Senin 17 Oct 2016 16:00 WIB

Badan Ketahanan Pangan

Red:

"Ketersediaan pangan tidak mampu mengikuti pertambahan jumlah penduduk, sebagai akibat terbatasnya kapasitas tanah untuk memproduksi pangan dan tidak terkendalinya pertumbuhan penduduk. Bahaya kelaparan menjadi respons alamiah dari krisis pangan tersebut." Thomas Robert Malthus, An Essay on the Principle of Population 1798

Hari Pangan Sedunia (HPS) ke-36 tahun 2016 merupakan kalender tahunan yang dilaksanakan di setiap negara di dunia. Semestinya, Teori Malthus tersebut sudah tumbang dengan data produksi dan ketersediaan pangan per kapita dunia telah meningkat dari 2.220 kkal/orang/hari pada tahun 1960-an menjadi 2.879 kkal/orang/hari pada 2011 (FAO, 2012). Bahkan, khusus di negara berkembang, terjadi peningkatan signifikan, dari 1.850 kkal/orang/hari menjadi 2.640 kkal/orang/hari. Hal yang sama pun terjadi di Indonesia, yaitu dari 2.000 kkal/orang/hari pada 1960-an menjadi 2.700 kkal/orang/hari pada 1990-an.

Namun, Teori Malthus potensial menjadi valid lagi saat melihat FAO Hunger Map 2015, ternyata kelaparan dan kemiskinan masih menjadi dua isu besar dunia.  Sekitar 793 juta orang atau satu dari sembilan orang di dunia harus tidur dalam kondisi kelaparan. Dalam konteks Indonesia, berdasarkan MDG Report Tahun 2014, terdapat 17,39 persen masyarakat Indonesia yang hidup dengan kondisi sangat rawan pangan. Indikator yang digunakan adalah proporsi penduduk dengan asupan kalori < 1.400 kkal/orang/hari.

Sesuai dengan arahan FAO, dalam memperingati HPS 2016, Indonesia mengambil tema "Membangun Kedaulatan Pangan Berkelanjutan dalam Mengantisipasi Perubahan Iklim". Sesuai  amanah UU No 18 Tahun 2012 tentang Pangan, Pemerintah Indonesia harus berjuang dalam penyelenggaraan pangan untuk meningkatkan produksi secara mandiri, menyediakan pangan yang beraneka ragam, dan memenuhi persyaratan keamanan, mutu, dan gizi bagi konsumsi masyarakat, mewujudkan kecukupan pangan pokok dengan harga yang wajar dan terjangkau.

Kalau dihitung dari total ketersediaan pangan yang ada di Indonesia, stok pangan sudah mencukupi. Tersedia 2.600 kilo kalori/per hari/orang, sedangkan kebutuhan per hari 2.250 kilo kalori/ orang. Faktanya, di masyarakat masih ada yang kelaparan. Permasalahannya ada tiga hal. Sebagian terlalu berlebihan dalam masalah konsumsi sehingga berpotensi obesitas. Kedua, orang yang menyisakan makanan, dan ketiga adalah akses serta distribusi pangan yang tidak terjangkau karena daya beli, infrastruktur yang sulit, serta kegiatan produksi pangan yang tidak terdistribusi secara proporsional.

Perlu penyikapan yang bijak terkait masalah ini karena akan menjadi masalah besar, bila tidak diatur oleh negara. Masalah pangan merupakan hal prinsip dalam sebuah negara. Jauh-jauh hari Ir Soekarno, presiden pertama Republik Indonesia sudah mengingatkan kepada bangsa ini, "Pangan adalah urusan hidup dan matinya suatu bangsa!" Pernyataan tegas dari seorang presiden yang hebat. Beliau tahu, apalah jadinya sebuah negara tanpa kedaulatan pangan. Kita akan selalu menjadi bangsa pengimpor.

 Kita apresiasi kerja keras yang dilakukan pemerintah sejak tahun 2014 hingga 2016 dalam meningkatkan produksi padi, jagung, dan kedelai (pajale).  Namun, pangan tidak hanya pajale. Cermatilah potensi pangan karbohidrat lain di Indonesia yang jumlahnya mencapai 77 jenis. Ada singkong, ubi jalar, sorgum, jagung, dan tanaman lainnya yang bisa ditanam di lahan-lahan marjinal dan jumlahnya, menurut Dr Ladiyani Widowati dari Balai Penelitian Tanah Pusat, berkisar 91 juta hektare. Bila lahan tersebut diekstensifikasi, tentu akan menambah stok pangan dan menjaga kearifan lokal.

Sungguh ironis, Indonesia yang kaya akan sumber karbohidrat, tapi tidak mendapatkan sisi keuntungan dari sisi keragaman pangan dan kesehatan. Kita terlalu bergantung pada nasi padi dan terigu. Padahal, karbohidrat lain, seperti sorgum, jagung, singkong, pisang, talas, sukun, labu kuning, atau sagu dapat tumbuh subur dan melimpah di Indonesia. Aneka karbohidrat tersebut tak hanya sebagai 'camilan', tapi juga dapat disajikan sebagai menu pokok yang cukup dan lebih menyehatkan.

Solusi

Di tengah gempuran masuknya pangan pokok impor, ada beberapa hal yang mestinya dilakukan oleh pemerintah. Pertama, meningkatkan produksi aneka varietas tanaman pangan secara intensif dan ekstensif.  Selain produksi pajale, aneka tanaman pangan lain yg dapat tumbuh, termasuk di lahan marjinal, harus juga digalakkan. Kedua, tingkatkan kreativitas ketersediaan aneka jenis pangan yang mudah diakses, terjangkau harganya, dan menarik selera hingga seluruh lapisan masyarakat tertarik mengonsumsi aneka pangan, yang sehat dan menyehatkan.

Ketiga, kebijakan strategi dan rencana aksi tentang pangan dan gizi harus segera diimplemetasikan secara terpadu, antara Kemenkes dan Kementan untuk menyelesaikan problem gizi balita Indonesia. Secara persentase, kebijakan strategis pangan dan gizi yang dilakukan oleh Kementan berupa 'Intervensi Sensitif' memiliki kontribusi 70 persen, sedangkan program 'Intervensi Spesifik' dari Kemenkes ada di angka 30 persen terhadap penyelesaian problematika gizi balita. Bappenas harus memperhatikan dan menganggarkan secara proporsional, dan cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi yang baik bagi balita di Indonesia.

       

Menunggu komitmen Presiden

Dengan tema "Membangun Kedaulatan Pangan Berkelanjutan dalam Mengantisipasi Perubahan Iklim", pemerintah harus bekerja keras melakukan kegiatan penyelenggaraan pangan yang dapat menjamin terwujudnya kedaulatan pangan, kemandirian pangan, dan ketahanan pangan. Dengan demikian, dalam menjalankan amanah UU 18 Tahun 2012 tentang Pangan, pemerintah tidak cukup hanya berkonsentrasi pada kegiatan produksi pajale yang dipimpin oleh Kementan. 

Penyelenggaraan pangan harus dilakukan pemerintah secara komprehensif, meliputi aspek produksi yang telah dibahas sebelumnya, mempermudah akses pangan bagi masyarakat, terutama masyarakat rawan pangan dan gizi, meningkatkan nilai tambah dan daya saing komoditas pangan di pasar dalam negeri dan luar negeri. Juga meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang pangan yang bergizi, aman, dan berkualitas untuk dikonsumsi masyarakat. Di samping itu, program pemerintah dalam bidang pangan harus mampu meningkatkan kesejahteraan para petani, nelayan, pembudi daya ikan, serta pelaku usaha pangan nasonal. 

Oleh karena itu, pemerintah perlu membentuk lembaga yang mempunyai otoritas kuat melakukan koordinasi, mengatur, dan mengarahkan lintas kementerian/lembaga dalam berbagai kebijakan dan program terkait pangan, sebagaimana termaktub dalam Pasal 126 yang berbunyi, "Dalam hal mewujudkan kedaulatan pangan, kemandirian pangan dan ketahanan pangan nasional, dibentuk lembaga pemerintah yang menangani bidang pangan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden."  Selanjutnya, dalam Pasal 127 dinyatakan, "Lembaga pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pangan." 

Sesuai dengan amanah UU 18/2014, pemerintah mestinya sudah membentuk lembaga tersebut paling akhir November 2015. Untuk itu, agar penyelenggaraan pangan di Indonesia berjalan efektif dan efisien, sekaligus menumbangkan Teori Malthus di Indonesia dengan menghapuskan segala bentuk kelaparan di Indonesia. Tidak ada salahnya jika dalam HPS ke-36 ini, Bapak Presiden RI segera membentuk Lembaga Pangan sesuai UU 18/2016 dengan usulan nama: Badan Ketahanan Pangan Nasional.

Nurmahmudi Isma'il

Peneliti Utama Kebijakan Pangan BPPT

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement