Senin 29 Aug 2016 14:00 WIB

Mewujudkan Sekolah Penuh Wisata

Red:

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy sedang fokus membangun karakter siswa dan mencegah agar siswa tidak menjadi liar di luar sekolah ketika orang tua mereka masih belum pulang dari kerja. Tantangan berat membangun karakter siswa karena masih banyak lingkungan sekolah dengan kondisi bangunan yang tidak nyaman dan halaman yang sempit sehingga siswa merasa seperti di penjara saat menerima pelajaran.

Untuk membentuk karakter siswa yang sesuai dengan semangat zaman, tidak harus melalui metode yang sarat doktrin dan cara-cara seperti penataran P-4 pada masa rezim Orde Baru. Untuk membentuk karakter dan sikap positif para siswa perlu mengubah metode pengajaran sehingga siswa merasa riang gembira dan terbuka imajinasinya dalam menerima pelajaran.

Jangan ada lagi siswa merasa tertekan saat menerima mata pelajaran apa pun. Mata pelajaran yang dianggap momok, seperti matematika, IPA, dan bahasa asing tidak lagi takut dan menjemukan.

Perlu membenahi karakter siswa sesuai dengan semangat zaman, yakni pentingnya daya inovasi. Seperti yang pernah dirumuskan oleh tokoh pendidikan nasional Ki Hajar Dewantara. Di mana siswa harus terus-menerus menghasilkan inovasi dengan cara 3N (niteni, neroke, nambahi).

Metode 3N yang dirumuskan oleh Ki Hajar Dewantara sangatlah relevan untuk membentuk karakter siswa terkait dengan kemajuan zaman yang sangat ditentukan oleh kapasitas inovasi. Metode 3N yang memakai istilah bahasa Jawa tersebut sangat relevan bagi pelajar hingga dunia usaha.

Para siswa diharapkan selalu memperhatikan unsur N yang pertama, yakni "niteni" atau mengamati kemajuan teknologi atau perkembangan produk. N yang kedua adalah "neroke" atau menirukan kemajuan teknologi atau perkembangan produk.

Lalu unsur N yang ketiga adalah "nambahi" atau menambahkan (modifikasi). Metode 3N ini sebaiknya ditanamkan kepada siswa sekolah dengan cara-cara yang mengasyikkan dan penuh ceria seolah mereka sedang berwisata.

Kondisi lingkungan sekolah yang ada sekarang ini kebanyakan kurang ramah lingkungan dan kurang nyaman untuk mengembangkan daya imajinasi anak. Bahkan, tidak sedikit bangunan fisik sekolah yang mirip penjara yang gaduh, bising, dan dikepung aneka polusi udara.

Semestinya pendidikan dasar dan menengah memiliki lingkungan belajar yang nyaman dan ramah lingkungan. Saatnya menghilangkan penyeragaman atau conformity pendidikan dasar dan menengah lalu memberikan nuansa yang lebih bersahabat dengan alam, mengedepankan aspek kebudayaan lokal, serta bersendikan daya imajinasi.

Dalam mengembangkan kecerdasan, karakter unggul, dan budi pekerti siswa, perlu bangunan sekolah yang lebih ergonomik. Bangunan sekolah rindang karena dikelilingi pohon besar, lapangan olahraga yang memadai, dan dilengkapi dengan danau buatan beserta instrumen biotanya.

Ruang kelasnya dirancang lebih natural dan membuat siswa bisa relaksasi karena tidak terkurung oleh tembok. Kelas dengan dinding semiterbuka yang bercorak arsitektur tradisional.

Sarana belajar seperti meja, kursi, papan tulis, alat penerangan, dan lain-lain dibuat dengan prinsip ergonomik sehingga tubuh siswa tidak merasa terpaku atau terikat selama menerima pelajaran. Dengan suasana dan infrastruktur seperti itu, serapan mata pelajaran dan daya tahan tubuh siswa dalam proses belajar bisa lebih optimal. Siswa tidak lagi sering mengantuk dan merasa lelah dan stres di sekolah.

Untuk menumbuhkan karakter unggul siswa sesuai kemajuan zaman yang mengedepankan daya imajinasi dan kapasitas inovasi, sekolah mesti membuat setiap mata pelajaran menjadi menyenangkan dan bisa dihayati lebih mendalam. Perlu menerapkan prinsip di mana sekolah sebagai tempat wisata ilmu pengetahuan dan budaya sepanjang hari.

Prinsip ini bisa diimplementasikan dengan menggalakkan metode eksperimental yang menarik dengan cara membuat proyek-proyek ilmiah sederhana yang relevan dengan kemajuan teknologi dan informasi. Para guru diarahkan untuk merangsang siswa dengan cara membuat proyek ilmiah sederhana setelah pelajaran teori.

Metode eksperimental menuntut para guru dan pengelola sekolah untuk lebih kreatif dan inovatif guna memperoleh modul-modul proyek ilmiah sederhana beserta informasi pendukungnya.

Pengajaran IPA selama ini belum mampu memberikan motivasi berwisata ilmu, proses nilai tambah, dan solusi praktis problema kemasyarakatan. Hal ini karena pengajaran IPA masih sebatas hafalan rumus-rumus yang kurang mengasyikkan siswa. Perlu mencari model pengajaran IPA yang mampu menumbuhkan inovasi dan sikap positif terhadap kemajuan teknologi, proses nilai tambah, dan mampu menjaga lingkungan.

Idealnya, pengajaran IPA di sekolah dasar dan menengah harus mampu menumbuhkan sikap ilmiah (scientific attitude). Sikap ilmiah tersebut mengemuka dalam diri siswa dalam bentuk sikap ingin tahu (curiosity), kebiasaan mencari bukti sebelum menerima pernyataan (respect for evidence), sikap luwes dan terbuka dengan gagasan ilmiah (flexibelity), kebiasaan bertanya secara kritis (critical reflection), serta sikap peka terhadap lingkungan sekitar (sensitifity to living things and environment).

Sikap ilmiah ini dapat mudah dicapai jika proses belajar mengajar IPA banyak melibatkan metode eksperimental dalam suasana wisata ilmu. Jadi, bukan sekadar interaksi satu arah dan menekankan hafalan (rote learning), melainkan belajar yang sesungguhnya (meaningful learning). Itulah yang menjadi titik berat kebijakan pengajaran IPA di Amerika Serikat. Bahkan, pemerintah sering melibatkan para guru dalam program riset nasional.

Salah satu contoh pelibatan guru dalam riset nasional adalah misi pesawat ruang angkasa Endeavour dari NASA yang salah satu astronotnya adalah seorang ibu guru IPA sekolah dasar yang bernama Barbara Morgan. Sudah beberapa dekade program tersebut rutin dilakukan. Lembaga riset, BUMN, hingga korporasi besar di Amerika Serikat selalu memberikan kesempatan kepada guru sekolah dasar dan menengah untuk terlibat.

Tidak menariknya metode pengajaran di sekolah disebabkan beberapa faktor. Di antaranya, pertama, selama ini proses belajar mengajar, terutama untuk mata pelajaran IPA terlalu menekankan aspek kognitif. Artinya, konsep yang diajarkan hanya sekadar pengetahuan, kurang direalisasikan sebagai sikap dan perilaku yang aktual.

Kondisinya semakin memprihatinkan karena sistem ujian hanya mengukur aspek kognitif. Evaluasi terhadap sikap yang terintegrasi dengan kognitif (pengetahuan) belum dilakukan dalam proses belajar mengajar.

Kedua, seringnya guru menyepelekan materi yang menyangkut pengetahuan praktis dan problema lingkungan hidup dengan alasan bahwa materi tersebut tidak memerlukan hitungan matematik dan kurangnya bahan referensi. 

 

Bimo Joga Sasongko

Pendiri Euro Management Indonesia

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement