Senin 31 Oct 2016 12:00 WIB

Bank Syariah, Asosial?

Red:

Ajakan Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo agar perbankan syariah mulai menguatkan sisi pembiayaan sosial melalui pengelolaan zakat dan wakaf dalam seminar "Integrating Islamic Commercial and Social Finance to Strengthen Financial System Stability" di Surabaya, (27/10), patut diapresiasi. Hemat penulis, pandangan ini mengisyaratkan dua hal. Pertama, kritikan halus dari BI yang melihat perbankan syariah cenderung menitikberatkan sisi komersial, kurang memberikan aksentuasi dalam pengembangan sosial masyarakat. Kedua, ada iktikad dari BI untuk melecut perbankan syariah agar lebih berorientasi kepada kesejahteraan rakyat, bukan semata memperjuangkan keuntungan pemegang saham saja.

 

Asosial?

Benarkah bank syariah kurang atau belum berpihak kepada masyarakat (bawah)? Betulkah bank syariah tidak ubahnya bank konvensional yang menempatkan profit sebagai prioritas pertama sehingga urusan pemberdayaan masyarakat (sosial) kurang diperhatikan? Dengan ungkapan yang agak ekstrem, bank syariah bisa dianggap asosial? Tulisan ini mencoba melihatnya secara proporsional dan menawarkan jalan keluarnya.

 

Tidak hanya di Indonesia, di belahan dunia yang lain aktivitas perbankan syariah diakui memperlihatkan titik perkembangan yang cukup mengesankan. Menurut publikasi Islamic Financial Services Board IFSB (2015), total aset perbankan Islam dunia, yang dihimpun dari 31 negara, mencapai 1,49 triliun dolar AS. Jumlah ini mewakili 80 persen dari total aset keuangan Islam global. Kontribusi terbesar didukung dari kawasan GCC (Gulf Cooperation Council) hampir mendekati 600 miliar dolar AS dan kawasan MENA (Middle East and North Africa) mencapai 607,5 miliar dolar AS. Pertumbuhan asetnya, menurut publikasi Earnest Young (2016), masih cukup tinggi, yakni rata-rata 16 persen per tahun dengan potensi market bisa tumbuh enam kali dari yang saat ini sudah digarap.

 

Namun, sejalan dengan pertumbuhan ini, para peneliti mulai mengkritisi perbankan syariah yang dianggap belum maksimal dalam konstribusinya mendukung penguatan keadilan sosial dan ekonomi bagi masyarakat kebanyakan (Asutay, 2007; Mohd Nor, 2016). Sebagian lagi menyoroti perbankan syariah yang lebih mementingkan bungkus "formal" daripada "substansi", sekadar memenuhi kriteria syariah dalam kontrak-kontraknya, tapi lupa dengan tujuan yang lebih besar dari syariah, yakni mewujudkan masyarakat yang maju yang berkeadilan dan turut mengurangi kemiskinan (Nienhaus, 2011).

 

Ekspektasi bahwa bank syariah akan melakukan penguatan pembiayaan yang menyangkut sosial ini lumayan besar. Bisa dimaklumi karena pendirian bank syariah sebagai antitesis dari perbankan konvensional, antara lain untuk menghindarkan eksploitasi ekonomi dari yang kuat kepada yang lemah, meningkatkan kapasitas dan kesejahteraan masyarakat luas dengan memberikan peluang seluas-luasnya kepada pihak-pihak yang selama ini belum bisa mengakses perbankan. Optimisme perbankan syariah bisa lebih luwes dan berdaya lebih tinggi dalam melayani masyarakat yang masih termarginal (unbankable) karena perbankan syariah memiliki fitur yang unik yang tidak dimiliki bank konvensional. Misalnya, melalui pengelolaan zakat. Bank syariah juga bisa memainkan peran sosialnya melalui qardhul hasan (pinjaman kebaikan, di mana bank tidak mengambil keuntungan karena si peminjam hanya mengembalikan dana pokok pinjaman, baik secara sekaligus maupun angsuran).

 

Pada 2015 besar pembiayaan qardhul hasan di bank syariah nasional mencapai  Rp 10,6 triliun atau sekitar 1,85 persen dari total pembiayaan syariah. Jumlah ini menurun dari tahun sebelumnya 2014 yang mencapai Rp 11,46 triliun (3,2 persen). Rekor tertinggi dalam 10 tahun terakhir, pembiayaan qardhul hasan pernah mencapai hampir tujuh persen dari total pembiayaan pada 2010.

 

CSR

Dalam perspektif konvensional, minimnya konstribusi sosial perusahaan tidak bisa sepenuhnya disalahkan kepada pebisnis. Menurut Friedman (2007), tanggung jawab sosial dari entitas bisnis adalah meningkatkan keuntungan (social responsibility of business is merely to increase its profits). Pandangan yang terkesan selfish ini belakangan sudah mulai ditinggalkan. Pengelola bisnis ramai-ramai menjalankan apa yang mereka sebut sebagai corporate social responsibility (CSR) dengan mengalokasikan sebagian dana keuntungan perusahaan untuk kegiatan sosial.

 

Ide CSR dalam perspektif Islam bukanlah hal baru. Menurut Dusuki (2008), aturan syariah menghendaki entitas bisnis untuk menjadi pelayan (steward) masyarakat karena mereka tidak hanya sekadar sebagai "alat" pemegang saham, tetapi lebih besar dari itu, mereka juga menjadi wakil Tuhan yang harus mengejar keberkahan-Nya.

 

Namun, meski ada yang sudah menjalankan CSR, tetap saja hasil akhirnya masih dianggap minim. Penelitian terbaru yang dipaparkan Asutay dan Harninngtyas (2015) menyangkut apakah perbankan syariah sudah benar-benar menjalankan kegiatan sesuai tujuan syariah (maqashid syariah)—termasuk cakupan kontribusi sosialnya—mengindikasikan hasil yang belum menggembirakan. Dari 13 bank dan institusi keuangan dari enam negara yang mereka jadikan sampel, yang terbagus baru bisa mewujudkan 60 dari total 283 nilai yang semestinya dicapai atau baru sekitar 21,2 persen. Meskipun masih mengecewakan, yang cukup memberikan harapan, bank syariah yang tertinggi dalam pelaksanaan maqashid syariah dalam penelitian itu berasal dari Indonesia.

 

What's next ?

Belum ada kriteria yang disepakati memang, berapa persen idealnya pembiayaan untuk kebaikan diperlukan. Katakanlah, idealnya mencapai 10 persen dari total pembiayaan, maka perlu memutar otak bagaimana menutup dana yang diperuntukkan qardhul hasan ini, yang bila mengambil data dari tahun 2014-2015 baru antara 1,85 persen-3,2 persen saja. Kalau semata-mata mengandalkan dari bank, sungguh berat dan sulit diharapkan.

 

Dalam kapasitas ini, mungkin ada baiknya kita belajar dari Social Bank (ada yang menyebutnya Ethical bank) yang mulai banyak berdiri di Eropa. Bank sosial ini sesuai namanya memang dari awal diset untuk memfasilitasi pembiayaan dari kalangan yang selama ini kurang tersentuh pendanaan dari bank konvensional. Prinsip operasinya memanusiakan manusia (people), menjaga alam dan lingkungan (planet), dan keuntungan yang berkesinambungan (profit). Pembiayaan untuk sosial dan proyek-proyek yang menyangkut komunitas, meskipun terkadang kurang feasible secara ekonomi, bisa dipertimbangkan. Kuncinya terletak di investor yang siap berkorban /(dedicated investor) atau pemegang saham yang dari awal memang tidak terlalu menuntut mendapatkan keuntungan tinggi selama pengucuran pembiayaan dialokasikan untuk pemberdayaan masyarakat.

 

Dalam konteks bank syariah, mencari dedicated investor tidak mudah. Tetapi, kalau porsi ini diisi dengan dana-dana yang berhasil dihimpun dari zakat dan wakaf, kisahnya bisa lain. Di sinilah ajakan BI menjadi relevan. Dana dari zakat dan wakaf, perlu ditangani secara profesional. Kalau dana itu akan ditujukan untuk pengembangan proyek atau bisnis yang ada di masyarakat, siapa lagi yang memiliki sumber daya yang andal untuk mengelolanya kalau bukan perbankan? Di sini perlu sinergi yang baik antara bank syariah dan pengelola zakat/wakaf. Di samping itu, perlu upaya ekstra dari pihak bank agar program mereka terkait zakat/wakaf ini memang program yang dijalankan dengan sepenuh hati. Di sini BI ataupun OJK bisa turut memprakarsai target apa yang harus dicapai oleh bank syariah terkait pembiayaan sosial. Kalau tidak, program ini hanya akan menjadi semacam "tempelan" yang terus memperpanjang kesan asosial bank syariah.

M Luthfi Hamidi

Dosen STEI SEBI, Mahasiswa Doktoral, Accounting, Finance, and Economics Department, Griffith University, Australia

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement