Selasa 30 Aug 2016 18:00 WIB

Perda Syariah di Amerika

Red:

Seperti Indonesia yang pernah ramai dengan kontroversi pemberlakuan peraturan daerah (perda) bernuansa syariah, Amerika Serikat (AS) juga pernah mengalami hal serupa.  "syariah" menjadi istilah yang menakutkan bagi sebagian orang AS.

Pada Juli lalu, tokoh dari Partai Republik, Newt Gingrich, mengusulkan pengusiran orang Islam yang percaya pada  "syariah" dari negeri Paman Sam itu. Beberapa tahun sebelumnya, sebagian negara bagian secara eksplisit melarang penggunaan  "syariah" sebagai bahan pertimbangan hukum saat hukum yang ada tidak mengatur sengketa atau perkara hukum.

Bagaimana sikap pengadilan dan publik AS menghadapi kasus hukum bernuansa syariah? Di Indonesia, aturan bernuansa syariah sering dikaitkan dengan perda yang dibuat pemerintah di tingkat kota maupun kabupaten.

Di AS, aturan berbau syariah sering kali dikaitkan dengan produk hukum yang dibuat parlemen di tingkat negara bagian atau keputusan pengadilan dari tingkat pertama hingga kasasi.

Satu peristiwa penting yang menandai munculnya kontroversi seputar hukum syariah terjadi pada November 2012 di Oklahoma. Lebih dari 50 persen anggota parlemen Oklahoma menyetujui amendemen peraturan yang melarang pemberlakuan hukum syariah di wilayahnya.

Padahal, dalam konteks hukum AS, seorang hakim diberi kewenangan mengambil pertimbangan hukum dari "foreign laws" (hukum di luar tata hukum AS) jika hukum positif yang ada tidak atau kurang jelas mengatur sebuah perkara.

Dalam konteks ini, mayoritas legislator di Oklahoma yang dikuasai Partai Republik mengeluarkan aturan yang melarang hakim menggunakan 'hukum syariah' sebagai bahan pertimbangan. Alasannya, mereka tidak ingin apa yang terjadi di negara-negara Eropa juga terjadi di AS.

Di Inggris dan Prancis, syariah Islam biasanya dipakai sebagai rujukan menyelesaikan sengketa dan perselisihan di komunitas Muslim. Para legislator di Oklahoma tidak menginginkan hal serupa juga terjadi di AS, khususnya di Oklahoma, sehingga mereka melancarkan "preemptive strike" (serangan pencegahan) terhadap kemungkinan penerapan syariah di tanah air mereka (Daily Mail, 2010).

Beberapa negara bagian lain mengikuti langkah Oklahoma, seperti Arizona, Kansas, Louisiana, South Dakota, Tennessee, dan North Carolina (Omar Sacirbey, Huffington Post, 2013). Komunitas Muslim yang diwakili Muneer Awad dari Council on American-Islamic Relations (CAIR) menggugat amendemen UU di Oklahoma ini.

Gugatannya didasarkan pada klausul amendemen yang menyebut hukum syariah sebagai hal yang tidak boleh dijadikan pertimbangan hukum. "The courts shall not look to the legal precepts of other nations or cultures. Specifically, the courts shall not consider international law or sharia law".

Bagi CAIR, yang diwakili oleh Awad, bunyi teks amendemen ini mendiskriminasi komunitas Muslim. Bentuk diskriminasi atas suatu agama dianggap bertentangan dengan konstitusi AS, khususnya amendemen pertama yang menjamin kebebasan beragama (free exercise clause) dan netralitas negara terhadap agama (establishment clause).

Mendengar argumen Awad, pengadilan federal tingkat kasasi di Denver mengabulkan gugatannya. Walhasil, UU produk parlemen Oklahoma itu pun dibatalkan. Pertimbangan pertama, hak-hak Muneer Awad sebagai Muslim yang hidupnya berdasarkan panduan syariah, misalnya dalam hal menjalankan shalat dan kewajiban agama sehari-hari, membagi harta waris atau membuat wasiat, rentan untuk dilanggar jika UU yang diskriminatif itu diberlakukan.

Kedua, meskipun pendukung UU tersebut mengklaim tidak mendiskriminasi kaum Muslim, tapi penyebutan "syariah" di amendemen dianggap potensial melanggar hak komunitas Muslim.

Dengan pembatalan ini, hakim di pengadilan dapat menjadikan syariah sebagai bahan pertimbangan mengambil keputusan hukum. Salah satu kasus yang sering dijadikan rujukan adalah sengketa hak asuh anak yang disidangkan di pengadilan banding Maryland pada 1996.

Kisahnya, seorang ibu, Joohi Q Hosain, meninggalkan Pakistan dengan membawa anak perempuannya ke AS tanpa persetujuan dan sepengetahuan suaminya, Anwar Malik, pada 1990. Malik mengajukan gugatan di pengadilan Pakistan untuk memperoleh hak asuh atas anak. Proses peradilan secara in absentia, tanpa kehadiran istri dan anak, dan memutuskan hak asuh jatuh ke tangan Malik.

Ketika Malik melaksanakan putusan pengadilan di Pakistan dengan mengambil anaknya yang tinggal di Baltimore, Maryland, sang (mantan) istri, Hosain, tidak terima. Hosain mengajukan gugatan di pengadilan setempat untuk menetapkan hak asuh kepada dirinya dan membatalkan putusan pengadilan di Pakistan.

Awalnya, pengadilan di tingkat pertama mengabulkan gugatan Hosain, dengan pertimbangan keputusan pengadilan di Pakistan tidak bisa dipakai sebagai dasar hukum di AS. Asas comity (penghorman atas hukum negara lain) tidak bisa diberlakukan.

Malik tidak terima dan mengajukan banding bahwa pengadilan di AS tidak mempunyai yurisdiksi atas perkara ini karena kejadian perkara berlangsung di Pakistan. Oleh sebab itu, keputusan pengadilan di Pakistan harus dihormati.

Banding Malik ternyata diterima; memutuskan hak asuh jatuh ke tangan Malik karena yurisdiksi perkaranya di wilayah Pakistan yang notabene berdasarkan hukum Islam atau syariah. Pengadilan di Maryland tidak punya hak untuk mengadili sengketa itu meskipun Hosain sebagai penuntut telah enam bulan lebih tinggal di Baltimore.

Publik AS sebagian menerima penalaran yang disampaikan para hakim tentang masalah kewenangan mengadili atau yurisdiksi hukum kasus. Mereka yang menolak punya penalaran berbeda bahwa keputusan pengadilan banding adalah bentuk ketertundukan peradilan AS kepada sistem peradilan asing, yakni pengadilan Pakistan yang berdasarkan hukum syariah.

Kemenangan Anwar Malik dalam sengketa hak asuh di peradilan AS adalah bentuk infiltrasi dan kemenangan hukum syariah atas hukum positif AS. Kenyataan ini, menurut mereka, berbahaya bagi kedaulatan hukum dan keamanan negara.

Dua kasus yang berkaitan dengan "syariah" di atas menggambarkan pemahaman publik AS terhadap Islam masih terbatas. Istilah "syariah" direduksi menjadi persepsi tentang perlakuan diskriminatif terhadap perempuan, hukuman yang keras, atau ancaman terhadap kedaulatan hukum suatu negara.

Mereka ketakutan ketika mendengar istilah "syariah". Padahal, "syariah" juga mengatur hidup keseharian seorang Muslim yang berhubungan dengan Tuhan ataupun sesama manusia.

Misi dasar "syariah" adalah menebar damai dan rahmat untuk semesta. Pemahaman reduktif terhadap syariah yang serupa, anehnya, juga terjadi di negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim, seperti Indonesia.

Syariah dipersepsi hanya berkaitan dengan keharusan pemakaian hijab bagi perempuan, pelarangan perempuan keluar rumah tanpa muhrim, perintah shalat wajib berjamaah oleh institusi publik atau pelarangan jual beli minuman keras.

Mungkin beberapa aspek dari syariah dapat ditafsirkan seperti itu. Namun, jika suatu kebijakan bernuansa syariah ternyata memosisikan kaum perempuan sebagai objek dan korban, membawa kemudaratan yang lebih banyak, dan diskriminatif, maka kebijakan itu tidak bisa dinilai berkesesuaian dengan syariah.

Sebab, menurut Syamsuddin Ibn al-Qayyim (wafat 1347), syariah pada dasarnya adalah "keadilan, rahmat, kebijaksanaan, dan kebaikan". Setiap produk hukum yang menggantikan keadilan dengan kezaliman, rahmat dengan kebencian, kebaikan dengan keburukan, atau kebijaksanaan dengan omong kosong, adalah produk hukum yang bertentangan dengan syariah, meskipun menurut beberapa penafsiran mengklaim produk hukum tersebut sesuai syariah (Jasser Auda, 2008). 

Mohammad Syifa A Widigdo

President of Islamic Center of Bloomington USA (2014-2015), Pengelola Wonderstart Learning Center Bogor

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement