, tergusur, teraniaya, paling makbul. Kita berharap tidak ada lagi Qarun-Qarun lain yang menyusul 'ditelan' bumi.

M Luthfi Hamidi

Dosen STEI SEBI. HDR Student, Griffith University

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement