Sabtu 20 Aug 2016 17:00 WIB

Timteng dan Ketahanan Energi

Red:

Pemerintah berencana meningkatkan cadangan minyak mentah dan bahan bakar minyak menjadi lebih dari 30 hari (Republika Online). Menurut Sudirman Said, menteri Energi dan Sumber Daya Mineral saat itu, peningkatan cadangan minyak mentah dan BBM perlu untuk antisipasi pertumbuhan konsumsi BBM delapan persen per tahun.

Saat ini, cadangan minyak mentah Indonesia hanya cukup untuk kebutuhan domestik 14 hari. Adapun cadangan BBM hanya cukup untuk 22 hari, elpiji untuk 17 hari. Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu mengatakan, kalau cadangan BBM itu dipakai perang, hanya cukup untuk tiga hari.

Sebagai perbandingan, cadangan BBM Singapura cukup untuk kebutuhan domestik 90 hari. Cina juga menumpuk cadangan BBM untuk 90 hari. Amerika Serikat yang belajar dari pengalaman pahit diembargo minyak oleh OPEC pada 1973-1974, memiliki cadangan BBM hingga 260 hari.

Karena itu, pemerintah berniat meningkatkan kapasitas cadangan minyak. Pemerintah harus membeli tambahan komoditas minyak dan tangki sebagai sarana penyimpanannya. Masalahnya, upaya peningkatan kapasitas cadangan butuh dana tak sedikit.

Pemerintah dan juga publik, bisa jadi tak mendapat dorongan urgensi membangun ketahanan energi nasional karena harga minyak mentah yang murah saat ini. Maklum, fluktuasi harga minyak dunia berpengaruh terhadap biaya impor minyak. Kalau harga minyak dunia naik, harga BBM juga ikut naik.

Ada dua penyebab rendahnya harga minyak dunia. Pertama, perang harga minyak yang dilancarkan negara-negara pengekspor minyak (OPEC) yang dipelopori Arab Saudi terhadap industri shale oil (minyak serpih) di AS. Minyak serpih adalah minyak yang diambil dari fragmen batuan serpih di perut bumi.

Minyak serpih dapat diolah menjadi bahan bakar, seperti bensin, solar, atau avtur. Minyak serpih muncul sebagai substitusi yang sempurna untuk minyak bumi. Industri shale oil pun marak di Amerika.

Saudi, pemimpin de facto OPEC, gerah dengan kemunculan minyak serpih yang mengancam eksistensi minyak bumi konvensional. Saudi lantas menggalang kampanye menyingkirkan industri minyak serpih, dengan meningkatkan produksi minyak dan membanjiri pasar global.

Dengan harga minyak yang rendah, konsumen lebih memilih untuk membeli minyak bumi daripada minyak serpih. Pada saat bersamaan, akibat pasokan berlimpah, harga minyak mentah di pasar komoditas global pun turun. Harapannya, ini akan memukul industri shale oil.

Kenyataannya, teknologi ekstraksi minyak serpih yang tak mudah dan proses pengolahan yang rumit memerlukan biaya tak sedikit. Kajian Bloomberg Intelligence membuktikan, break even point industri shale oil ada di level 55-65 dolar AS per barel. Maka itu, harga minyak bumi sengaja ditekan di bawah 50 dolar AS per barel.

Ini penyebab dari sisi suplai. Sisi permintaan juga menyumbang porsi bagi anjloknya harga. Sebab, permintaan terhadap minyak sangat bergantung pada gerak laju pertumbuhan ekonomi. Makin kencang pertumbuhan, makin besar kebutuhan akan minyak.

Masalahnya, saat ini ekonomi dunia sedang loyo. Amerika dan Eropa masih terlilit resesi. Emerging market powerhouse seperti Cina juga melambat. Suplai membanjir, sementara permintaan melemah. Harga minyak pun terjun bebas.

Karena itu, banyak pihak meramal, harga minyak akan terus tertekan. Kajian Morgan Stanley bahkan memprediksi harga minyak bakal terus anjlok sampai ke level break even point 35 dolar AS per barel.

Problemnya, ramalan ini tidak memasukkan perkembangan situasi geopolitik dan keamanan di Timur Tengah. Saat ini Timur Tengah menghadapi ancaman destabilisasi masif. Irak, Suriah, Yaman, dan Libya sekarang praktis menjadi negara gagal karena perang saudara.

Runtuhnya kekuasaan negara dan merebaknya konflik, membuka peluang bagi kelompok teror, seperti Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), untuk muncul dan mengobarkan konflik menjadi semakin berdarah.

Skala konflik yang masif di Timur Tengah nyatanya tidak diperhitungkan dalam analisis ekonomi global kontemporer. Banyak orang lebih khawatir dengan implikasi Brexit atau keluarnya Inggris dari Uni Eropa. Ini terjadi karena konflik di Timur Tengah tidak terefleksikan di harga minyak dunia akibat banjir suplai dan defisit permintaan.

Keruntuhan sistem di Suriah, Irak, dan lainnya membuka mata akan problem fundamental eksistensial negara-negara Arab. Kebanyakan mereka adalah entitas yang kosong. Maksudnya, konsepsi bangsa dan negara belum merasuk karena sistem politik yang berlaku adalah monarki dan dinasti raja.

Akibatnya, di benak rakyat, konsepsi negara dipahami sebagai milik seorang raja atau penguasa tertentu. Keseluruhan eksistensi negara bergantung pada seseorang atau suatu keluarga.

Di Arab, kejatuhan seorang pemimpin berarti kejatuhan keseluruhan sistem politik dan pemerintahan karena fondasi demokrasi, baik secara konsepsi maupun institusional, sesungguhnya minim. Alternatifnya hanya anarki. Ini yang terjadi di Irak, Suriah, dan Libya.

Jatuhnya seorang pemimpin mengakibatkan hancurnya sistem kekuasaan, yang memunculkan aktor tribal nonnegara. Belum adanya nationhood, hancurnya sistem pemerintahan juga berarti menguatnya sentimen suku, etnis, dan paham keagamaan seperti di Yaman.

Dengan political underlying condition yang nyaris serupa di banyak negara Arab, fenomena negara gagal harus diwaspadai sebagai potensi terjadinya failed region atau wilayah gagal di seluruh Timur Tengah. Terbukti, setelah Irak dilanda perang saudara, Suriah terjerumus pada konflik berdarah yang sama. Konflik sektarian di kedua negara akhirnya menyulut konflik serupa di Yaman.

Harus diwaspadai potensi menularnya konflik di negara-negara Arab lain, yang meski sekarang stabil, saat ini terjepit dan terkepung konflik di wilayah tetangganya. Kalau konflik meluas, pasokan minyak dari Timur Tengah dipastikan terganggu.

Produksi minyak Suriah, misalnya, sebelum konflik mencapai 400 juta barel per hari. Sekarang, produksi minyaknya hanya 25 juta barel per hari. Dengan cadangan minyak 810 miliar barel (separuh dari total cadangan minyak dunia) dan produksi 28 juta barel per hari (30 persen dari total cadangan minyak dunia), meluasnya konflik di Timur Tengah akan merusak suplai minyak global dan meroketkan harga minyak.

Karena itu, meski sekarang harga minyak dunia rendah, upaya meningkatkan cadangan minyak seperti yang sudah dicanangkan harus segera diimplementasikan. Harga minyak dunia yang rendah justru harus dimanfaatkan untuk meningkatkan ketahanan energi kita. 

Oleh Dedi Supriadi

Ketua DPP PKS, Peserta PPRA LV Lemhannas

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement