Selasa 16 Aug 2016 17:10 WIB

Pelajaran Kredibilitas

Red:

Kita menyambut baik sikap pemerintah yang tegas memberhentikan Arcandra Tahar sebagai menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Pemberhentian ini terkait kasus dua kewarganegaraan yang dimiliki Arcandra saat ini, yakni Amerika Serikat (AS) dan Indonesia. Dua kewarganegaraan ini terungkap lewat dua paspor yang dimiliki Arcandra, yang beredar isunya akhir pekan lalu.

"Presiden memutuskan untuk memberhentikan dengan hormat saudara Arcandra Tahar dari posisi menteri ESDM," demikian pernyataan singkat Menteri Sekretaris Negara, Pratikno, dalam jumpa pers di Istana Negara, Senin (15/8) malam.

Pratikno tidak menjelaskan sama sekali apa alasan pemerintah memberhentikan Arcandra. Persoalan dua kewarganegaraan Arcandra tidak diungkit dalam jumpa pers itu. Demikian juga dalam penjelasan lanjutan yang diberikan juru bicara Presiden, Johan Budi. Johan hanya mengulang pernyataan Pratikno, bahwa Presiden memberhentikan Arcandra.

Sebagai gantinya, pemerintah menunjuk Menko Maritim dan Sumber Daya, Luhut Binsar Pandjaitan, sebagai pelaksana tugas menteri ESDM. Jabatan Luhut ini menunggu sampai Presiden menunjuk menteri ESDM yang baru.

Kita mengakui, harusnya keputusan ini bisa lebih cepat diambil. Bukan harus disampaikan pada Senin malam. Karena sejumlah sinyal yang mengarah pada dua kewarganegaraan Arcandra sudah bisa dibaca publik sejak akhir pekan kemarin.

Arcandra hanya menjabat tiga pekan setelah dilantik Presiden Jokowi. Dia menggantikan Sudirman Said, menteri ESDM sebelumnya. Arcandra sebelumnya adalah konsultan pemerintah Indonesia dalam beberapa proyek ESDM. Arcandra sudah bermukim selama lebih dari 20 tahun di AS dan memiliki perusahaan di sana. Sejauh ini, belum ada keputusan strategis yang diketok dan dilaksanakan Arcandra di kantornya.

Polemik kewarganegaraan Menteri ESDM Arcandra Tahar memang harus diselesaikan dengan cepat dan tuntas. Situasi tak menentu itu tak baik dibiarkan mengambang berlama-lama. Apalagi, sejak Sabtu, warga sudah bergunjing apakah Arcandra itu warga negara Amerika Serikat atau masih tulen WNI. Bila tidak dituntaskan, kasus Arcandra ini akan melebar ke hal lain, terutama pada kredibilitas Presiden Jokowi dan sistem administrasi pemerintah.

Masalahnya, bukan sekali ini pemerintahan Jokowi-JK diguncang kasus yang mirip-mirip, yang sebetulnya tak perlu terjadi. Misalnya, pada awal April tahun lalu, ketika Presiden Jokowi mengaku ia tidak membaca secara rinci saat menandatangani Keputusan Presiden soal kenaikan uang muka mobil para pejabat negara.

Kemudian, ada kegaduhan usai kunjungan Presiden ke AS Oktober tahun lalu. Pada November, muncul tulisan di blog peneliti Australian National University, yang menuding ada elemen pemerintah yang membayar pelobi untuk ikut mengatur kunjungan Presiden di AS. Pelobi itu adalah Pereira International PTE LTD yang dibayar 80 ribu dolar AS oleh pemerintah Indonesia.

Kita bisa membayangkan, bagaimana tanggapan investor asing maupun perwakilan negara asing melihat hal-hal seperti ini terus terjadi di dalam tubuh pemerintahan Jokowi-JK. Ada ketidakbecusan yang terulang saban tahun. Bisa muncul kesan, "kalau pemerintah tak bisa mengelola dirinya sendiri, bagaimana mereka bisa mengelola kepentingan kami di Indonesia". Begitulah kira-kira.

Padahal, saat ini pemerintah sedang giat-giatnya memperbaiki citra administrasi negara untuk menarik investasi dari luar negeri. Pemerintah merombak birokrasi negara yang tadinya dianggap menghambat investasi asing, menjadi lebih sigap dan lebih responsif. Izin-izin usaha dipercepat, logistik diperlancar, pungutan liar terus diminimalisasikan.

Kasus Arcandra menjadi catatan sejarah tersendiri bagi Pemerintahan Jokowi-JK. Bagaimana sebuah proses administrasi negara dalam memilih tokoh untuk menjadi pejabat publik ternyata bisa bobol. Tentu kita mendesak pemerintah belajar dari kesalahan fatalnya ini. Ke depan, jangan ada lagi kasus seperti Arcandra.

Negara ini butuh situasi politik yang stabil untuk terus tumbuh dengan baik. Setiap pemilihan kebijakan harus mencerminkan kepastian hukum, bukannya ketidakpastian dan gonjang-ganjing. Kasus-kasus ketidakbecusan seperti ini bisa mengganggu fokus pertumbuhan ekonomi. Bisa membuyarkan persepsi positif investor-investor asing terhadap kemampuan pemerintah mengelola dirinya dengan baik.   

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement