Jumat 21 Oct 2016 14:00 WIB

Menyiasati Repatriasi Dana

Red:

Pemerintah tidak perlu terlalu bereuforia dengan keberhasilan sementara dari program amnesti pajak (tax amnesty). Toh tidak akan berarti semua pencapaian amnesti pajak jika pemerintah tidak segera menata persoalan perpajakan di Indonesia. Jika amnesti pajak hanya digunakan untuk instrumen pajak jangka pendek atau sekadar penambahan penerimaan pajak dan adanya pemutakhiran data WP, besar kemungkinan ke depan tingkat kepatuhan WP kembali turun dan agenda perbaikan perpajakan menemui jalan terjal.

 

Untuk itu, pemerintah harus bersiap diri menyusun agenda reformasi perpajakan seusai program amnesti pajak. Ada beberapa hal yang perlu dilakukan perbaikan segera. Pertama, penataan regulasi perpajakan melalui revisi paket undang-undang perpajakan. Hal tersebut  harus segera dilakukan pemerintah sebagai dasar yuridis reformasi perpajakan di Indonesia. Beberapa ajuan revisi sudah masuk ke dalam program legislasi nasional (prolegnas) sampai saat ini masih berjalan lambat. Jadi pemerintah bersama legislatif harus memastikan segera, masalah penyelesaian beberapa revisi paket undang-undang perpajakan.

 

Kedua, memperbaiki sistem administrasi perpajakan. Salah satu yang perlu dibenahi adalah sistem informasi dan database perpajakan. Data-data amnesti pajak harus terkelola dalam sistem informasi dan database yang baik dan masuk dalam sistem administrasi perpajakan, sehingga dapat dioptimalkan dalam jangka panjang. Salah satu yang perlu diterapkan adalah penggunaan single identification number (SIN), misalnya. SIN dipergunakan sebagai instrumen untuk mengintegrasikan semua data, seperti data kependudukan, data keuangan, data kepemilikan aset, dan data perpajakan. Dengan demikian, SIN harus terutilisasi dalam sistem administrasi perpajakan.

 

Ketiga, penegakan hukum dan perbaikan sistem peradilan pajak. Setelah adanya soft oriented policy melalui amnesti pajak, setelah amnesti pajak pemerintah harus tegas dalam penegakan hukum perpajakan. Tanpa itu, program amnesti pajak akan sia-sia. Pemerintah harus menindak praktik WP yang menghindar dan mengelak dari pajak. Jika perlu dibentuk tim khusus untuk mengejar data-data aset yang disembunyikan oleh WP.

 

Secara kasat mata, amnesti pajak diharapkan dapat membawa pulang dana WNI yang kabarnya sangat banyak diparkir di luar negeri. Berdasarkan data Global Financial Integrity Report tahun 2015, diperkirakan dana tersebut bernilai hingga Rp 3.147 triliun. Sudah barang tentu angka tersebut adalah angka yang sangat menakjubkan jika bisa direpatriasi karena akan memberikan dorongan yang besar terhadap perekonomian nasional. Oleh karena itulah mengapa pasar begitu antusias menyambut datangnya kebijakan amnesti pajak.

 

Lihat saja reaksi pasar belakangan ini. Selama Juli, nilai tukar rupiah menguat mendekati level Rp 13.000 per dolar AS dan sempat tembus level Rp. 12.900-an pada akhir September. Indeks saham pun menembus level 5.200. Imbal hasil SBN juga terus menurun hingga mencapai 6,99 persen, terendah dalam tiga tahun terakhir. Dan dari perkembangan yang ada, aliran dana dari luar negeri terus masuk meskipun amnesti pajak. Jadi sangat besar harapan pelaku usaha dan pemerintah, agar dana repatriasi terus meningkat mendekati akhir 2016.

 

Namun, menghadapi arus dana repatriasi dan capital inflow yang besar dalam waktu singkat, tentu tidak semata bersisi negatif dan oleh karenanya juga  membutuhkan antisipasi yang matang. Jika diasumsikan 1/3 dari dana yang parkir di luar negeri mendaftar amnesti pajak dan separuhnya saja direpatriasi, akan ada sekitar Rp 500 triliun menyerbu perekonomian dalam negeri. Jika salah mengantisipasi tentu bisa saja membuat dana repatriasi justru kembali lagi ke tempat asalnya. Atau justru turut menyebabkan sudden capital reversal, khususnya di pasar keuangan.

 

Imbasnya, kehadiran dana tersebut juga dapat mendorong kenaikan harga aset yang terlampau tajam atau kerap dikenal dengan istilah bubble. Pengalaman menunjukkan aliran dana masuk yang masif tidak selalu menguntungkan untuk perekonomian seperti Indonesia. Ambil contoh, arus capital inflow yang pernah dialami perekonomian Indonesia terjadi pada periode Quantitative Easing (QE) The Fed 2010-2012. Sebelum QE diluncurkan, transaksi finansial yang masuk ke Indonesia dalam Neraca Pembayaran Indonesia berkisar 3 miliar dolar AS sampai 5 miliar dolar AS per tahun.

 

Namun pasca-QE The Fed, arus transaksi finansial masuk meningkat tajam mencapai 26 miliar dolar AS pada 2010. Positifnya, aliran dana QE mendorong kenaikan indikator pasar keuangan domestik. Nilai tukar rupiah menguat tajam dari kisaran Rp 10 ribu per dolar AS (2009) menjadi kisaran Rp 8.700 (2011). Posisi cadangan devisa tumbuh pesat dari 66 miliar dolar AS (2009) menjadi 99 miliar dolar AS (2012). Kredit perbankan pun tumbuh cukup kencang mencapai 18 persen hingga mendorong LDR naik dari 73 persen (2009) menjadi 89 persen (2013).

 

Nah, seturut dengan itu, berbagai efek samping pun muncul. Sektor eksternal Indonesia mendadak jadi tertekan. Di tengah penguatan nilai tukar yang tajam dan dipersepsikan semakin murah, impor pun semakin meningkat, baik migas maupun nonmigas, bahkan barang konsumsi. Kemudian, kinerja ekspor menjadi semakin buruk akibat melemahnya harga komoditas andalan Indonesia, seperti minyak, batu bara, dan CPO, yang sekaligus membuat Indonesia memasuki rezim current account deficit  pada 2012 sebesar -2,8 persen terhadap PDB. Padahal pada 2009, neraca transaksi berjalan Indonesia masih positif.

 

Imbas lainnya adalah peningkatan kerentanan nilai tukar. Hal ini diperburuk dengan semakin tingginya posisi utang luar negeri korporasi, apalagi jika belum menerapkan kebijakan lindung nilai yang terukur. Akibatnya, pada saat The Fed akan melakukan tapering pada Mei 2013, terjadi pembalikan dana secara masif dan nilai tukar rupiah  kembali melemah, bahkan sempat overshoot mencapai level Rp 14 ribu per dolar AS. Beberapa perusahaan membukukan kerugian selisih kurs akibat tidak melakukan hedging. Indonesia pun sempat masuk ke dalam kategori negara fragile five, lima negara dengan kerentanan nilai tukar akibat tingginya ketergantungan kepada dana asing.

 

Dan imbas yang tak terhindarkan lainnya adalah meningkatnya ongkos moneter untuk penyerapan likuiditas. Ketika itu, posisi operasi moneter selama pelaksanaan QE terus meningkat, dari kisaran Rp 257 triliun per bulan (2009) menjadi Rp 390 triliun pada 2011. Biaya operasi moneter yang digelontorkan Bank Indonesia meningkat tajam, hingga menyebabkan defisit sebesar Rp 46 triliun selama 2010-2011.

 

Berdasarkan pengalaman Indonesia dalam menghadapi QE 2009-2013 tersebut, sejatinya pengambil kebijakan ataupun pelaku ekonomi diharapkan jangan terlalu mengedepankan euforia capital inflow semata, dan segera menetapkan langkah-langkah antisipatif. Misalnya, pengayaan instrumen keuangan. Program pendalaman pasar keuangan perlu diperkuat, baik di pasar uang maupun pasar modal. Kebutuhan investor perlu dipahami baik untuk pengelolaan likuiditas, pengelolaan risiko nilai tukar, hingga optimalisasi pendapatan.

 

Di sinilah pentingnya koordinasi dan sinergi antarotoritas di pasar keuangan untuk berbagi tugas dalam penerbitan instrumen. Penerbitan instrumen di pasar uang, hedging ataupun pengelolaan moneter untuk likuiditas jangka pendek dilakukan oleh BI, khususnya untuk antisipasi aliran likuiditas serta penguatan lindung nilai. Sementara itu, OJK bisa mendorong pengayaan instrumen pembiayaan investasi korporasi jangka panjang di pasar modal, baik saham maupun obligasi.

Kementerian Keuangan juga dapat melakukan diversifikasi dan efisiensi pembiayaan APBN, dengan meningkatkan penerbitan SPN yang lebih murah daripada SBN bertenor panjang. Dan masih banyak lagi langkah lainnya. Semoga semua stakeholder yang terkait dengan tax amnesty, terutama otoritas terkait, bisa lebih bijak dalam menyikapi limpahan dana repatriasi. 

Ronny P Sasmita

Penulis adalah Staf Ahli Komite Ekonomi dan Industri Nasional Republik Indonesia

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement