Kamis 29 Dec 2016 15:00 WIB

Dilema Daging Sapi

Red:

Harga daging sapi lokal di bawah Rp 100 ribu ternyata tidak bertahan lama. Setelah momentum Lebaran 2016, harga daging sapi memang sempat menyentuh kisaran Rp 80 ribu per kilogram di sejumlah daerah.

Namun, menjelang akhir tahun ini harga daging sapi lokal kembali melambung. Pada Juni 2016, Presiden Joko Widodo memerintahkan Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian untuk menekan harga daging sapi hingga Rp 80 ribu per kilogram.

Pertimbangan Presiden, harga daging sapi di Singapura dan Malaysia berada di kisaran Rp 80 ribu per kilogram. Kalau di dua negara itu bisa, mengapa harga daging sapi di Indonesia tidak bisa?

Akan tetapi, upaya menekan harga daging sapi di level itu bukan perkara mudah. Bahkan, impor daging beku dan impor sapi bakalan yang dilakukan pemerintah belum memperlihatkan kemanjuran. Harga daging sapi lokal masih ogah turun sesuai yang diinginkan.

Pemerintah menempuh jalan mengguyur pasar dengan daging impor beku dan mengimpor sapi bakalan. Pemerintah juga mengimpor daging kerbau. Tujuannya agar masyarakat mengonsumsi daging tersebut yang pasokannya berlimpah di pasar. Sayangnya, upaya pemerintah ini tidak direspons positif pasar.

Daging sapi beku hanyalah menjadi alternatif masyarakat dalam memenuhi konsumsi daging sapi. Namun, volumenya belum signifikan sehingga mampu mengurangi konsumsi terhadap daging sapi lokal.

Masyarakat masih lebih suka mengonsumsi daging sapi lokal karena dirasakan lebih segar. Tekstur dan warna daging beku yang lebih pucat membuat konsumen lebih nyaman memakan daging sapi lokal. Akibatnya, daging beku impor tetap kurang diminati konsumen.

Adapun daging kerbau yang diimpor juga tak mampu menggoyang kebutuhan konsumen akan daging sapi lokal. Konsumen terbesar daging kerbau malah banyak terserap oleh kalangan industri.

Tahun ini pemerintah membuka keran impor sapi bakalan hingga 600 ribu ekor. Adapun kuota impor daging beku mencapai 70 ribu ton. Sejak Desember 2016, pemerintah mengimpor daging kerbau dari India. Namun, tetap saja upaya ini tak menggoyahkan harga daging sapi yang sejak akhir 2015 terus bergerak naik.

Pertanyaannya, mengapa harga daging sapi masih belum bisa turun di bawah Rp 100 ribu per kilogram? Apakah memang harga daging sapi saat ini merupakan titik kesetimbangan baru?

Untuk menjawab pertanyaan itu bukan hal mudah. Dari sisi hukum ekonomi, pasokan yang jauh lebih sedikit dibandingkan jumlah kebutuhan yang ada pasti akan menciptakan harga yang melambung. Jika pasokan daging sapi lokal lebih kecil daripada permintaan, pasar akan merespons dengan menaikkan harganya.

Upaya pemerintah dengan menambah pasokan alternatif daging sapi sejatinya merupakan langkah yang strategis. Konsumen diberi pilihan bahwa daging sapi tak melulu harus dari sapi lokal, tapi bisa juga daging beku yang diimpor. Atau mengonsumsi daging kerbau yang memiliki kemiripan dengan daging sapi. Namun, selera konsumen tak bisa dibohongi.

Hal lain yang harus jadi catatan untuk menurunkan harga daging sapi lokal adalah memangkas rantai panjang pasokan. Tingginya biaya distribusi bisa menjadi penyebab sulitnya harga daging sapi turun di bawah Rp 100 ribu per kilogram.

Yang di depan mata adalah bagaimana memangkas rantai pasokan yang panjang jika posisi feedloter atau penggemukan sapi berada di Nusa Tenggara Timur, tetapi daging sapi itu mesti didistribusikan ke wilayah DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten yang berjarak ribuan kilometer? Persoalan ini harus ada solusi terbaik dari pemerintah dan pihak terkait lainnya.

Lebih mendasar dari persoalan rantai pasokan yang panjang adalah pemetaan terhadap kebutuhan daging nasional. Jika pemerintah tidak memiliki peta di mana wilayah yang terbanyak konsumsi daging sapinya, di mana yang sedikit, maka peluang mafia importir dan pedagang pasar bermain akan sangat besar.

Bila hal ini belum ada solusinya, jelas akan menjadi momentum mafia dalam meraup untung sebesar-besarnya dari celah ini. Dan, selama permasalahan ini belum juga terpecahkan, harga daging akan tetap menjadi dilema pemerintah. Ujung-ujungnya adalah rakyat kecil yang dirugikan, hanya segelintir elite dan sekelompok pihak yang diuntungkan. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement