Selasa 20 Dec 2016 15:00 WIB

Kesenjangan Ketenagakerjaan

Red:

Memasuki 2017, liberalisasi sektor ketenagakerjaan di Tanah Air semakin gencar. Ironisnya, pemerintah kurang serius mengantisipasi efek negatifnya. Proses liberalisasi salah satunya lewat pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).

Seluruh negara ASEAN sudah tentu mengedepankan keunggulan komparatif masing-masing. Namun, Pemerintah Indonesia belum sepenuh hati mengantisipasi pergerakan pekerja ahli atau terampil bagi kawasan dengan penduduk sekitar 600 juta orang.

Keunggulan komparatif  dalam MEA sangat bergantung pada produktivitas dan kompetensi tenaga kerja. Selain itu, juga bergantung pada agilitas dunia usaha serta daya kreativitas dan inovasi produk, proses bisnis serta inovasi layanan konsumen.

Seperti tahun lalu, outlook ketenagakerjaan 2017 tingkat global dan lokal masih diwarnai tren negatif terkait adanya disparitas atau ketimpangan pasar tenaga kerja. Ketimpangan pasar itu berupa kurangnya tenaga kerja terampil, terutama di sektor industri.

Di sisi lain, spesifikasi penganggur sebagian besar tidak sesuai dengan kebutuhan perusahaan. Kondisi timpang di atas sesuai dengan laporan konsultan terkemuka dunia Hays, dalam laporannya Hays Global Skills Index.

Melalui survei terhadap 30 negara,  Hays Global Skills Index menunjukkan adanya tren ketimpangan berupa semakin lebarnya jarak antara kebutuhan perusahaan terhadap pekerja terampil dan pencari kerja.

Kenaikan kebutuhan tenaga kerja dan pengangguran sama-sama meningkat.  Semakin banyak lowongan kerja di sektor industri yang tidak terisi. Hays menggarisbawahi, pasar tenaga kerja masih belum efisien bahkan mengalami cacat.

Hasil kajian Hays di atas patut mendapat perhatian serius, mengingat masalah ketenagakerjaan di negeri ini kondisinya masih krusial. Hays merupakan konsultan terkemuka dunia yang selama ini sangat kredibel dalam bidang tata kelola SDM perusahaan dan lembaga birokrasi.

Tahun 2017, saatnya menggenjot etos kerja dan produktivitas serta  menata portofolio ketenagakerjaan agar masalah ketimpangan tenaga kerja terampil bisa diatasi. Penataan portofolio itu sebaiknya disertai dengan memperbaiki etos kerja.

Selama ini etos kerja bangsa Indonesia berada di urutan nomor sepatu di kawasan Asia Tenggara. Indonesia di bawah Vietnam. Sayangnya, hingga kini elite masih belum berhasil membangun etos kerja, sehingga daya saing bangsa ini masih terpuruk menghadapi globalisasi.

Untuk itulah, para pejuang buruh di Indonesia sebaiknya mencurahkan  pikiran untuk merumuskan garis besar perjuangan buruh yang bisa membangkitkan etos kerja bangsa dan mewujudkan tatanan keadilan sosial.

Tatanan tersebut bisa terwujud jika alokasi sumber daya bangsa dan politik anggaran nasional yang berupa APBN, struktur alokasinya proburuh. Saatnya buruh ikut menentukan politik anggaran, dari APBD hingga APBN.     

Tak hanya itu, sektor ketenagakerjaan di negeri ini sangat sensitif dengan kondisi makro ekonomi dan perekonomian global. Hanya karena ulah Bank Sentral Cina, sektor ketenagakerjaan di Tanah Air sempat mengalami guncangan yang cukup serius.

Hal itu menyebabkan PHK meningkat dan terjadi penyempitan lapangan kerja. Sungguh ironis jika terjadi guncangan ketenagakerjaan hanya gara-gara kebijakan kontroversial Bank Sentral Cina, yang mendevaluasi atau melemahkan mata uangnya sendiri, yakni yuan.

Data Badan Pusat Statistik memperlihatkan tingkat pengangguran terbuka mencapai 5,81 persen dari total angkatan kerja atau sebanyak 7,45 juta orang. Seharusnya, ini menjadi peringatan serius bagi pemerintahan Joko Widodo agar secepatnya mengatasi daya serap dan elastisitas ketenagakerjaan.

Saat ini, elastisitas ketenagakerjaan berkurang sehingga pemerintah terpaksa menurunkan proyeksi elastisitas penyerapan tenaga kerja setiap satu persen pertumbuhan ekonomi. Setiap pertumbuhan ekonomi satu persen diproyeksikan menyerap 350.225 tenaga kerja.

Pada 2017, tentunya pemerintah terpaksa memangkas elastisitas ketenagakerjaan yang berimplikasi pada menciutnya kesempatan kerja. Penurunan elastisitas ketenagakerjaan juga disebabkan oleh kurangnya perlindungan terhadap pasar domestik dari kegiatan impor ilegal.

Selain itu, jenis investasi yang masuk ke Indonesia persentasenya lebih banyak ke sektor yang padat modal dan teknologi. Sementara penyerapan tenaga kerja yang bersifat padat karya mengalami tekanan yang luar biasa.

Tingginya impor bahan baku dan barang modal juga membuat pertumbuhan industri domestik semakin terpuruk. Jika itu tidak segera diantisipasi para produsen dalam negeri akan tergulung dan beralih menjadi sekadar pedagang.

Pemerintah harus segera mengambil tindakan keras dan cepat terkait masih maraknya impor ilegal berbagai komoditas, seperti pakaian beras, tekstil, serta produk pangan agar industri dalam negeri tidak semakin terpuruk.

Sungguh menyedihkan melihat produk ilegal, seperti produk TPT, alas kaki, makanan dan minuman, barang elektronik, dan aneka logam membanjiri pasar domestik. Kondisi di atas menghancurkan produk dalam negeri sekaligus mempersempit lapangan kerja.

Alangkah menyedihkan melihat kondisi produksi industri pengolahan besar dan sedang akhir-akhir ini mengalami stagnasi, bahkan ada yang terjadi pertumbuhan negatif. Padahal, industri pengolahan merupakan salah satu sektor andalan dan mudah menyerap tenaga kerja. 

Arif Minardi   

Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Logam Elektronika dan Mesin (FSP LEM SPSI).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement