Rabu 28 Sep 2016 14:00 WIB

Ramalan dan Branding Pilgub Jakarta 2017

Red:

Kemarin saya diajak ngopi oleh mentor saya, Mpu Peniti. Saya tiba terlambat mendekati 30 menit ketika sampai di rumah beliau. Di ruang tamu, telah berkumpul lebih dari selusin teman beliau.

Hidangan yang tersaji adalah teh poci, kopi tubruk, nasi ketan, dan getuk. Saya langsung paham. Ini peristiwa sangat bersejarah yang penting. Dan benar saja, karena topik diskusi sangat panas. Soal Pilgub Jakarta 2017.

Dalam beberapa hari ini saja, perang mental dan fisik di media sosial sudah memanas. Berbagai serangan dari banyak pihak sudah gencar dilempar menjadi topik dan isu. Dari yang humor hingga yang super kreatif. Black campaign juga mulai bermunculan, sejarah lama dan reputasi zaman dulu dari para kontestan mulai dibuka kembali. Semuanya menunjukkan betapa kampanye ini akan berlangsung sangat seru dan panas.

Diskusi di rumah mentor saya, Mpu Peniti, sangat berbeda. Teman-teman Mpu Peniti kebanyakan sudah sepuh, dan semuanya menekuni filsafat spiritual Jawa. Jadi tentu saja teropongan mereka semuanya lewat kacamata spiritual. Siapa yang bakal menjadi DKI-1 dan pertanda alam yang membayangi kejadian ini.

Buat saya pribadi sebagai orang Indonesia, latar belakang spiritual selalu sangat menarik, karena pekat dengan sentuhan budaya dan pengaruh alam semesta. Sebuah jalur belajar yang sangat berbeda.

Tafsiran karma

Seorang rekan Mpu Peniti memberikan tafsiran menarik. Menurut beliau, sebuah lingkaran karma akan berputar dan kembali ke poros semula, bila kita menelisik kasus Anies Baswedan. Dicopotnya Anies dari kabinet oleh Presiden Joko Widodo memang penuh dengan misteri.

Anies yang cukup loyal dengan Jokowi dan bekerja sejak zaman relawan kena gusur begitu saja. Mengundang banyak pertanyaan dari berbagai pihak. Ada gosip yang mengatakan bahwa Anies kena gusur karena ada yang membisiki Jokowi bahwa Anies, bisa jadi pesaing serius nanti pada 2019. Dan Anies yang berseberangan dengan Prabowo Subianto di pemilu yang lalu, terbukti malah dipinang Prabowo dan dijadikan calon gubernur. Sebuah persekutuan yang baru.

Nah, ini fenomena menarik karena mirip dengan kejadian yang lalu ketika Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dipojokkan oleh Megawati, dan SBY balik menantang Megawati lalu malah menang di pemilu dan jadi presiden dua periode. Kalau karma berbalik arah, mungkinkah Anies Baswedan juga mengalahkan Jokowi di pemilu mendatang, dan malah menjadi presiden dua periode? Sebuah kemungkinan yang sangat menarik.

Tahun 2017, berdasarkan perhitungan shio adalah tahun ayam api. Buat Ahok yang memiliki shio kuda dan lahir pada 1966, ia punya sejumlah tantangan. Tahun 2017 merupakan tahun yang tidak berpihak kepada Ahok 100 persen. Terutama, pesaing calon gubernur yang tidak ia perkirakan sebelumnya, yaitu Anies dan Agus Harimurti Yudhoyono.

Jumlah pemilih di Jakarta konon mendekati tujuh juta pemilih. Teman Ahok hanya berhasil mengumpulkan sejuta lebih KTP. Artinya, ini cuma 15 persen dari total suara di atas kertas yang mendukung Ahok.

Andaikata pemilih yang ikut mencoblos itu 70 persen, artinya bakal ada hampir lima juta suara yang patut diperhitungkan. Tahun 2012, Jokowi menang 53,82 persen suara atau setara dengan 2,47 juta suara. Tahun 2017, Ahok maju tanpa Jokowi, dan inilah matematika yang harus diperhitungkan Ahok.

Secara spiritual, konon Ahok perlu mengkaji strategi secara matang dan teliti. Ahok dengan shio kuda perlu memperhatikan stamina dan temperamen, untuk dikombinasikan menjadi langkah-langkah kemenangan. Ini dua kunci terpenting.

Kasus Jokowi dari wali kota kemudian menjadi gubernur Jakarta dan menjadi presiden, ibarat kunci yang membuka kotak pandora. Itu sebabnya, posisi gubernur Jakarta menjadi acuan yang dilirik banyak orang. Termasuk, SBY yang dicaci maki di media sosial karena telah tega mengorbankan karier militer putra sulungnya.

Tetapi, mungkin saja SBY punya perhitungan yang berbeda. Siapa tahu, SBY punya ambisi mengincar kursi presiden pada 2019 lewat putra sulungnya. Yang menarik, SBY memasang calon wakil gubernur Dr Hj Sylviana Murni yang notabene bekas wali kota dan bekas None Jakarta 1981.

Barangkali ini pasangan yang paling atraktif dalam Pilgub Jakarta 2017. Rupanya, SBY sangat yakin bahwa pasangan ganteng dan cantik akan lebih mudah bersaing dalam sebuah kampanye politik. Dan, bukti-bukti orang ganteng menang pemilu di berbagai negara, memang cukup banyak sekali. Anda mungkin masih ingat, bagaimana SBY dengan jaket kulit bernyanyi ketika kampanye presiden terdahulu. Apakah ini strategi andalan SBY?

Analisis branding

Dalam diskusi panas di rumah Mpu Peniti, saya sedikit banyak maklum pada paparan spiritual yang dibeberkan dengan aneka latar belakang, antara lain, dinamika kosmos, aspek lingkungan, dan berbagai pertanda alam. Namun, sebagai praktisi bisnis saya ditantang peserta diskusi untuk melakukan analisis dari segi branding dan pemasaran. Dan paparan analisis saya dari segi branding adalah sebagai berikut.

Sebuah brand alias merek punya berbagai atribut penting. Yang pertama tentu saja adalah keaslian atau authentic. Ibaratnya sebuah celana jeans. Barangkali Levi's yang terkenal beken karena yang asli dan authentic.

Dari ketiga pasangan Pilgub Jakarta ini, barangkali yang paling kuat dalam atribut keasliannya adalah Ahok sebagai calon pejawat. Ahok menang karena sudah terlihat gaya kepemimpinannya di samping reputasi yang dimilikinya, dengan sejumlah plus dan minusnya.

Faktor kedua adalah desain. Ibarat sebuah tas, arloji, dan mobil, konsumen melihat model dan desain produknya. Di kategori ini, pasangan putra SBY, Agus mungkin menang telak. Pasangan Agus terlihat paling apik dan diikuti oleh Anies, terakhir barulah pasangan Ahok dan Djarot.

Atribut ketiga dari sebuah brand alias merek adalah faktor relevan. Isu dalam sebuah pemilu faktor yang paling relevan biasanya adalah ekonomi. Di samping ekonomi, Jakarta punya segudang pekerjaan rumah, dari banjir, sampah, macet, hingga pelbagai masalah ekonomi serta sosial dan budaya.

Di atribut ini, ketiga pasangan harus adu kebijakan dan solusi untuk memecahkan masalah di Jakarta. Biasanya, di Indonesia calon kontestan politik terasa minim dalam hal adu kebijakan dan solusi. Kalaupun ada hanya garis besar yang sering kali terasa mengambang.

Kali ini di Pemilu 2017, atribut nomor tiga ini bisa jadi faktor penentu yang sangat strategis. Harap maklum, situasi dan kondisi Jakarta yang sangat berbeda. Menurut data BPS, pemilih milenial alias generasi Y yang disebut juga pemilih 'cuek' ada 30 persen lebih.

Mereka dapat dikatakan tidak peduli dengan aliansi partai politik. Di Amerika, generasi Y ini sempat bikin heboh dan menjadi penentu penggerak kekuatan melawan Hillary Clinton di Partai Demokrat. Di Indonesia, generasi Y ini pula yang mengubah konstelasi politik secara drastis, dan menjadi salah satu penentu yang memenangkan Jokowi tempo hari. Mampukah ketiga pasangan Pilgub Jakarta 2017 secara aktif meminang generasi Y Jakarta yang cuek?

Dalam pemilu, calon yang bagus dan berkualitas belum tentu akan bisa menang dengan mudah kalau tidak didukung infrastruktur, seperti organisasi kampanye yang lengkap dan dana kampanye yang cukup besar.

Kita tentunya masih ingat, bagaimana pasangan bagus, seperti Rieke Diah Pitaloka dan Teten Masduki, yang kalah dalam Pilgub Jawa Barat pada 2012. Sebuah survei tentang pemilu di Amerika mengatakan bahwa dana kampanye yang cukup dan infrastruktur organisasi kampanye yang baik, umumnya memenangi 95 persen kandidat pemilu di Amerika.

Melihat pertarungan Pilgub Jakarta 2017 dari teropong jenis apa pun dan mana pun, saya berkesimpulan, pertarungan kali ini akan sangat seru. Tiap-tiap pihak punya ambisi yang sangat berbeda dan cita-cita yang berbeda pula.

Bagaimana memenanginya bakalan seru pula. Yang jelas, apa yang akan terjadi pada 2017 akan memiliki efek gema yang menentukan Pemilu 2019. Begitulah gosipnya! 

Kafi Kurnia   

Motivator dan Pakar Marketing

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement