Jumat 09 Dec 2016 16:00 WIB

Sistem Informasi Bencana

Red:

Gempa bumi 6,4 pada skala Richter (SR) terjadi di Kabupaten Pidie Jaya, Aceh. Gempa ini memberikan peringatan penting kepada bangsa Indonesia untuk selalu menyempurnakan sistem informasi bencana. Utamanya, terkait mitigasi dan mekanisme tanggap darurat secara cepat dan tepat dengan bantuan teknologi terkini.

Sistem informasi bencana kini sangat terbantu oleh teknologi big data, yakni kumpulan data berukuran sangat besar yang akan dianalisis atau diolah lagi untuk keperluan tertentu, seperti membuat keputusan, prediksi, dan lainnya. Big data juga sangat membantu inisiatif untuk menyediakan open data dan mendukung mitigasi serta penanganan bencana alam.

Open data telah menjadi salah satu alat yang sangat bermanfaat dalam membantu para relawan tanggap darurat. Dengan memberikan informasi geospasial yang terkini dan akurat, program tanggap darurat dan rekonstruksi pascabencaana bisa dilakukan dengan baik.

Platform data geospasial semacam OpenStreetMap, yaitu proyek pemetaan yang bersifat open source memungkinkan untuk memperkirakan tingkat kerusakan dengan cepat, dan memonitor pelaksanaan penanggulangan bencana.

Salah satu contoh sistem informasi bencana yang sukses adalah mengantisipasi kedatangan badai Sandy. Pemerintah Kota New York menerbitkan peta daerah evakuasi yang terbaru di portal open datanya, dan bekerja sama, seperti dengan The New York Times serta Google's Crisis Response Team untuk mengolah dan menggabungkan data dari penampungan, pusat distribusi makanan, dan jalur evakuasi.

Sesudah badai Sandy melanda New York, dilakukan upaya penanggulangan bencana menggunakan teknologi analytics yang dibuat Palantir untuk memprediksi lokasi yang paling memerlukan obat-obatan, makanan, dan pakaian, serta mengoordinasikan usaha untuk mengatasinya.

Kesemrawutan penanganan gempa bumi yang pernah terjadi menunjukkan pentingnya sistem informasi dan ketersediaan peta bencana, yang berbasis sistem informasi geografis (SIG) serta terintegrasi dengan sistem e-government pemerintah daerah.

Terhambatnya arus informasi di daerah bencana bisa menyebabkan data korban menjadi simpang siur, informasi kebutuhan pengungsi menjadi tidak jelas, tindakan medis terhadap korban terlambat, dan penyaluran bantuan menjadi kalang kabut. Ironisnya, hingga saat ini inisiatif sistem informasi bencana pemerintah daerah sangat terbatas dan ketinggalan zaman.

Sistem informasi bencana alam harus terpadu dengan sistem e-government, yang dibangun pemerintah daerah dan memenuhi ketentuan yang digariskan oleh International Strategy for Disaster Reduction (ISDR). Dengan empat tahapan, yakni tahap tanggap darurat, tahap rekonstruksi dan rehabilitasi, tahap preventif dan mitigasi, dan tahap kesiapsiagaan.

Kepala daerah sebagai penanggung jawab penanganan bencana mestinya juga memiliki sistem pendukung pengambilan keputusan alias decision support system (DSS) bencana alam. Sistem itu juga sangat membantu Kementerian Kesehatan. Modul aplikasi sistem informasi bencana (EMCIS) merupakan solusi tepat.

Dukungan sistem informasi pascabencana alam sangat diperlukan untuk memperlancar proses identifikasi korban, juga kerugian materi dan infrastruktur. Dukungan sistem ini pun dapat menjadi suatu pertimbangan pengambilan keputusan guna langkah merehabilitasi pascagempa.

Untuk mewujudkan sistem informasi bencana, diperlukan sinkronisasi dengan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) dan data permukiman, seperti jumlah rumah, data infrastruktur dan kawasan di daerah tersebut. Nantinya, dapat dibuat sistem informasi geografis informasi sebelum dan sesudah bencana dengan melakukan overlay, sehingga dengan tepat dan cepat jumlah kerugian jiwa, materi, dan sarana-prasarana di daerah bencana dapat ditentukan.

Untuk mewujudkan sistem ini diperlukan lima langkah. Pertama, survei untuk identifikasi kebutuhan sistem, yang mencakup: data atribut ataupun data spasial, laporan atau informasi yang harus dihasilkan, aliran data dan laporan, prosedur komunikasi antardaerah dan pusat, dan aspek penting lainnya.

Kedua, desain sistem, yang mencakup: database, data masukan, laporan atau informasi keluaran sistem, prosedur pemrosesan data, dan prosedur komunikasi. Ketiga, pembuatan program aplikasi meliputi modul: informasi kependudukan per wilayah, informasi kepemilikan tanah dan rumah, informasi sarana dan prasarana.

Keempat, instalasi sistem, yang mencakup: hardware, software aplikasi, internet. Kelima, kegiatan pelatihan untuk pengguna atau operator admin.

Format informasi yang dihasilkan bisa berbentuk data geografis, yang dapat menginformasikan keadaan bencana dengan cepat. Data geografis merupakan data unit atau area yang tersebar secara geografis yang terbagi menjadi dua bagian.

Yakni, data spasial (data lokasi, posisi, bentuk) dan data tekstual (data deskripsi teknis, historis, administrasi, dan lainnya). Basis data yang diperlukan untuk pengembangan sistem informasi bencana alam meliputi: data citra satelit per tahun, peta kawasan, infrastruktur, land use, data kemiringan, utilitas, tekstual, kependudukan, kepemilikan tanah dan rumah, dan data infrastruktur di daerah.

Pengembangan sistem informasi bencana alam yang cukup krusial adalah modul aplikasi emergency medical care information system (EMCIS). Setelah terjadi bencana, bantuan medis merupakan sangat penting. Mengingat banyaknya korban yang akhirnya meninggal gara-gara terlambat ditolong.

Mengambil pengalaman dari kejadian gempa besar di dunia, fakta menunjukkan sekitar 80 persen dari korban meninggal pada tujuh jam pertama setelah gempa terjadi. Sayangnya, sering kali kesulitan untuk mendatangkan bantuan medis karena kerusakan infrastruktur ke daerah yang terkena bencana.

Kalaupun bantuan medis dapat didatangkan, jumlah petugas yang dikirim juga terbatas. Padahal, banyak korban yang terluka parah biasanya membutuhkan perawatan yang lebih intensif sehingga perlu dikirim ke rumah sakit terdekat.

Dengan keterbatasan infrastruktur transportasi, tentu sulit dilakukan. Di sinilah arti penting aplikasi EMCIS yang mampu melakukan fungsi telemedicine, telediagnostic, serta teleconsultation.

Penerapan telemedicine, telediagnostic, dan teleconsultation memungkinkan pelayanan kesehatan korban bencana dilakukan di tempat kejadian, tanpa harus segera dibawa ke rumah sakit. Fungsi utama aplikasi itu untuk memudahkan diagnosis, perawatan, pengawasan, dan akses terhadap tenaga ahli serta informasi pasien tanpa bergantung pada keterbatasan jarak atau lingkungan. 

Hemat Dwi Nuryanto

Alumnus UPS Toulouse Prancis, Pengurus Ikatan Alumni Program Habibie (Iabie)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement