Kamis 10 Nov 2016 14:00 WIB

Membaca Gelombang 411 dari Jerman

Red:

Berbagai analisis tentang aksi demonstrasi pada Jumat (4/11) tentu sudah banyak tersebar, baik di media maupun jejaring media sosial. Berbeda dari analisis yang sudah ada, penulis mencoba membandingkan apa yang disebut sebagai "Gelombang 411" dengan gerakan anti-Islam yang terjadi di Jerman dan Eropa pada umumnya.

Meminjam terminologi Huntington (1991), mengapa peristiwa Jumat lalu dapat dikatakan "Gelombang 411"? Ada beberapa sebab. Pertama, peristiwa ini bersifat masif, terjadi tidak hanya di Ibu Kota, tetapi juga di berbagai kota/daerah di seluruh pelosok Tanah Air pada hari yang bersamaan.

Kedua, aksi 411 di Ibu Kota dibanjiri oleh ratusan ribu manusia yang datang dari berbagai daerah. Kehadiran mereka ke Jakarta atas dasar swadaya dan panggilan iman untuk tetap menjaga keutuhan NKRI sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.

Ketiga, berbagai aksi telah terjadi juga sebelum gelombang 411 serta aksi susulan berikutnya. Keempat, gelombang aksi internasional anti-Ahok juga terjadi di berbagai negara, seperti di Amerika, Belanda, dan Pakistan. Gelombang 411 dapat dikatakan sebagai aksi demonstrasi terbesar setelah peristiwa 1998, yang dilakukan kekuatan rakyat (people power).

Sehari penuh aksi 411 berjalan dengan hikmat dan damai. Namun, kerusuhan terjadi selepas jam enam malam. Polisi menembakkan gas air mata dan peluru karet ke arah demonstran sehingga terjadi bentrok meski kemudian dapat dikendalikan.

Akibat insiden ini, puluhan demonstran terluka. Presiden Joko Widodo yang ditunggu-tunggu ratusan ribu rakyat di depan Istana pun tak kunjung datang hingga akhirnya Wapres Jusuf Kalla memberikan garansi, dalam jangka waktu dua minggu sejak aksi, kasus Ahok akan diselesaikan secara tegas. Barulah beberapa jam kemudian, Presiden muncul dengan konferensi persnya yang mengambang.

Aksi damai "Gelombang 411" juga sekaligus menepis pandangan sinis dari Huntington (1984; 1991), Kedourie (1992), Fukuyama (1992; 2001), dan Lewis (2002) yang pernah menyatakan, Islam dan demokrasi seolah dua hal yang tak dapat disatukan seperti yang terjadi di Timur Tengah. Namun, tidak demikian di Indonesia.

Aksi 411 yang dipimpin para ulama ini menjadi bukti nyata bahwa nilai-nilai Islam dan demokrasi bisa berjalan seiring bersama. Inilah demokrasi teladan yang patut menjadi contoh bagi negara-negara Islam dan negara sekuler lainnya.

Kematangan demokrasi Indonesia semakin terbukti ketika isu personal Ahok tidak berubah menjadi isu masif anti-Cina atau anti-Kristen. Etnis dan agama ini sangat minor secara nasional meski mayoritas di daerah tertentu. Satu hal yang pasti, salah satu target dari gelombang 411 adalah menjadikan Ahok sebagai tersangka penista agama.

Berbeda dengan apa yang terjadi dengan Islam di Eropa dan Jerman pada khususnya. Islam di kawasan ini seolah menjadi hantu (Islamofobia) yang mengancam ketenangan warganya. Islam seakan menjadi ancaman terbesar bagi hak asasi manusia (HAM) di dunia Barat. Demonstrasi besar-besaran oleh berbagai gerakan anti-Islam pun pernah terjadi pada 6 Februari 2016 di 14 negara Eropa.

Gerakan serupa pun terus digelorakan di berbagai kota di Jerman. Semangat rasisme Nazi pun telah dihidupkan kembali oleh Pegida (Patriotische Europäer gegen die Islamisierung des Abendlandes) sejak pendiriannya pada 19 Desember 2014.

Meski Islam baru tumbuh sekitar lima persen dari 80 juta lebih penduduk Jerman, perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun. Masjid dan berbagai komunitas Muslim pun terus bertambah. Islam seakan menemukan tanah subur di Eropa meski terkadang badai sering menghampiri.

Di Indonesia, meski Muslim adalah pemegang saham agama terbesar (89 persen), mereka seolah takut dengan bayangan diri sendiri. Joko Widodo pun seolah tidak sadar bahwa dirinya seorang Muslim dan lebih dari 200 juta umat Islam akan tegak berdiri di belakangnya, untuk bersama-sama menegakkan hukum bagi si penista agama.

Jika Muslim di Jerman yang hanya lima persen bisa terus tumbuh berkembang dan mendapat simpati masyarakat, mengapa di Indonesia tidak? Jika ada yang mengatakan bahwa serangkaian aksi 411 menunjukkan kegagalan partai-partai Islam, analisis ini tak seutuhnya tepat.

Persoalan iman bukanlah persoalan partai. Ini adalah upaya menjunjung tinggi kitab suci milik pemegang saham agama terbesar. Mengutip pernyataan cendekiawan Muslim Din Syamsuddin, "Jangan karena nila setitik rusak susu sebelanga. Jangan karena orang satu, kerukunan bangsa terganggu. Solusi terbaik: potong akar tunjang masalah, tegakkan hukum secara berkeadilan."

Berkiblat dari kejayaan Islam di Eropa dan khususnya di Jerman akhir-akhir ini, serta untuk menjaga kerukunan hidup antarumat beragama di Indonesia, kasus Ahok segera diselesaikan dengan hukum murni sebelum pada akhirnya, hukum jalanan yang lebih sadis yang akan berlaku. Ini solusi terbaik bagi umat Islam ataupun Ahok. Toh, di pengadilan Ahok masih bisa melakukan pembelaan.

Sekali lagi, umat Islam Indonesia tidak anti-Cina atau anti-Kristen seperti yang terjadi pada umat Kristiani Jerman yang anti-Islam. Muslim Indonesia juga tidak anti-gubernur non-Muslim jika mereka dapat menjaga kata-kata dan perilakunya.

Muslim Indonesia hanya anti-Ahok yang kata-kata dari mulutnya tak beradab. Karena itulah, Haedar Nashir berpesan, "Pemimpin harus pandai merawat kata karena dari kata itulah sering jadi bencana."

Jadikan peristiwa "Gelombang 411" ini sebagai bentuk kematangan demokrasi Indonesia, yang hampir mencapai dua dekade sejak 1998 dengan tetap menjaga keadaban, bukan kebiadaban. Mit freundlichen Grüßen von Deutsche Muslime. 

Ridho Al-Hamdi

Kandidat Doktor Ilmu Politik Universitas TU Dortmund Jerman, Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement