Rabu 02 Nov 2016 11:00 WIB

Islam, Syariah, dan Halal

Red:

Perkembangan ekonomi Islam di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari gelombang ekonomi Islam yang terjadi pada tataran global. Namun, Indonesia sering terlambat merespons perkembangan, sehingga kerap kali kalah langkah dan lalu kalah bersaing jika dibandingkan negeri jiran.

 

Semangat mempraktikkan Islam secara kaffah, termasuk di bidang ekonomi, muncul di paruh kedua abad ke-20, setelah banyak negara Muslim merdeka dari penjajah. Percikan pemikiran ini muncul dari sebagian kaum intelektual Muslim, yang berkesempatan belajar di Barat pada dekade 1950-an.

Mereka mulai menyadari sesungguhnya ajaran Islam yang kaffah dapat dijadikan premis tidak saja dalam ilmu pengetahuan umum, tetapi juga di bidang ekonomi. Keyakinan baru pun muncul bahwa sistem ekonomi Islam adalah unik dan berbeda dari sistem yang berlaku saat itu, yakni kapitalisme, sosialisme, dan percampuran dua sistem tersebut yang dikenal dengan ekonomi campuran (mix economy).

Sejak saat itu dimulailah penelitian serius dan mendalam di kalangan ahli keuangan ataupun ekonomi serta ulama di bidang ilmu syariah, untuk mengecek dan mempersiapkan cara merealisasikan ekonomi Islam dalam kenyataan.

Uji coba keuangan Islam dimulai oleh inisiatif individual ketika berdiri lembaga simpanan berbasis bagi hasil di Mesir pada 1963, yaitu Mit Ghamr Local Saving. Dr Ahmad El-Naggar yang mendirikan lembaga itu di Kota Mit Ghamr, Mesir.

 

Kemudian pada 1975, atas inisiatif dari negara-negara Islam (yang juga mendorong terbentuknya Organisasi Konferensi Islam/OKI), didirikanlah Bank Pembangunan Islam (Islamic Development Bank/IDB). Ini adalah bank Islam pertama yang didasarkan pada prinsip nonriba, non-gharar, non-maysir, dan dikelola secara manajerial modern dan profesional. Hingga kini, IDB tetap menjadi leading dari lembaga keuangan Islam.

Saat itu, para pemikir Muslim menekankan, lembaga keuangan yang baru ini diberikan embel-embel Islamic di depannya, seperti Islamic Economics, Islamic Finance, atau Islamic Bank. Pelabelan ini penting karena lembaga keuangan ini didasarkan pada prinsip Islam yang secara fundamental berbeda dari prinsip keuangan konvensional. Sejak itu, label Islamic menjadi istilah baru dalam percaturan keuangan internasional dan diterima begitu saja, taken for granted.

Tidak ada yang mempermasalahkan konotasi ini sehingga tak pernah ada resistensi dari dalam negara, tempat didirikan lembaga itu ataupun di negara-negara Barat. Juga tidak ditemukan kecurigaan dari kalangan Barat bahwa di balik konotasi Islami ini, ada agenda Islamisasi atau semacamnya.

Indonesia dan Islamofobia

Agak berbeda dengan kasus ini di Indonesia. Dalam kurun medio dekade 1970-an hingga akhir dekade 1980-an, peneliti dan pemikir ekonomi Islam di Tanah Air belum bisa berbicara terbuka mengenai ekonomi berlandaskan Islam, karena situasi politik yang belum memungkinkan.

Saat itu pemerintah dan negara masih mewaspadai segala gerakan yang berkonotasi Islam. Dilanjutkan dengan asas tunggal dalam perpolitikan nasional. Maka muncullah istilah ekstrem kanan dan kiri.

Waktu itu, bila ada pembahasan dalam seminar mengenai Islam, sering kali disalahpersepsikan sebagai kelompok yang ingin mengganggu stabilitas nasional, bahkan dituduh akan mendongkel Pancasila. Tuduhan paling ringan, ingin menghidupkan kembali Piagam Jakarta.

 

Walaupun di Malaysia ekonomi Islam sudah bergerak dengan adanya Bank Islam Malaysia Berhad yang berdiri pada 1982, Indonesia belum bisa melakukan langkah konkret karena masih terkendala situasi politik.

Namun, karena gelombang lembaga keuangan Islam atau bank Islam ini terus membesar di luar negeri, keberanian bicara mengenai Islam juga fikih Islam secara terbuka mulai muncul. Kajian, seminar, lokakarya bertemakan bagaimana mendirikan bank Islam di Indonesia pun mulai berani dihelat.

 

Pemerintah pun mulai melunak dengan mengakomodasi gagasan mendirikan bank Islam. Namun, ketika hendak mendirikan bank Islam, timbul pertanyaan menarik: Apa nama bank itu?

Kalau dinamakan bank Islam, dikhawatirkan muncul kesan sebagai ekstrem kanan, atau minimal mau menghidupkan kembali Piagam Jakarta. Fobia kepada kaum Muslimin saat itu cenderung dibesar-besarkan.

Dipilihlah nama yang tidak menimbulkan stigma menakutkan di mata kelompok lain. Bank Muamalat adalah bank Islam pertama di Indonesia dengan menggunakan konotasi muamalat, dan meninggalkan konotasi Islam guna menghindari resistensi kalangan tertentu. Sejatinya, muamalat adalah semua aktivitas yang terkait urusan pergaulan hidup, apakah itu di bidang ekonomi atau sosial.

 

Bank Muamalat adalah bank Islam pertama yang menjadi kompromi bagi seluruh kelompok kemajemukan Indonesia. Berdiri pada 1991 dan beroperasi  penuh pada 1992, atau tertinggal 10 tahun sejak Malaysia mendirikan bank Islam pertamanya.

 

Bank Muamalat didirikan dengan landasan UU No 7 Tahun 1992 yang membolehkan bank beroperasi dengan prinsip bagi hasil. Apa itu bagi hasil, tidak ada penjelasan perinci.

Dengan berlandaskan aturan ini, Bank Muamalat sebenarnya tidak bisa dikatakan bank Islam atau bank syariah. Bank yang beroperasi dengan prinsip bagi hasil tidak serta-merta dapat disebut bank syariah. Ada kriteria lain yang harus dipenuhi bank jika ingin dikatakan syariah atau Islami. Namun, hal itu sudah cukup membuat kaum Muslim di Indonesia lega dan bangga.

Sepanjang 1992 hingga 1998 tak ada perkembangan signifikan dari bisnis bank tersebut, kecuali kebanggaan dan euforia umat Islam Indonesia. Kebanggaan itu bertambah ketika pada 1998, era kepemimpinan Presiden BJ Habibie, diloloskan UU No 10 Tahun 1998, yang mengatakan di perbankan Indonesia berlaku sistem bank syariah dan konvensional.

Itulah revolusi dalam UU kita, untuk mengadopsi dan tidak malu-malu lagi menyatakan keuangan Islam adalah formal bagi negara ini meskipun disebut sebagai bank syariah, bukan bank Islam.

Mungkin dari UU inilah istilah syariah sebagai pengganti Islam menjadi resmi dan diterima semakin luas di Indonesia. Ini menegaskan bahwa penggunaan istilah syariah merujuk kepada lembaga keuangan islam di Indonesia, masih belum benar-benar matching dengan istilah yang sama di luar negeri.

Lalu, mengapa memilih kata "syariah", bukan "Islam"? Dengan memberi embel-embel Islam, sebagian bangsa kita masih trauma sehingga akan menimbulkan stigma yang tidak diperlukan.

Dengan kebesaran jiwa, kaum Muslimin sebagai mayoritas negeri ini mengalah dan menggunakan nama syariah. Hilangnya kata-kata Islam adalah bukti luar biasa dari kebesaran hati kaum Muslimin untuk hidup bersatu di negara ini, tetap teguh berpegang pada Alquran dan sunah, dan hidup damai dengan kelompok lain.

Dari syariah ke halal

Kini untuk menerapkan ajaran Islam tidak terbatas pada lembaga keuangan, bank atau nonbank, tetapi meluas ke sektor lain. Ini terjadi di seluruh dunia.

Gelombang itu mulai menyapu sektor pariwisata. Tren terakhir, pariwisata yang berdasarkan pada agama (religious tourism) mengalami perkembangan yang semakin besar di negara-negara Muslim atau non-Muslim. Dan itu merupakan lahan sangat lukratif untuk bisnis.

Tren ini lebih dahulu ditangkap oleh banyak negara, seperti Cina, Thailand, Jepang, Australia, dan Eropa yang notabene non-Muslim. Mereka berlomba menawarkan jasa pariwisata berbasis Islam atau halal tourism.

Di industri pariwisata, istilah halal lebih dikenal daripada Islam atau syariah. Penyebabnya, antara lain, istilah halal untuk minuman dan makanan sudah dikenal lebih dahulu daripada istilah Islam dan syariah.

Non-Muslim juga lebih adaptif dibandingkan penggunaan istilah Islam dan syariah. Tidak menimbulkan stigma negatif yang lebih besar dibandingkan kedua istilah tadi.

Thailand adalah negara jiran yang serius menggarap pangsa pasar ini. Negara ini bertekad menjadi the world largest kitchen halal in the world.

Menurut Global Muslim Travel Index (GMTI) yang melakukan penilaian terhadap 130 destinasi wisata di negara-negara Islam pada Maret 2016, pariwisata Indonesia berada di peringkat keempat setelah Malaysia, Uni Emirat Arab, dan Turki.

Memang kini kita masih menggunakan istilah syariah untuk industri pariwisata, tapi siapa tahu akan berganti menjadi pariwisata halal dengan alasan mengikuti tren di luar negeri. Atau tidak berganti seperti konotasi syariah pada lembaga keuangan sebagai preseden sebelumnya.

Kiranya waktu yang akan menjawabnya bagi upaya pencarian identitas di tengah bingkai kompromi. 

Ikhwan Abidin Basri

Anggota Dewan Syariah Nasional

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement