Jumat 09 Dec 2016 16:00 WIB

Demokrasi Ala 212

Red:

Aksi Bela Islam III menuai decak kagum tidak hanya masyarakat Indonesia, tetapi juga warga dunia. Aksi superdamai 212 ini berjalan tertib, aman, rapi, teratur, bersih dari sampah, dan rumput serta tanaman tetap terjaga.

Barangkali ini adalah aksi massa terbesar sepanjang sejarah dan akan dikenang juga sebagai aksi paling damai, yang sekaligus mematahkan anggapan banyak pihak aksi dalam jumlah besar identik dengan tindakan anarkistis.

Aksi 212 memperlihatkan kepada khalayak dunia kedewasaan umat Islam Indonesia berdemokrasi. Hal ini mematahkan pandangan sinis sebagian kalangan bahwa Islam antidemokrasi, Islam identik dengan kemunduran, kemalasan, keterbelakangan, kebodohan, dan anarkisme.

Aksi 212 juga mematahkan pandangan yang ingin mempertentangkan antara Islam dan nasionalisme. Jutaan peserta aksi penuh berbalut ikat kepala merah putih menghentak dengan nyanyian "Indonesia Raya" dan tak henti orasi menegaskan penting menjaga NKRI. Maka tak heran puja-puji mengalir dari berbagai tokoh. Monas dan Istana Negara menjadi saksi bisu atas kedewasaan berdemokrasi dalam aksi 212.

Kesesuaian ajaran Islam dengan demokrasi sesungguhnya telah ditunjukkan umat Islam Indonesia sejak masa perjuangan kemerdekaan. Indonesia yang dibangun dengan asas Pancasila melahirkan demokrasi unik, yang dijiwai nilai-nilai ketuhanan, bukan demokrasi liberal yang menghendaki kebebasan tanpa nilai.

Umat Islam di Indonesia sebagai mayoritas mampu menunjukkan sikap dewasa dengan hidup bersama umat agama minoritas dalam satu konsensus, dalam satu naungan Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Maka sesungguhnya, superdamai dalam Aksi 212 merupakan cerminan pemahaman agama, yang mampu mendorong kedewasaan demokrasi.

Jika kita lihat lebih dalam, nilai-nilai demokrasi telah terejawantah dalam aksi 212. Setidaknya ada enam nilai demokrasi di sini, yaitu rasa respek dan hormat, kepatuhan pada hukum, partisipasi, tanggung jawab, komitmen kepada nilai, dan kerja sama.

Pertama, nilai respek dan hormat. Secara filosofis, demokrasi mengajarkan kita untuk menghargai segala hal di sekitar kita. Nilai demokrasi yang pertama adalah hormat, baik menghormati aturan main, kemanusiaan, maupun lingkungan. Rasa hormat adalah puncak demokrasi.

Dalam aksi 212, kita ditunjukkan bahwa nilai hormat ini nyata. Bagaimana umat Islam mampu menghormati sesama warga negara, baik sesama peserta aksi maupun terhadap masyarakat lain dan pemerintah. Bahkan, dalam hal kecil, seperti menghormati rumput agar tidak diinjak, membersihkan tempat aksi dari sampah, dan seterusnya. Apatah lagi hormat terhadap Tuhan.

Kedua, nilai kepatuhan hukum. Aksi 212 memberikan pelajaran berharga bahwa kepatuhan umat Islam kepada hukum yang bersumber dari Alquran dan sunah Nabi Muhammad SAW, memberikan pemahaman yang baik dalam memahami dan mematuhi hukum positif di Indonesia.

Saat kemudian ada upaya menghalang-halangi pelaksanaan aksi, umat Islam membuka diri untuk berkomunikasi dan berkoordinasi dengan berbagai pihak, termasuk kepolisian dan TNI agar dapat menjalankan amanat konstitusi. Tidaklah tepat adanya pandangan yang mempertentangkan antara hukum Islam dan hukum positif. Termasuk stigma negatif tentang hukum Islam yang digambarkan kejam.

Ketiga, aksi 212 memberikan contoh nilai partisipasi masyarakat yang sebenarnya. Dari Ciamis kita menjadi saksi bagaimana sebuah tekad yang kuat para santri berjalan 300 kilometer Ciamis-Jakarta, mengingatkan sejarah pendahulu gerilya pasukan Siliwangi mempertahankan kemerdekaan.

Muara partisipasi adalah pemahaman yang baik dan benar. Agama mengajarkan pengorbanan, mengajarkan saling menolong, mengajarkan memperjuangkan kebenaran meski penuh risiko. Para ulama dan ustaz mengajarkan nilai-nilai ini di setiap pengajian.

Maka saat guru mereka memberikan keteladanan perjuangan, partisipasi umat tak terbendung. Indonesia sangat membutuhkan model partisipasi ini, maka para pemimpin bangsa perlu mencontoh para ulama dan ustaz yang ikhlas membina umat dan memberi keteladanan.

Keempat, nilai tanggung jawab. Aksi 212 mengajarkan seluruh komponen bangsa pentingnya nilai tanggung jawab. Sejak awal, aksi dari jilid I hingga III, jelas penanggung jawabnya, penyelenggaranya, tokohnya, pesannya, jelas misi dan tujuannya.

Rasa tanggung jawab ini juga hadir pada jutaan peserta aksi. Semua pihak merasa bertanggung jawab agar aksi berjalan sesuai koridor yang diputuskan GNPF MUI selaku panitia. Alhasil, jutaan lautan massa mampu membubarkan diri dengan tertib, aman, dan selamat.

Hanya dalam waktu satu jam, halaman Monas kembali seperti semula, bersih. Tanggung jawab adalah nilai yang selalu diajarkan dalam agama. Agama menegaskan tanggung jawab tidak hanya dilakukan saat manusia hidup di dunia, lebih dari itu dimintai pertanggungjawaban di akhirat. Maka ini menjadi pelajaran berharga kepada seluruh elite bangsa untuk memiliki rasa tanggung jawab, bukan saling tunjuk menyalahkan pihak lain.

Kelima, komitmen kepada nilai. Aksi 212 menunjukkan demokrasi bisa tunduk pada nilai, bukan kepentingan sesaat. Motivasi peserta aksi 212 karena kecintaan mereka pada keyakinannya, kepada Alquran.

Sedangkan, komitmen aksi 212 ada pada nilai tuntutan tegaknya supremasi hukum yang adil. Padahal, selama ini politik dan demokrasi diidentikkan dengan sesuatu yang kotor, dan uang adalah segalanya karena hanya dengan dan untuk uanglah orang akan bergerak. Pada aksi 212, justru para peserta inilah yang mengeluarkan hartanya.

Keenam, kerja sama. Demokrasi menghendaki partisipasi masyarakat dan kepedulian pemerintah. Masyarakat dapat membantu pemerintah dalam mencapai tujuan dan cita-cita bernegara.

Aksi 212 membuktikan bahwa masyarakat dalam hal ini umat Islam mampu bekerja sama dengan pemerintah. Kepolisian dan TNI bersama umat Islam berkolaborasi dalam aksi yang dikemas dalam bentuk doa bersama dan shalat Jumat. Peristiwa ini menjadi contoh nyata bahwa umat Islam memiliki modal iktikad baik untuk bekerja sama dengan siapa pun asalkan saling menghormati.

Tentu tidak cukup mengatakan enam nilai demokrasi yang terejawantah dalam aksi 212. Namun, enam nilai ini sangat dibutuhkan Indonesia yang berada di tengah arus perubahan dunia yang semakin cepat.

Potensi besar umat dan bangsa yang tergambar dalam aksi 212 perlu terus dirawat, mengingat momentum seperti ini tidak selalu hadir dalam perjalanan bangsa. Umat tidak boleh berhenti belajar tentang agama, demokrasi dan etika politik sebagaimana para kiai, guru, ulama, dan ustaz senantiasa meneladankan.

Para pemimpin bangsa pun perlu bijak melihat peristiwa ini dan lebih memahami rakyat yang telah makin dewasa dalam berdemokrasi. Maka marilah belajar berdemokrasi ala aksi 212. 

Sukamta

Anggota Komisi I DPR RI Dapil DIY

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement