Kamis 24 Nov 2016 14:00 WIB

Tarik-Ulur Upah Minimum

Red:

Penetapan upah minimum kerap diwarnai tarik ulur antara buruh dan pengusaha, dan hal ini tampaknya menjadi fenomena rutin menjelang tutup tahun. Buruh menilai bahwa upah yang ditetapkan terlalu rendah meski secara faktual selalu mengalami kenaikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Besarnya upah pada 2017, misalnya, mengalami peningkatan sebesar 8,25 persen dibandingkan tahun lalu. Adapun besaran kenaikan upah sebesar itu didasarkan pada komponen inflasi sebesar 3,07 persen dan pertumbuhan ekonomi 5,18 persen.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No 78 Tahun 2015 pada Pasal 44 ayat 2 dijelaskan bahwa kenaikan upah minimum ditetapkan dengan dua komponen, yakni inflasi dan produk domestik regional bruto (PDRB). Dengan dua komponen itu (inflasi dan PDRB) hampir dapat dipastikan bahwa upah minimum akan selalu mengalami kenaikan secara absolut ataupun riil.

Dengan dimasukkannya komponen inflasi, berarti daya beli buruh secara riil akan tetap terjaga. Sementara dengan komponen PDRB, upah buruh secara riil ataupun absolut akan meningkat.

Diharapkan, dengan digunakannya komponen inflasi dan PBRB itu, kesejahteraan buruh secara perlahan kian meningkat. Hal ini sesuai dengan harapan Direktur Jenderal Badan Perburuhan Dunia (ILO) Guy Ryder (2012) yang menyebutkan, upah minimum merupakan suatu cara untuk mengurangi pekerja miskin sehingga upah minimum juga bisa berfungsi sebagai instrumen proteksi sosial.

Dari sisi pengusaha, penetapan upah minimum akan menambah beban usaha. Dengan kenaikan upah minimum sebesar 8,25 persen pada 2017, berarti biaya produksi usaha dan perusahaan minimal akan naik sebesar itu pula.

Secara faktual, hal itu berarti bagi usaha dan perusahaan yang tidak mampu meningkatkan keuntungan usahanya sebesar itu (8,25 persen) akan berpotensi mengalami penurunan kinerja usaha. Semakin kecil keuntungan usaha dan perusahaan, pada gilirannya perusahaan akan menuju kebangkrutan.

Kebangkrutan usaha yang berujung pada gulung tikar akibat terbebani kenaikan upah minimum sepatutnya perlu dicermati secara serius. Sebab, dengan gulung tikarnya perusahaan akan kian meningkatkan gelombang pengangguran.

Padahal, angka pengangguran kini tengah mengalami penurunan. Hasil Sakernas Agustus 2016 mencatat, angka pengangguran sebesar 5,61 persen.

Adapun salah satu upaya untuk menghindari kebangkrutan usaha ialah dengan menurunkan biaya operasional lainnya di luar upah. Hingga kini, biaya operasional usaha dan perusahaan di Tanah Air ditengarai cukup tinggi, antara lain, disebabkan sedikitnya oleh tiga hal.

Pertama, infrastruktur yang kurang memadai. Untuk mengatasi hal itu, pemerintah kini memang sedang berusaha keras untuk meningkatkan pembangunan infrastruktur.

Namun, agar diperoleh hasil optimal, peningkatan pembangunan infrastruktur itu sepatutnya perlu dilakukan berdasarkan pada pemetaan potensi kegiatan usaha. Hal ini mengingat kebutuhan infrastruktur amat banyak dan beragam karena wilayah Indonesia sangat luas dan sebagian di antaranya berupa remote areas, seperti pedalaman, terpencil, dan terluar.

Fakta itu sekaligus mengisyaratkan bahwa pemerintah perlu menyusun grand design pembangunan infrastruktur berdasarkan potensi kegiatan usaha dan kebutuhan daerah.

Kedua, pungutan liar yang membebani usaha dan perusahaan. Semakin beragam dan tingginya intensitas pungutan liar, akan kian meningkatkan biaya operasional usaha dan perusahaan, yang pada gilirannya semakin mengurangi kemampuan pengusaha untuk membayar upah buruh.

Apalagi, untuk memenuhi tuntutan upah yang semakin tinggi. Atas dasar itu, upaya pemerintah yang kini gencar dalam memerangi berbagai bentuk pungutan liar sangat diharapkan terus berlanjut hingga usaha dan perusahaan terbebas dari pungutan liar.

Ketiga, peraturan daerah yang terlalu banyak. Dengan perda yang terlalu banyak, terutama yang berkaitan dengan kontribusi finansial dari usaha dan perusahaan terhadap pemerintah daerah, akan kian meningkatkan beban operasional usaha dan perusahaan, dan berdampak negatif pada kemampuan membayar upah buruh.

Dimaklumi memang bahwa penerbitan perda, yang berkaitan dengan kontribusi usaha dan perusahaan merupakan upaya untuk meningkatkan pendapatan asli daerah. Namun dalam kenyataannya, perda yang kian banyak tidak selalu akan meningkatkan pendapatan asli daerah.

Bahkan, perda yang semakin banyak berpotensi menurunkan pendapatan daerah. Sebab, perda yang terlalu banyak akan kian menambah beban usaha dan perusahaan yang pada gilirannya, menyebabkan usaha dan perusahaan gulung tikar.

Perda yang terlalu banyak juga berpotensi menurunkan minat pengusaha berinvestasi. Dengan mencermati hal itu, upaya pemerintah untuk memangkas perda sepatutnya tidak hanya pada perda yang bermasalah, tetapi juga perlu meringkas perda yang terlalu banyak.

Berbagai upaya memang perlu dilakukan pemerintah guna menurunkan beban pengusaha agar kinerja usaha dan perusahaan meningkat, sehingga memiliki cukup kemampuan untuk membayar upah buruh. Bahkan, semakin meningkatnya kinerja perusahaan akan semakin meningkatkan kemampuan untuk membayar upah buruh yang semakin tinggi.

Hal itu sekaligus mengisyaratkan bahwa berkaitan dengan penetapan upah minimum, pemerintah perlu berupaya agar keberadaan usaha dan perusahaan jangan sampai terbebani biaya ekonomi tinggi, seperti kelangkaan infrastruktur, pungutan liar, dan perda yang memberatkan.

Hal ini mengingat biaya ekonomi tinggi tidak hanya memberatkan pengusaha dalam membayar upah buruh, tetapi juga dapat menyebabkan perusahaan gulung tikar yang justru akan kian menambah gelombang pengangguran. 

Razali Ritonga

Kapusdiklat Badan Pusat Statistik (BPS)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement