Sabtu 24 Sep 2016 17:00 WIB

Alam Mengancam

Red:

Garut yang tidak biasanya terkena banjir bandang, akhirnya memperoleh giliran. Kemungkinan hal ini akibat pola pikir dan pola tindak yang dipersepsikan ketika alam masih luas dan rimbun, serta populasi manusia masih sedikit. Ketika itu, daya rusak manusia tidak tinggi lantaran teknologi dan kebutuhannya masih rendah.

Saat ini kebutuhan akan produksi alam sudah tinggi, yang menyebabkan sumber daya alam memiliki nilai jual besar. Ditambah dengan tingginya kebutuhan oknum manusia dan pesatnya teknologi, daya rusak pun makin bertambah.

Bisa jadi nilai yang dianut dibedakan dengan perilakunya. Nilai yang dipahami bagi sejumlah manusia tidak mampu menahan gejolak keutuhan yang tinggi. Tidak heran, Dananjaya (1986) mengingatkan jika kebutuhan menjadi ancaman bagi nilai.

Dampaknya, hutan lindung menjadi rusak akibat kebutuhan yang mendesak, gunung gelap, dan kerimbunan hutan di selatan Garut sudah mulai terang benderang karena dirusak dan kayunya dijual. Dengan demikian, percepatan kerusakan terus menggelinding sejalan dengan lengah dan lemahnya hukum yang diberlakukan.

Jika hubungan timbal balik manusia dengan lingkungan sekitarnya menjadi penting seperti Soemarwoto (1997) tuliskan, menjaga hubungan secara simbiosis mutualisme menjadi penting. Boleh jadi hal demikian terabaikan ketika dampak kerusakan yang dibuat manusia tidak terasa.

Namun, dengan meningkatnya kebutuhan manusia terhadap pendayagunaan alam, kerusakan tersebut semakin tinggi. Tidak heran jika studi amdal diandalkan untuk mengekang perizinan, yang berpotensi menimbulkan kerusakan yang besar. Sayangnya, amdal pun dipandang sebagai formalitas dalam menyertai perizinan, yang berpotensi kerusakan lingkungan.

Garb (2015) memandang jika amdal merupakan instrumen yang dibuat untuk mengambil keputusan perizinan. Perizinan penambangan pasir besi serta sejumlah usaha yang berbenturan dengan alam membutuhkannya, agar secara ekologis terjaga keseimbangannya.

Kemauan menegakkan nilai dengan menekan kebutuhan menjadi rendah, tatkala keuntungan material yang diperoleh dengan mengorbankan nilai tersebut menjadi besar. Dampaknya, gangguan yang ditimbulkan adalah hukum dihentikan dengan penyuapan terhadap penegaknya. Ujungnya, penyimpangan fungsi amdal pun kian melebar.

Kebutuhan yang dapat dipuaskan dengan melanggar nilai berkembang menjadi kerakusan, akibat ketidakpuasan yang terus meninggi. Tanggung jawab sosial seperti Mintzberg (1992) paparkan menjadi rendah.

Bisa jadi hal demikian berkaitan dengan biaya, yang senantiasa harus ditanggung ketika ingin meraih kedudukan dalam dunia politik ataupun birokrasi. Syahwat kekuasaan yang besar bisa mengorbankan materi yang ada. Dampaknya, syahwat jahat pun berkembang sampai pinjaman anak dan cucu berupa kelestarian alam dikorbankan. Konsep memudahkan dan mempercepat proses perizinan dipelintir menjadi formalitas.

Oleh sebab itu, amdal yang melekat dalam perizinan tidak harus selalu memuluskan setiap usulan untuk kegiatan usaha, jika diperkirakan akan merusak lingkungan.

Dilihat dari civil society, agaknya pmerintah, swasta, juga masyarakat berperan penting untuk menegakkan tanggung jawab di atas. Pemerintah sebagai superbody tidak boleh kalah oleh tekanan swasta yang serakah.

Begitu juga masyarakat dalam melakukan kendali sosial, patut diberi informasi terbuka tentang apa yang harus dirawat dan dijaganya. Ditambah pemberdayaan dan fasilitas yang memadai dari pemerintah, kekuatan masyarakat dapat semakin bagus.

Swasta juga patut didampingi dalam setiap aktivitasnya agar potensi kerusakan menjadi rendah. Oleh sebab itu, dalam konteks interaksinya, pemerintah harus menjadi leading and commanding agar dapat mengelola lingkungan sehingga terbangun saling memengaruhi secara positif (Bryson, 2000) dalam menjaga lingkungan.

Bencana Garut bisa menjadi peringatan, yang sebelumnya terjadi di Bandung Selatan beberapa tahun lalu. Kedua wilayah itu hampir tidak pernah terkena musibah serupa. Kerakusan segelintir orang yang bersinergi dengan oknum pejabat, serta pembiaran masyarakat dapat menjadi penyebabnya.

Pembiaran masyarakat ini karena mereka tidak berdaya dan tidak difasilitasi pemerintah. Bahkan, kalau becermin dari reklamasi pantai Jakarta, masyarakat nelayan pun menjadi korban yang jauh dari keberdayaan. Kondisi buruk seperti itu direkam alam yang kemudian menumpahkannya dalam bentuk bencana.

Kekayaan alam berupa hutan lebat atau lindung perlu dipahami filosofisnya. Keangkerannya dibangun leluhur agar kerusakan tidak terjadi.

Oleh sebab itu, pemuka agama, tokoh masyarakat, dan pendidik mesti berpikir futuristik agar pemahaman ekologis semakin kuat pada generasi 'kekinian'. Mereka dapat menjadi pejuang lingkungan yang difasilitasi pemerintah. Dengan cara itu, perusak lingkungan menyadari kekeliruannya dan kebutuhan yang berbuntut bencana bagi diri, keluarga, dan masyarakat dapat dihentikan.

Kelestarian hutan yang angker dapat menghasilkan penerimaan bagi negara atau daerah, dengan pengembangan pariwisata. Dengan upaya ini, masyarakat lokal dilibatkan agar sekecil apa pun kerusakan dan kekotoran dapat dideteksi secara dini.

Dengan optimalisasi pengawalan kelestariannya, alam pun berbaik hati kepada pengawalnya, dengan memberikan jaminan kenyamanan hidup secara psikis. Ketenangan dan kesegaran udara yang dihasilkannya, menjadi langka di era hiruk-pikuk yang mengorbankan alam.

Kesadaran pilar civil society memang perlu dibangun bersama agar ancaman alam tidak semakin dahsyat. Faktor kebutuhan dana untuk pembangunan sektor lainnya serta kebutuhan untuk diri dan lingkungan sosial yang ada, turut berkontribusi mempercepat kerusakan lingkungan.

Korten (1984) mengingatkan jika abad ini penuh risiko yang tidak ubahnya seperti pesawat ruang angkasa. Jika ditafsirkan, kerusakan sedikit saja atas alam, serta-merta alam pun menggeliat memberikan reaksinya. Oleh sebab itu, pengaturan ketat atas perilaku manusia yang berpotensi rusaknya alam harus diantisipasi bersama.

Daya dukung lingkungan harus diperkuat untuk memperpanjang kelestarian hidup manusia dengan nyaman. Pada abad ini, homo homini lupus dalam bentuk premanisme kebijakan serta eksploitasi hutan harus sudah digantikan oleh konsepsi homo homini socius, yang Hobbes tuliskan dalam bukunya, De Cive pada 1651.

Dengan cara itu, kesadaran bersama terbangun untuk merawat dan menyayangi alam. Karena dengan demikian, alam pun akan mengasihi manusia dan memberikan kenyamanan hidup. Maka itu, pantaslah jika peribahasa, di mana bumi dipijak di sana langit dijunjung harus diterjemahkan sebagai bentuk harmonisasi antara alam dan manusia agar alam tidak mengancamnya. 

ASEP SUMARYANA

Kepala Departemen Administrasi Publik FISIP Unpad

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement